Jadi Pusat Kegiatan Islami
Tertarik dengan deskripsi sebagai kota hantu, Kukuh Pamudji menghabiskan seharian untuk menjelajahi Kota Changzhou, Tiongkok. Ketika sejumlah landmark yang ingin dikunjungi sulit dicapai, tiba-tiba saja dia melihat masjid istimewa. Arsitekturnya mirip den
SAYA berangkat menuju Changzhou menggunakan kereta api jenis K-Train. Harga tiketnya hanya CNY 21,5 atau sekitar Rp 42 ribu. Dari Nanjing, perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Suasana Changzhou terlihat tenang pagi itu. Cuaca bersahabat dengan sinar matahari cerah. Langit terlihat biru dan bersih. Kendaraan berseliweran di jalan. Tidak seseram sebutannya, kota hantu.
Sebenarnya agak aneh juga kalau kota dengan 4,5 juta penduduk tersebut disebut kota hantu. Kotanya besar, banyak gedung tinggi berjejeran. Istilah itu merujuk pada distrik Wujin di bagian selatan kota yang mengalami pembangunan besar-besaran. Apartemen-apartemen bagus didirikan, tapi penghuninya sedikit. Banyak residensial yang akhirnya ditinggalkan.
Namun memang, di beberapa sisi terlihat kontras dengan bangunan yang sepertinya sengaja diruntuhkan. Tumpukan- tumpukan batu dan bangunan dari sisa-sisa gedung itu seperti membenarkan isu kota hantu yang banyak beredar di internet. Apalagi ditambah beberapa gedung yang terlihat sudah tua dan tampak kosong.
Saya ingin menuju The Wujin Lotus Park, taman dengan bangunan berbentuk teratai indah di pusat distrik Wujin. Berbekal nama distrik dan gambar dari internet, saya bertanya ke kantor polisi. Mereka ramah, tetapi tidak tahu tempat yang ingin kami tuju. Setelah tanya sana-sini, taman teratai tersebut tak ketemu juga. Bahkan, saya sudah bertanya ke banyak sekali orang berbekal kalimat, ’’ Qing wen, ni zhi dao zhe ge di fang zai na?’’ Ternyata tempat tersebut tidak familier, meski sudah bertanya kepada pemuda setempat. Acara mencari taman itu ternyata menghabiskan waktu dua jam. Karena hari semakin siang, saya memutuskan naik bus saja. Melihatlihat kota. Melewati tiga stasiun bus Changzhou, tibalah kami di distrik yang semakin ramai, yaitu Stasiun Ren Min Gong Yuan. Kami turun.
Ketika keluar dari stasiun, tak sengaja terlihat sebuah masjid dengan arsitektur Timur Tengah. Berkubah emas dan terdapat dua menara menyerupai masjid-masjid di Turki. Saya membatalkan ke tujuan awal yang belum jelas alamatnya. Masjid tersebut lebih menarik. Arsitekturnya benar-benar bagus. Di Tiongkok, umumnya bangunan masjid menyerupai rumah tradisional Tiongkok. Atau seperti ruko.
Saya langsung browsing mencari informasi tentang masjid tersebut di internet. Sebuah situs muslim menyebut nama masjid itu Changzhou Mosque. Namun, salah seorang penjual makanan muslim di sekitarnya menyebutkan nama masjid tersebut adalah Xinjiang Zhen atau Masjid Xinjiang.
Ah, mungkin itulah yang membuatnya tampak seperti masjid di Turki. Masyarakat Uighur di Provinsi Xinjiang yang merupakan mayoritas muslim di Tiongkok memiliki kedekatan dengan Turki. Bahasa mereka juga disebut-sebut memiliki kesamaan. Hal ini karena pada masa jalur sutra aktif di Xinjiang, pertukaran budaya dan pernikahan antarbangsa terjalin di wilayah tersebut.
Masjid Changzhou berada di tengahtengah kawasan pertokoan kota yang ramai. Terdiri atas delapan lantai. Di bagian bawah, lampion-lampion merah bergantungan di depan bangunan. Bagian tersebut digunakan untuk toko yang berjualan barang-barang fashion. Lalu, lantai 3 dimanfaatkan untuk restoran makanan khas Xinjiang. Interiornya begitu mewah dengan furnitur bergaya Turki atau Timur Tengah. Pemiliknya adalah seorang muslim Uighur dari Xinjiang.
Lantai 5 dan 6 barulah digunakan untuk melaksanakan salat. Lantai paling atas adalah tempat bagian kubah dan menara. Kita bisa menaiki menaranya untuk melihat pemandangan Kota Changzhou dari ketinggian. Bagian dalamnya tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia. Ada mimbar khotbah, dan dindingnya berhias kaligrafi-kaligrafi yang indah.
Di setiap saf berjejer rapi sajadah panjang berwarna biru langit bergambar bulan dan bintang, serta bagian bawah sajadah bergambar tiga pohon kelapa. Terlihat sederhana, tetapi sangat menarik. Di bagian tengah pada atap lengkungan kubah masjid terdapat kaligrafi Arab berwarna emas. Kaligrafi itu sering ditemukan di tempattempat makanan halal di Tiongkok.
Mengunjungi masjid tersebut membuat saya bahagia. Setidaknya saya bisa merasakan atmosfer masjid seperti di Indonesia. Saya membayangkan, jika saja didesain sedemikian rupa, masjid di Indonesia bisa menjadi tempat komunal. Tak hanya untuk salat, tapi juga kegiatan belajar mengajar, jual beli sesuai syariah, tempat makan islami, informasi sejarah, perpustakaan, atau bahkan fasilitas olahraga. Tentu kita tak perlu khawatir lagi soal menurunnya jumlah jamaah. Wallahu a’lam. (*/c17/na)