Awas Peredaran Pupuk Cair Ilegal
Polisi Bekuk Pensiunan Pegawai Bank
SIDOARJO – Hati-hati saat membeli pupuk cair. Sebab, bukan tidak mungkin pupuk yang beredar di pasaran itu asli, tapi palsu alias aspal. Jika palsu, pupuk itu bukannya menyuburkan tanaman, namun malah bisa jadi membahayakan. Nah, praktik produksi pupuk cair ilegal itu terbongkar oleh Unit Pidsus Satreskrim Polresta Sidoarjo
Pada Kamis (9/3), tim menggerebek sebuah tempat pembuatan pupuk cair ilegal tersebut. Lokasinya berada di Desa Bangah, Gedangan. Dari penggerebekan itu, petugas mengamankan Soemadi yang menjadi aktor di balik praktik terlarang tersebut. Pria 58 tahun itu adalah pensiunan pegawai bank.
Sejumlah barang bukti disita petugas. Di antaranya, beberapa produk pupuk cair serta peralatan yang dipakai. ’’Pelaku menjalankan usaha sejak Agustus 2016. Izin produksinya tidak ada,’’ jelas Kasubbaghumas Polresta Sidoarjo AKP Samsul Hadi kemarin (10/3).
Dia menyatakan, pelaku mampu menghasilkan ratusan liter pupuk cair setiap hari. Soemadi mempekerjakan seorang pegawai untuk menjalankan usahanya. ’’Yang diproduksi adalah dua merek pupuk cair. Yakni, KCL (kalium chloride) dan NPK,’’ ungkapnya.
Beberapa hari sebelum melakukan penggerebekan, petugas mendapat informasi adanya per- edaran pupuk cair ilegal yang tidak mengantongi standar SNI. Setelah dilacak, tempat produksi pupuk cair tersebut diketahui berada di Jalan Bangah Jaya Indah, Gedangan. ’’Area pemasarannya di Karesidenan Madiun,’’ katanya.
Beberapa lokasi pemasaran pupuk cair itu adalah Ngawi dan Ponorogo. Masing-masing merek dijual dengan harga berbeda. Merek NPK yang ditujukan untuk sayuran dihargai Rp 10 ribu per liter atau botol, sedangkan merek KCL dijual Rp 14 ribu. ’’Ditujukan untuk tanaman pangan seperti padi dan jagung,’’ ucapnya.
Samsul mengungkapkan, pelaku menggunakan nama CV Sekar Sari untuk memasarkan pupuk cair ilegal tersebut. Nah, badan usaha itu tidak memiliki sertifikat untuk menjual dari Kementerian Perindustrian. ’’Jadi, mutunya belum memenuhi standar dan jaminan efektivitasnya tidak sesuai dengan label,’’ ujarnya.
Dia menuturkan, penyidik menjerat pelaku dengan dua pasal sekaligus. Yakni, pasal 60 ayat (1) huruf f jo pasal 37 ayat (1) UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman. Selain itu, pasal 120 ayat (1) jo pasal 53 ayat (1) huruf b UU No 13 Tahun 2014 tentang Perindustrian. ’’Masing-masing pasal memiliki hukuman maksimal lima tahun penjara,’’ jelas perwira dengan tiga balok di pundak itu.
Soemadi mengakui, usaha pembuatan pupuknya belum berizin. Meski begitu, dia menolak dianggap tidak pernah mengurus izin. ’’Dulu, saya pernah mengajukan melalui sistem online. Tapi, prosesnya hingga sekarang belum selesai,’’ tuturnya.
Bapak dua anak tersebut tidak menemui kendala berarti dalam membuat pupuk cair ilegal. Dia mempelajari pembuatan pupuk itu secara otodidak. Bahan baku pembuatan selanjutnya dibeli di sejumlah kawasan di Surabaya dan Malang. ’’Modalnya berasal dari uang pensiun,’’ kata mantan pegawai bank tersebut.
Soemadi mempekerjakan seorang pegawai untuk mengemas pupuk cair ke dalam botol berukuran 1 liter. Dia memberikan upah harian Rp 50 ribu. ’’Dijual kepada kelompok tani di daerah. Menyebar dari mulut ke mulut,’’ ucapnya.
Soemadi menjelaskan, dirinya belajar membuat pupuk itu dari pengalamannya waktu kecil. Saat itu, bapaknya yang juga petani kerap membuat pupuk untuk tanamannya secara mandiri. ’’Menggunakan pupuk urea dengan tambahan bahan lain,’’ ucapnya.
Ide untuk merintis usaha pembuatan pupuk cair tersebut mulai terlintas di benaknya setelah pensiun menjadi pegawai bank. Soemadi yang lupa-lupa ingat dengan resep bapaknya dalam membuat pupuk gencar bertanya ke sejumlah toko bahan kimia. Dia juga menambah pengetahuannya dengan belajar melalui internet.
Menurut dia, bahan baku pembuatan pupuk cair olahannya tidak sulit ditemukan di pasaran. Di antaranya, garam inggris, zinc sulfate, mangan sulfat, tetes tebu, dan bibit urea. Bahan-bahan itu dia dapatkan di toko bernama Arum Pewangi yang berlokasi di Jalan Sukun, Malang, dan Toko Tidar Kimia di Jalan Tidar, Surabaya.
Awalnya, dia berupaya membuat pupuk dalam skala kecil untuk digunakan sendiri. Melihat ada perkembangan bagus pada tanaman di rumahnya, Soemadi memutuskan untuk memasarkan pupuk buatannya. Padahal, usahanya belum memiliki izin. ’’Modal awalnya hanya Rp 1 juta. Dipesan kenalan, orang-orang dari kelompok tani di Ngawi,’’ ungkapnya.
Soemadi menjelaskan, tuah pupuk buatannya lantas menyebar dari mulut ke mulut di daerah. Jumlah pesanan yang awalnya tidak lebih dari 100 liter per hari naik menjadi 100 persen dalam kurun waktu yang tidak lama. ’’Untung per botol Rp 800. Kalau ditotal, setiap bulan, bisa terkumpul Rp 2,5 juta,’’ katanya.
Namun, dia tidak menyangka keputusan nekat menjual barang tanpa izin tersebut akhirnya mengantarnya ke balik jeruji besi. Usaha yang sempat naik daun itu pun harus berhenti. Soemadi hanya bisa terdiam, apakah setelah keluar dari penjara akan kembali menjalankan usaha tersebut dengan lebih dulu mengurus izin. Di balik penutup wajahnya, dia terlihat sedih harus masuk bui. (edi/c23/hud)