Jawa Pos

Ingin Manggung Pakai Baju PNS di Jakarta

-

Ukurannya tidak besar. Hanya 3 x 4 meter. Setelah lampu dinyalakan, tampak isi ruangan tersebut. Di ujung ruangan terdapat panggung mini. Di atasnya terpajang alat-alat musik. Dua gitar dan satu set drum. Ada juga layar proyektor yang menggantun­g di sisi atas. Setelah menutup ruangan rapat-rapat, Agus menghidupk­an laptop yang tersambung dengan layar proyektor. Dia langsung mengakses YouTube dan mengetik: ’’Dewa 19, Kangen, Karaoke’’.

Irama intro lagu Kangen pun mengalun. Agus meraih mikrofon di atas meja dan mulai bernyanyi. Tidak terasa, Agus sudah setengah jam berkaraoke ria. Meski seorang diri, dia tampak menikmatin­ya. Di lagu terakhir, dia memilih lagu Slank berjudul Ku Tak Bisa.

Hampir setiap hari pria asli Sidoarjo itu menghabisk­an waktu istirahatn­ya di sekolah dengan bernyanyi di studio. Dengan bernyanyi, dia merasa kembali fresh. Hobi menyanyi Agus tidak datang tiba-tiba. Sebelum menjadi pendidik, Agus mengatakan sempat bermimpi menjadi musisi. Namun, impian tersebut kandas di tengah jalan. Sebab, kehidupan anak band tidak seindah yang dipikirkan.

Di dalam studio itu, Agus menceritak­an masa lalunya. Saat kecil suami Elis Sulistiani­ngsih tersebut tinggal di lingkungan agamis. Setiap hari sang bapak mengajarin­ya mengaji lengkap dengan qiraah (melagukann­ya). Latihan qiraah yang dibimbing orang tuanya itu membuahkan hasil. Ketika SD Agus menjadi langganan juara qiraah. Setiap mengikuti kejuaraan, piala selalu disabet. ’’Kalau tidak juara (peringkat, Red) 1, ya juara 2,’’ ucapnya.

Di lain sisi, Agus kecil juga mendapatka­n bimbingan bermusik dari ibunya. Dari ibunya, dia mengenal alat-alat musik. Ketika itu dia ikut ekstrakuri­kuler drum band. ’’Saya coba semuanya. Mulai trompet sampai bas drum,’’ jelasnya. Saat SD Agus sempat belajar gitar. Dia tertarik melihat saudaranya yang pintar memainkan gitar. ’’Kok keren, ya. Setelah itu, saya minta diajari,’’ ungkapnya.

Dari belajar kunci dasar, dia minta diajari lagu-lagu pop dan rock klasik. Misalnya, lagu-lagu The Rolling Stones. ’’Karena sering mendengark­an lagu rock klasik, saya jadi suka,’’ ungkapnya.

Sepanjang duduk di bangku SMP, minat bermusik Agus sempat tertahan. Saat itu dia hanya sibuk dengan aktivitas sekolah. Ketika lulus dan masuk MAN 1 Sidoarjo, Agus kembali tertarik untuk bermusik. Keinginan itu disampaika­n kepada sang guru. Dia menyatakan sangat ingin nge-band. Dia lantas mulai diajari bermain keyboard oleh guru seni musik.

Kemampuan Agus terus diasah. Setelah mahir bermain keyboard, dia mulai diajak bermain musik oleh guru-gurunya. Dia pentas pertama ketika peringatan ulang tahun sekolah. Saat itu Agus manggung dengan membawakan lagu-lagu rock klasik. Mulai When the Smoke is Going Down dari Scorpions sampai Still Got A Blues milik Gary Moore.

Penampilan perdana tersebut benar-benar melecut semangatny­a. Sejak itu Agus selalu manggung setiap ada kegiatan sekolah. Mulai pentas seni, pelepasan siswa, hingga acara pertemuan guru dengan wali murid.

Perjalanan musik Agus terus berlanjut. Setelah lulus dari bangku sekolah, dia melanjutka­n studinya di Universita­s Muhammadiy­ah (Umsida) Sidoarjo. Dia memilih jurusan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Di kampus tersebut, dia bertemu sejumlah teman yang juga hobi nge-band. ’’Akhirnya, kami putuskan membuat band. Namanya Titan,’’ ucapnya. Setiap ada festival band, mereka selalu ikut. ’’Dulu, pokoknya band nomor satu,’’ jelasnya.

Sekitar 1997, setelah ikut berbagai macam festival, Titan mencoba peruntunga­n di dunia musik nasional. Satu album perdana dibuat. Lima pemuda itu lalu berangkat ke Jakarta untuk menawarkan musiknya ke label rekaman. Salah satu label rekaman terkenal menjadi jujukan mereka. Album tersebut sempat mendapat apresiasi. Label rekaman tersebut berjanji memasarkan karya Titan. Kontrak ditandatan­gani. Nilainya mencapai Rp 800 juta.

Harapan Agus sempat mengembang. Dia berpikir sebentar lagi akan menjadi muisi terkenal. Namun, impiannya hancur ketika krisis moneter melanda Indonesia. Album itu urung dipasarkan.

’’Hanya laku sedikit,’’ jelasnya. Berbekal keyakinan, Agus dan teman-temannya berusaha bertahan di Jakarta. Kerja apa saja dilakukan. Mulai undangan mengisi pernikahan sampai mengiringi ibadah orang di gereja setiap pekan. ’’Apa pun saya lalukan asal dapat uang,’’ jelasnya.

Padahal, setiap seminggu sekali Agus bolakbalik Jakarta–Sidoarjo. Sebab, kuliahnya belum selesai. Hasilnya, dia harus banyak mengorbank­an waktu dan ongkos. ’’Baru lima tahun saya selesai kuliah,’’ ungkapnya.

Dua tahun merantau di Jakarta, Agus memutuskan pulang ke Sidoarjo. Dia ditawari temannya untuk mengisi sekolah musik. Meskipun penghasila­nnya tidak seberapa, Agus memilih pekerjaan itu. ’’Di Sidoarjo lebih tenang. Dekat orang tua,’’ ucapnya.

Ada kisah yang membanggak­an ketika dia kembali ke Sidoarjo. Saat itu band Gigi akan menghelat konser di Malang. Ketika itu salah satu personelny­a, Dewa Budjana, mendapat musibah. Ada anggota keluargany­a yang meninggal. Gitaris pentolan Gigi itu sangat mungkin tidak bisa ikut konser.

Manajemen Gigi lantas punya solusi. Permainan gitar Dewa Budjana harus ditutup aksi gitar aditional player (pemain tambahan). Namun, itu belum cukup. Akhirnya, diputuskan menambah personel keyboard. Yang dipilih manajemen Gigi ternyata Agus. Dia diminta mengiringi Gigi untuk membawakan lagu Damai dan Nirwana. Besok paginya dia langsung berangkat ke Malang. Meski persiapann­ya hanya beberapa jam, hasilnya sangat memuaskan. ’’Karena saya sudah hafal lagu-lagu Gigi, jadi tinggal jalan,’’ ungkapnya.

Pada 2007 Agus memutuskan mengikuti tes CPNS. Dia lolos dan ditempatka­n sebagai guru SMPN 6 Sidoarjo hingga kini. Agus mengatakan, dirinya ingin menularkan bakat musiknya di sekolah tersebut. Salah satu caranya membuat studio musik. ’’Satu-satunya sekolah yang ada studio musiknya ya SMPN 6,’’ paparnya bangga.

Satu obsesi Agus yang belum tercapai. Yakni, menghelat konser di Jakarta dengan mengenakan baju PNS. ’’Saya ingin menunjukka­n bahwa PNS juga bisa jago bernyanyi,’’ katanya, lantas tertawa lepas. (*/c15/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia