Dokter Antibaper yang Peduli Lingkungan dan Budaya
MENJADI dokter memang profesi idaman Muhammad Vardian Mahardika. Prestisius sekaligus mulia. Namun, tanpa raihan prestasi dan keahlian plus, Dika –panggilan akrabnya– belum merasa istimewa.
Dika sadar bahwa dirinya tidak berasal dari keluarga yang punya ’’silsilah’’ dokter. Dari kesadaran itu, alumnus kedokteran Universitas Brawijaya (UB) Malang tersebut juga berusaha menggenggam beragam prestasi. Suatu saat, prestasi tersebut bisa menjadi back up positif bagi karir dan hidupnya.
Dika mulai punya prestasi yang membanggakan pada 2005, saat masih kelas VIII SMP. Yakni, dinobatkan sebagai Juara II Pangeran Lingkungan Hidup Jawa Timur. Prestasi tersebut membuat Dika berhak terbang ke Perth, Australia. Di sana Dika dan delapan wakil lain dari Indonesia mengikuti program bertema Cross Cultural Environmental Education Exchange yang diampu Millenium Kids.
Materi yang didapat, antara lain, mengenai global warming, komposting, sanitasi, tata kota, farming in the city, hingga konservasi hewanhewan langka. Pulang dari Perth, Dika semakin yakin bahwa kebiasaan baik sekecil apa pun yang dilakukan mulai dari diri sendiri pasti menular pada orang lain. Misalnya, mencabut kabel yang tidak terpakai atau membawa tumbler dan paper bag sendiri untuk mengurangi penggunaan plastik.
’’Teoretis sih kesannya, but it works,’’ tegas Dika. Kuncinya konsisten atau istiqamah. Dengan terus-menerus memberikan contoh baik yang nyata, lambat laun keteladanan bakal tumbuh pada orang lain. Lebih-lebih, orang-orang itu bisa menghabiskan cukup waktu bersama. ’’Secara otomatis bisa tertular kebaikan,’’ kata lelaki 24 tahun tersebut.
Sebagai orang yang memengaruhi kebaikan ( influencer), Dika sadar harus punya keteguhan hati. Maka, dia melarang keras sikap baper (terbawa perasaan). Mental ’’bodoh amat’’ selalu diterapkan Dika saat ada orang yang nyinyir. Misalnya, menganggapnya sebagai orang yang sok pahlawan. ’’Kalau dikit-dikit baper, selesai sudah. Akan sulit punya kawan dan sulit pula menularkan influence pada orang lain,’’ jelasnya.
Saat masih menjalani studi kedokteran di Malang, Dika menjabat presiden Hilo Green Community 2014-2015. Banyak langkah nyata yang dilakukan. Salah satunya, mengumpulkan 1.340 botol plastik yang disebut sebagai tumbler day. Juga, lomba baju daur ulang dan penjualan kertas skripsi yang tidak terpakai. Dana yang terkumpul dari penjualan kertas skripsi itu dipakai untuk konservasi penanaman pohon.
Dalam posisinya tersebut, Dika tampil dalam ajang Putra-Putri Batik Nusantara. Dika berkesempatan memperkenalkan batik khas Gresik. Saat itu dia menge- nakan batik Damar Kurung, lampion khas Gresik karya maestro seni Masmundari. Gelar pemenang ketiga pun diraihnya.
Gaya Dika memang berbeda. Prestasi nonakademiknya memang cukup banyak. Namun, tidak sembarang kompetisi diikuti. Dika menegaskan bahwa dirinya bukan orang yang gila selempang. Maka, jika ditilik, selempangselempang yang diraih Dik a selalu relevan dengan isu yang ingin diangkat. Berhubungan erat dengan ketertarikannya. Sebut saja bidang budaya, lingkungan, dan kesehatan.
Dika sudah memutuskan kembali ke Gresik, kota kelahirannya. Sekarang dia menjadi dokter magang di Rumah Sakit Petrokimia Gresik (RSPG) setelah sekitar 6,5 tahun menyelesaikan studi kedokteran.
Dika punya keinginan besar untuk berkontribusi bagi kota masa depan tersebut. Dengan prestasi dan kemampuan plusnya, Dika berniat membentuk sebuah komunitas sekaligus gerakan. Bidang kesehatan, lingkungan, ataupun budaya. (hay/c15/roz)
Kadang perlu menjadi tuli dan buta supaya tetap menatap ke depan sesuai tujuan kita. Tidak fokus pada suarasuara sumbang di sekitar.’’