Borges dan Asal Usul Cerita Fantasi
Cerita-cerita Jorge Luis Borges perpaduan antara gaya bercerita dan berbagai kemampuan menulis lainnya. Di Pendekar Tongkat Sakti dari Argentina, bisa kita temukan tema-tema universal yang menjadi ciri khas penulis Argentina itu.
JORGE Luis Borges adalah pionir sekaligus sumber ilham, pembuka jalan bagi pintu kreativitas penulisan prosa. Anggap saja teknik penulisan Borges sebagai gaya eksperimentasi (salah satu penganjur sastra fantasi), dengan tilas-tilas yang diikuti oleh banyak peniru kreatif lainnya.
Sebagian peniru itu, dengan mengembangkan teknik dan ilham yang diteteskan Borges, lantas menjadi novelis dengan keunikan artikulasinya masing-masing. Sebut saja sedikitnya Gabriel Garcia Marquez, Umberto Eco, Italo Calvino, Milorad Pavic, dan Paulo Coelho.
Cara bercerita Borges tidak hanya terperinci dan hidup, melainkan juga membuat kita mempertanyakannya dan mencari lagi dan lagi karena ragu-ragu sekaligus terpesona dengan modelnya.
Gaya menikung yang dijalaninya lebih tahan uji dari situasi zaman yang punya selera berubah-ubah. Ia punya karakteristik yang bisa ditandai, antara lain, bertalian dengan gayanya yang terampil dalam –untuk meminjam sebaris kalimat pembuka cerita Tlon, Uqbar, Orbis Tertius– ”menyelewengkan fakta-fakta dan bermain-main dengan pelbagai kontradiksi.”
Jadi, jangan heran bila mendapati hampir semua kisahnya menerabas keumuman gaya bercerita. Yang secara jamak patuh pada penggunaan teknik-teknik psikologi seperti suara batin tokoh-tokohnya (monolog interior) serta arus kesadaran ( stream of consciousness).
Cerita-cerita Borges bisa dibilang seperti sebuah perpaduan antara gaya bercerita dan berbagai kemampuan menulis lainnya (hibriditas). Ia gabungkan antara gaya bercerita dan menulis esai; mengawinkan gaya bercerita dan gaya mengulas buku; mencampuri seni bercerita dan berbagai fakta-realitas sejarah; menyejajarkan gaya bercerita dan menulis catatan harian; dan seterusnya dan seterusnya.
Borges seperti terus konsisten menciptakan dunia dalam alam fiksi, yang bahan bakunya semua isi perpustakaan (buku-buku, ensiklopedia, indeks-indeks catatan, berbagai literatur dunia yang mungkin ia bacai), tempat ia menghabiskan nyaris separo hidupnya (sebagai pembaca buku yang rakus) dan menghidupkan hobinya (menjadi seorang pustakawan). Saking dekat dan cintanya terhadap buku-buku itulah, kenapa ia bisa punya pasase cantik ihwal perpustakaan: ” I have always imagined that paradise will be a kind of library.”
Pola-pola kisahnya bisa ditandai melalui, misalnya, ketika Borges sedang menceritakan waktu, labirin, dunia peniruan, maka sebetulnya ia sedang mendongengkan tema ketakberhinggaan.
Dalam buku
ini, kita juga akan menemukan tema-tema universal yang menjadi ciri khas Borges tersebut. Ada sejumlah cerita yang berlatar permainan sudut pandang, dengan tema paralelisme ( Kongres, Memori Shakespeare, Emma Zunz, Ada Berbagai Macam Hal, Akhir, ”Undr”, Cakram, Akhir dan Awal bagi Dirinya, Harimau Biru) atau pelaporan dunia etnografi ( Laporan Brodie).
Juga, ada yang seolah-olah mengulas karya seorang pengarang ( Suatu Tinjauan terhadap Karya-Karya Herbert Quain), perjalanan waktu ( Utopia Seorang Laki-Laki Putus Asa), relativitas waktu ( Pedro Salvadores), dan penggandaan ( Sang Teolog, Ulrikke, 25 Agustus 1983).
Membaca kisah-kisah Borges membawa kita pada keyakinan bahwa kadang yang utama dari sebuah cerita pendek adalah bagaimana alur diberi perhatian secara maksimal, sebagaimana yang diyakini dan dipraktikkan sendiri oleh Borges.
Lantas ditambah dengan kecerdikan dalam mengaduk serta mengacak antara realitas dan persepsi, juga fakta dan fiksi, menjadi saling mengisi dan melepas. Begitulah, dengan menggunakan permainan persepsi (yang dikembangkannya dari Berkeley), lahirlah cerita-cerita fantasi yang terolah secara piawai khas sastrawan Argentina yang tak pernah dapat Nobel itu. (*) MISBAHUS SURUR Editor portal nggalek.co dan pengajar di UIN Maliki, Malang