Eksperimen Boleh, asal Konsisten dengan Tema
Dari Talk Show Bertema Kiat Menulis untuk Media
Menulis cerpen tak semudah kelihatannya. Apalagi jika menulis untuk media massa besar dan berskala nasional. Karena itu, redaktur yang bertanggung jawab pada cerpen-cerpen di media cetak perlu ekstraselektif dalam memilih tulisan yang bakal dimuat.
KIATKIAT menulis cerpen itu dikupas kemarin dikupas oleh Arief Santosa, redaktur budaya sekaligus kepala liputan Jawa Pos. Aktif sebagai redaktur sejak 2000, kemampuan Arief mengenali kelayakan tulisan tentu tak perlu diragukan lagi. Tak terhitung cerpen yang sudah dia baca. Dalam sehari, redaktur yang pernah ditugaskan di Jogja itu menerima 15–20 cerpen. Padahal, halaman cerpen muncul hanya seminggu sekali, yakni akhir pekan.
Di antara ratusan cerpen itu, ada pula karya anak-anak muda yang merupakan penulis pemula. Melihat persaingan yang begitu ketat dan susahnya menembus media nasional, Wina Bojonegoro pun berinisiatif mengadakan talk show bertema Kiat Menulis untuk Media di Kedai Kreasi kemarin (11/3). ”Ini sebenarnya request dari teman-teman karena mereka bingung tulisan seperti apa yang diinginkan media,” jelas penulis sekaligus pemilik kedai tersebut.
Dalam talk show yang berlangsung selama dua jam itu, Arief banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai editor cerpen. Kali pertama dipercaya sebagai redaktur, Arief mensyaratkan satu hal. Yakni, dia ingin diberi kebebasan berekspresi dan mengapresiasi penulis cerpen. ”Saya suka bereksperimen dalam menerbitkan tulisan cerpenis,” ungkap jurnalis yang aktif di Jawa Pos sejak 1992 itu. Misalnya, ketika menerima tulisan seorang aktivis yang kontroversial, Arief tak segan untuk memasukkannya dalam kolom.
Meski begitu, Arief menegaskan bahwa eksperimen dan kreativitas pun harus bertanggung jawab. ”Kreatif boleh, asal tidak kelewat batas dan tetap memperhatikan norma-norma moralitas,” jelasnya.
Selain itu, hal pertama yang harus menjadi pertimbangan dalam penulisan adalah konsistensi. Baik itu dalam gaya penulisan maupun tema. Arief menganjurkan penulis untuk menggali satu tema yang paling dikuasai. Sebab, jika tidak konsisten, biasanya penulis akan ”kehabisan tenaga”. Menurut Arief, eksplorasi tidak haram dalam dunia kepenulisan. Namun, penulis harus berusaha mempertahankan ciri khasnya. ”Biar tidak dianggap sok tahu semuanya,” paparnya. Dia sendiri biasanya sudah peka jika membaca sebuah tulisan, apakah cerpen itu sesuai gaya asli sang penulis atau tidak.
Diskusi hangat siang itu mengundang berbagai pertanyaan dari partisipan. Salah satunya Arif Rahman dari Universitas Airlangga. Dia bertanya seputar kesempatan penulis pemula di media massa. ”Justru saya merasa senang jika ada penulis pemula. Karena kalau pembaca disuguhi tulisan dari penulis yang itu-itu saja, bisa jenuh,” ujar Arief. Dengan kata lain, regenerasi dalam dunia kepenulisan sangat diperlukan untuk memperkaya ragam sastra Indonesia.
Di samping konsistensi, hal penting yang tak boleh luput adalah orisinalitas dan etika. Arief beberapa kali menemukan kasus cerpen yang ditulis ter- nyata menjiplak dari karya asing yang sudah ada. Itu masih menjadi pekerjaan rumah pula bagi para editor ketika dihadapkan dengan suatu karya, yakni mendeteksi apakah karya itu hasil plagiarisme atau bukan. ”Biasanya ini terlihat dari gaya tulisan. Kalau mendadak berubah, perlu dipertanyakan itu asli atau tidak,” ungkapnya. Arief bahkan pernah memasukkan seorang penulis dalam daftar hitam. Sebab, si penulis ketahuan melakukan duplikasi dan melanggar etika. ”Sepuluh tahun tidak saya perbolehkan menulis di kolom saya,” imbuhnya.
Bagi penulis pemula, mengirim tulisan dan langsung dimuat memang jarang terjadi. Namun, Arief menegaskan, jangan sampai hal itu memadamkan semangat penulis muda untuk terus berkarya. Apalagi, sering menulis bisa memperkaya portofolio. ”Sebenarnya portofolio hanya sebagai pendukung. Tapi, saya tentu akan mempertimbangkan kalau ternyata tulisan dia sering dimuat di media massa, barangkali memang benar-benar bagus,” tandasnya. (deb/c11/oni)