Sulitnya Kaderisasi Direksi BUMN
SETELAH diperpanjang hampir dua pekan, masa jabatan Yenni Andayani sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut Pertamina resmi berakhir pada 16 Maret 2017. Mantan Dirut PTPN III (Holding) Elia Massa Manik secara resmi menduduki kursi yang dulu ditempati Dwi Soetjipto (DS) yang diberhentikan pada 3 Februari 2017 tersebut. DS dicopot karena masalah kepemimpinan pada tingkat board of director (BOD) di BUMN migas tersebut.
Meski Dirut Pertamina akhirnya bisa ditemukan melalui proses perpanjangan Plt, ternyata tidak mudah mencari figur direksi baru di BUMN. Ini sinyal bahwa persoalan kaderisasi direksi BUMN belum selesai kendati puluhan kali periode menteri BUMN berganti.
Pengangkatan DS sebagai Dirut Pertamina sebetulnya merupakan langkah strategis Kementerian BUMN untuk menciptakan sistem regenerasi abadi pada level manajemen puncak untuk 119 BUMN. Premis awalnya, semakin tinggi hierarki organisasi, sudut pandangnya adalah lex generalis. Karena itu, persoalan teknis dan detail tidak dikhawatirkan karena akan diselesaikan direktur teknis beserta jajaran eselon I dan eselon II masing-masing BUMN tersebut.
Jabatan direktur utama BUMN dalam road map tersebut hanya menerima directive dan tasks khusus dari Kementerian BUMN agar koordinasi dan komunikasi vertikal berjalan efektif. Di samping menyiapkan regenerasi secara horizontal, yaitu disiapkan menjadi direktur utama BUMN lainnya secara cepat (jika kosong), juga akan disiapkan menjadi menteri BUMN atau minimal staf ahli menteri BUMN.
Spirit interchangeable manajemen puncak antar-BUMN itu mengemuka kuat apalagi setelah pucuk pimpinan beberapa BUMN terbukti tidak berasal dari internal masingmasing. Setelah DS yang berlatar belakang semen masuk ke dalam Pertamina, Arif Wibowo menyusul di Garuda, berikutnya Alex Janangkih Sinaga di PT Telkom, Silmy Karim di Pindad (kini ke Barata), Sofyan Basir di PLN, serta Djarot Kusumayakti di Bulog setelah menggantikan Lenny Sugihat dan Rizkan Chandra di PT Semen Indonesia.
Di samping menyiapkan tenaga abadi untuk regenerasi direktur, sinergi BUMN menjadi kata kunci lain yang disasar dari pertukaran pimpinan. Masuknya DS ke dalam Pertamina dalam perspektif positif menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan dalam BUMN sudah berlangsung sistematis. Satu eksekutif dapat diproyeksikan untuk menjadi sumber kepemimpinan di BUMN lain.
Antar-BUMN menjadi tidak bersaing dan akan terjadi saling sinergi. Setiap pekerja BUMN menjadi paham mengapa harus menggunakan Garuda atau KAI dalam setiap perjalanan dinas mereka. Atau, mengapa BUMN lain juga harus menggunakan produk Semen Indonesia jika melakukan kegiatan konstruksi.
Pemahaman holistik itulah yang kini belum secara komprehensif dipahami seluruh staf BUMN. Umumnya, mereka berpikir parsial dan terpisah-pisah sehingga kini antar-BUMN bersaing dengan ketat dan berdarah-darah. Produk semen dulu sebelum adanya holding Semen Indonesia harus bersaing dengan produk Semen Padang, Semen Gresik, dan Semen Tonasa, padahal notabene ketiganya adalah BUMN. BUMN jasa konstruksi juga bertanding head-to-head dengan rekannya yang lain seperti Wika, HK, atau Adhi Karya. Demikian pula BUMN perbankan, kepelabuhanan, farmasi, kehutanan, asuransi, dan masih banyak yang lain.
Padahal, saat ini persaingan sebetulnya sudah mengglobal tanpa bisa dibatasi jarak. Produk semen sudah terancam oleh korporasi internasional sekelas Holcim dan Lafarge. Jasa transportasi udara harus melawan Singapura Airlines dan AirAsia, jasa transportasi kargo kapal laut dengan Maersk, dan jasa ritel dengan Hypermart, Carrefour, serta Giant. BBM produk Pertamina bahkan kini ditempel ketat oleh Shell, Petronas, dan Total. Itulah sebetulnya yang harus dibendung dengan sinergi BUMN. Karena itu, pertukaran direksi adalah salah satu jalan menuju persatuan BUMN.
Pencopotan DS menyiratkan bahwa Kementerian BUMN tidak konsisten dengan road map yang disusunnya sendiri dan justru menaikkan skala konflik untuk sinergi BUMN yang sudah lama dinanti.
Pasca pencopotan DS, semoga saja Kementerian BUMN tidak mewujudkan agenda berikutnya untuk menggunakan dan menyewa CEO asing. Jangan karena beralasan bangsa sendiri tidak mampu dan suka berkonflik, kemudian Kementerian BUMN menerima orang asing. Pemahamannya harus dibalik, bangsa sendiri yang notabene memahami kultur dan budaya saja tidak berhasil, apalagi menggunakan CEO orang asing. (*)