Lurah-Camat Harus Belajar Konservasi Lagi
SURABAYA – Siapa yang disalahkan saat 99 rumah dan 1 masjid di kawasan lindung pantai timur Surabaya (pamurbaya) terlanjur terbangun? Warga pemilik rumah jelas tidak mau disalahkan.
Ketua Komisi A Herlina Harsono Njoto menilai pemkot kecolongan. Kejadian itu menunjukkan lemahnya koordinasi antara dinas, camat, dan lurah. Seharusnya, dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman cipta karya dan tata ruang (DPRKP CKTR) serta badan perencanaan pembangunan kota (bappeko) menyosialisasikan koordinat kawasan lindung kepada lurah dan camat. ”Di kelurahan dan kecamatan, harus ada pemahaman tentang batas kawasan lindung,” terang politikus Demokrat tersebut. Dia meminta badan kepegawaian dan diklat serta Kabag pemerintahan membuat bimbingan teknis kepada lurah camat. Mereka perlu diberi pemahaman soal hukum pertanahan dan batas kawasan lindung.
Dalam kasus tersebut, mantan lurah Gunung Anyar Tambak Jaelani menandatangani surat sporadik warga. Dalam surat itu, tertulis peruntukan bangunan sebagai tempat tinggal. Padahal, pemilik lahan tidak boleh mendirikan bangunan di lahan yang diperuntukan ruang terbuka hijau (RTH).
Herlina menilai keputusan lurah menandatangani surat sporadik warga tidak bisa dibenarkan. Seharusnya lurah tidak gegabah mengeluarkan rekomendasi. Dia harus proaktif menanyakan peruntukan lahan itu kepada DPRKP CKTR.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim Agus Widiyarta menerangkan, permasalahan tanah memang sering diadukan kepada pihaknya. Dalam kasus tersebut, tidak ada alasan bagi lurah untuk tidak tahu batas kawasan konservasi. ”Lurah harus tahu peruntukan RTRW (rencana tata ruang wilayah, Red),” jelasnya. Saat ini peta peruntukan bisa dilihat di website DPRKP CKTR. Tak hanya lurah, peta peruntukan itu bisa dibuka masyarakat secara gratis tanpa harus login lebih dulu. Tanpa bertanya kepada DPRKP CKTR, seharusnya lurah sudah bisa melakukan pengecekan. ”Kalau tidak bisa, ya, lurahnya perlu dibina,” tegasnya. (sal/c16/oni)