Jawa Pos

Warga Sudah Terima Surat Satpol PP

Rencana Sterilisas­i Kali Buntung

-

SIDOARJO – Jika tidak ingin bencana banjir di Kota Delta terus menjadi langganan, rencana sterilisas­i bangunan di sepanjang Kali Buntung tidak boleh maju mundur lagi. Menertibka­n bangunan itu memang tidak mudah. Butuh waktu. Namun, kalau ada komitmen bersama, pasti ada jalan. Dengan demikian, bayang-bayang banjir tidak lagi menghantui ribuan warga.

Menurut Ketua Lembaga Pemberdaya­an Masyarakat Desa (LPMD) Bungurasih Tito Pradopo, penertiban bangunan di sempadan Kali Buntung memang tidak boleh terus ditunda. Kalau terus dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin kondisi Kali Buntung makin mengkhawat­irkan. Petugas akan sulit untuk melakukan normalisas­i sungai. Dampaknya, ancaman banjir makin merisaukan warga

Tito menceritak­an, dulu Sungai Buntung sangat lebar. Lebih dari 6 meter. ”Namun, kini sudah semakin kecil dan terus mengecil. Kondisinya pun semakin dangkal,” jelasnya.

Selain menertibka­n bangunan, lanjut dia, pemerintah harus mengembali­kan saluran-saluran air di sekitarnya. Dulu di sepanjang jalan ada saluran air. Namun, setelah dibangun terminal, saluran air itu tertutup. Langkah yang paling cepat adalah membuat sudetan air. Air dari Bungurasih dan Kedungrejo disudet menuju grand afvoer atau sungai perbatasan antara Surabaya dan Sidoarjo. Pembagian itu bisa meringanka­n beban Kali Buntung.

Pantauan Jawa Pos, kondisi sempadan Kali Buntung di beberapa wilayah kini memang makin merisaukan. Di kawasan Medaeng, misalnya. Bangunan di sepanjang bantaran sungai sangat padat. Banyak bangunan permanen yang membentang di sepanjang Jalan Letjen Sutoyo hingga Jalan Raya Waru. Pemanfaata­n bangunan itu pun beragam. Mulai biro perjalanan, penginapan, minimarket, warung, ruko, toko, hingga tempat pijat.

Bangunan-bangunan itu mepet dengan bibir sungai. Sempadan sungai yang seharusnya ada untuk kebutuhan jalan inspeksi pun ”tertelan” tembok-tembon bangunan. Bahkan, tidak sedikit bangunan yang masuk ke wilayah sungai. Kondisi itu jelas menabrak aturan. Di antaranya, peraturan menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR).

Seperti diberitaka­n kemarin, dalam Permen PUPR Nomor 28/ PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, telah diatur ketentuan garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan. Di antaranya, paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter.

Lalu, jarak bangunan paling sedikit 15 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai untuk kedalaman sungai lebih dari 3–20 meter. Kemudian, paling sedikit berjarak 30 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai untuk kedalaman sungai lebih dari 20 meter.

Nah, dengan kedalaman sekitar 3 meter, semestinya jarak bangunan di sepanjang Kali Buntung 10 meter. Rumah dan gedung yang berdiri di sepanjang Kali Buntung itu tidak tergolong bangunan sederhana. Konstruksi­nya kukuh lantaran terbuat dari batu bata. Tidak sedikit yang berlantai dua untuk bisnis penginapan dan ruko. Di kawasan Bungurasih, kondisinya tidak jauh beda. Deretan rumah memanjang mulai Jalan Raya Taman hingga Jalan Raya Waru.

Beberapa warga Medaeng ketika dikonfirma­si mengaku, meski mepet dengan Kali Buntung, bangunan mereka telah bersertifi­kat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Rumah pasangan suami istri Sukirno dan Siti Fatimah misalnya. Keluarga itu mengaku tinggal di sempadan Kali Buntung sejak 1980. Jauh sebelum Terminal Purabaya dibangun.

Bapak berusia 70 tahun tersebut mengatakan, sejak dulu di bantaran Kali Buntung sekitar Medaeng memang berdiri hunian. Kawasan itu dulu dikenal sebagai Kampung Tempehan. ”Karena kompleks orang buat tempe, makanya dinamakan Tempehan,” ujarnya.

Setelah memutuskan untuk membangun rumah, Sukirno mengurus surat tanah. Tepatnya sekitar 1985. Saat itu dia menggunaka­n jasa orang untuk mengurus sertifikat. Uang Rp 2,5 juta disetor. Namun, surat itu tidak kunjung jadi. Karena tidak kunjung selesai, akhirnya dia memutuskan untuk mengurus sendiri. ”Tahun 1985 saya sudah dapat sertifikat tanah,” ucapnya.

Pria asli Blitar itu membenarka­n, pada 2 Januari lalu Satpol PP Kecamatan Waru mengirimka­n surat kepada warga yang bermukim di sempadan Kali Buntung. Tujuannya, mendata penduduk yang tinggal di bantaran kali. Nah, setelah warga mengisi data, data itu diserahkan ke kecamatan. Tenggang pengisian data satu minggu. Namun, hingga kini pihak kecamatan tidak pernah mengambil surat tersebut.

Sukirno tidak mempermasa­lahkan rencana penertiban untuk kepentinga­n umum. Namun, jika tanah dan rumahnya dibongkar, tentu harus ada kompensasi. ” Ya, kami meminta ada ganti rugi. Sepengetah­uan kami, semua bangunan di sini sudah bersertifi­kat,” paparnya.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemkab Sidoarjo Sigit Setyawan menyatakan, tim Kecamatan Waru sudah mendata bangunan di sempadan Kali Buntung. Ke depan, pihaknya akan mendata ulang. Tujuannya, mengecek lebar sempadan yang seharusnya, pemilik bangunan, hingga setifikat kepemilika­n tanah. ”Kalau ada sertifikat, kami akan minta fotokopian­nya,” jelasnya.

Soal permintaan ganti rugi dan kepemilika­n sertifikat, Sigit belum bisa berbicara banyak. Menurut dia, dinas PUPR akan berkoordin­asi dengan Kantor Pertanahan Sidoarjo terlebih dulu. ”Kami akan cek penerbitan sertifikat tersebut,” tutur mantan kepala dinas pekerjaan umum bina marga itu.

Sigit menambahka­n, pihaknya saat ini berkoordin­asi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas. Pemkab akan menanyakan rencana program normalisas­i Kali Buntung yang dilakukan BBWS. Sebab, sungai itu menjadi kewenangan pusat melalui BBWS. ”Kami tanyakan titiknya di mana. Dengan demikian, ada kesesuaian dengan titik penertiban,” jelasnya.

Sejatinya rencana penertiban bangunan di sepanjang Kali Buntung bukan wacana baru. Rencana itu sudah beberapa tahun lalu disuarakan. Namun, hingga kini kebijakan untuk mengurai problem banjir tahunan karena luapan kali tersebut terkesan maju mundur. Jumlah bangunan yang berdiri pun semakin banyak.

Pada musim hujan tahun ini, beberapa kali sungai sepanjang sekitar 10 kilometer itu meluap. Ratusan rumah warga pun terdampak banjir. Ketika Kali Buntung meluap dan merendam rumah warga, suara sterilisas­i bangunan di sempadan kembali mengemuka. Baik dari pejabat terkait maupun kalangan gedung dewan. Namun, wacana itu biasanya timbul tenggelam. (aph/c11/hud)

 ?? BOY SLAMET/JAWA POS ?? TANPA JARAK: Banyak bangunan yang berdiri persis di tepi Kali Buntung di kawasan Medaeng, Kecamatan Waru. Kondisi itu membuat petugas sulit melakukan normalisas­i sungai.
BOY SLAMET/JAWA POS TANPA JARAK: Banyak bangunan yang berdiri persis di tepi Kali Buntung di kawasan Medaeng, Kecamatan Waru. Kondisi itu membuat petugas sulit melakukan normalisas­i sungai.
 ?? BOY SLAMET/JAWA POS ?? MENYEMPIT: Aliran Kali Buntung di wilayah Bungurasih juga dipenuhi bangunan. Bahkan, tidak sedikit yang menjorok ke badan sungai.
BOY SLAMET/JAWA POS MENYEMPIT: Aliran Kali Buntung di wilayah Bungurasih juga dipenuhi bangunan. Bahkan, tidak sedikit yang menjorok ke badan sungai.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia