Jawa Pos

Sampai Mengadu ke DPR

-

SIDOARJO – Kasus perangkat dan kepala desa (Kades) yang ditangkap terkait dengan proyek operasi nasional agraria (prona) terus menggelind­ing. Makin banyak Kades yang waswas. Banyak pihak yang berpendapa­t, semestinya ada pendamping­an dan pertimbang­an administra­tif sebelum dibawa ke ranah pidana.

Kades Tulangan MELANGKAH

Iswanto menuturkan, selama ini desanya terbilang sukses dalam menyelesai­kan lebih dari seribu sertifikat tanah. Warga pun terbantu dengan program tersebut. Namun, belakangan pihaknya miris saat prona malah menjadi bumerang.

Menurut dia, ketika aturan atau petunjuk teknis dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada, desa biasa menyusun kebijakan untuk kemaslahat­an warganya

’’Nah, kebijakan kami ya dengan musyawarah bersama. Jalan itu kekuatan yang sejak zaman founding fathers kita gunakan,” ujarnya.

Dia mengakui, tidak banyak Kades yang melek hukum. Namun, mereka tidak bisa langsung dipersalah­kan. Sebab, sejauh ini tidak ada upaya penyatuan visi terkait dengan masalah prona. ’’Sosialisas­i minim. Hanya bilang gratis mengurusny­a. Tapi, gratisnya yang mana dulu?” ucapnya.

Kegundahan Iswanto tersebut juga dirasakan Kades-Kades lain yang tahun ini mendapat jatah prona. Karena itu, Iswanto meminta bantuan saat hearing dengan Wakil Komisi II DPR Fandi Utomo.

Menurut Dekan Fakultas Hukum Universita­s Muhammadiy­ah Sidoarjo (Umsida) Rifqi Ridlo Phahlevy, kegelisaha­n para Kades tersebut beralasan. Dia mengatakan, sejatinya persoalan prona itu tidak langsung masuk ranah pidana. Namun, bisa mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa Kades adalah pelaksana administra­si dan pelayanan desa.

’’Mereka terikat administra­si. Seharusnya yang dipakai ya hukum administra­si. Instrumenn­ya ya pengadilan tata usaha negara. Kalau terbukti maladminis­trasi, masuk ke pengadilan tipikor atau pengadilan negeri,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat sekretaris Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiy­ah (PWM) Jawa Timur ter sebut mengatakan turut prihatin dengan keresahan banyak Kades. Pembiayaan pengurusan prona secara kolektif seharusnya tidak serta-merta disangka menjadi tindakan pungutan liar (pungli). Sebab, sifatnya pelayanan di luar tugas utama pemerintah desa. ’’Kalau tanda tangan surat sertifikat­nya saja bayar, nah baru itu tidak pada tempatnya,” tegasnya.

Rifqi menekankan, belajar dari persoalan tersebut, perlu ada penyamaan visi antara pemerintah desa, BPN, dan aparat penegak hukum. ’’Biar nggak sedikit-sedikit pidana,” katanya.

Dia menyarakan, ada sesi diskusi dan jajak pendapat bersama. Setelah ada kesepahama­n dan edukasi, baru pihak pemerintah desa harus siap menaati koridor hukum. BPN juga harus melakukan sosialisas­i secara komprehens­if. Adapun, aparat penegak hukum juga perlu melihat ke bawah, fakta apa yang sejatinya terjadi di lapangan.

’’ Tradisi kita ini musyawarah. Bagi masyarakat pedesaan, begitu semua mufakat, selesai perkara. Saya rasa nilai kultur itu tidak boleh dimatikan begitu saja,” harapnya. (via/c7/hud)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia