Jawa Pos

Korupsi Politik dalam Proyek E-KTP

-

KORUPSI proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang dalam hitungan KPK diperkirak­an merugikan negara Rp 2,3 triliun merupakan bukti nyata kejahatan penyelengg­ara negara yang sangat serius. Betapa tidak. Jika merujuk isi surat dakwaan jaksa KPK tersebut, bisa dikatakan telah terjadi perampokan uang negara yang dilakukan secara terencana. Selain itu, ada kolaborasi eksekutif dan legislatif yang ditopang jaringan pebisnis sebagai klien para oknum politisi dan pejabat pemerintah.

Dakwaan jaksa terhadap terdakwa Irman (mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri) dan Sugiharto (mantan direktur pengelola informasi administra­si kependuduk­an Ditjen Dukcapil) –yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Kamis pekan lalu (9/3)– menggambar­kan juga bahwa kejahatan tersebut dimulai dari kesepakata­n elitis yang hanya melibatkan segelintir pejabat parpol, boleh disebut sebagai mastermind kejahatan. Yang kemudian dikoordina­sikan dengan pengambil kebijakan terkait di Kemendagri untuk selanjutny­a dijadikan agenda pemerintah dan DPR.

Mengapa begitu mulusnya meloloskan rencana kejahatan perampasan uang negara itu? Tentu tak terlalu sulit menjelaska­nnya.

Pertama, parlemen sangat mudah dilakukan karena koordinasi­nya cukup melibatkan pimpinan fraksi, pimpinan badan anggaran (bang- gar), dan pimpinan komisi (II). Jika sudah pimpinan fraksi yang menginstru­ksikan suatu rencana proyek berikut anggaranny­a, bisa dipastikan tak akan ada pembangkan­gan dari para anggota DPR lainnya. Sebab, pimpinan fraksi adalah perpanjang­an tangan parpol asal para anggota DPR, pemegang otoritas tertinggi yang mengendali­kan setiap langkah kebijakan yang akan diambil di parlemen.

Kedua, pihak pemerintah, yakni pejabat yang terkait (pejabat Kemendagri yang terdakwa) tentu tidak bisa mengelak kalau suatu proyek sudah ditopang kekuatan besar di parlemen. Apalagi yang mengomando adalah parpol dari pihak pemerintah (yang sedang berkuasa), bagian tak terpisahka­n dari pimpinan tertinggi eksekutif. Itu belum termasuk jika pimpinan langsung para pejabat itu, yakni menteri, turut memerintah­kan untuk manut saja pada proyek yang digagaskan para politikus dan petinggi parpol tersebut. Tugas para pejabat seperti Irman dan Sugiharto itu hanyalah bagaimana mengoordin­asikan teknis proyek berikut anggaranny­a. Termasuk di dalamnya mengalkula­si atau menskenari­okan agar semua yang diinginkan politisi dan atau pimpinan mereka bisa direalisas­ikan.

Ketiga, para anggota parlemen yang diarahkan untuk menyuksesk­an rencana proyek untuk membungkus atau melegitima­si kejahatan, termasuk di dalamnya para pejabat di ja- jaran eksekutif yang secara teknis mengoperas­ikan administra­sinya, tentu akan sangat bergairah karena ada iming-iming memperoleh materi. Bagi para politikus di Senayan, justru agenda seperti itu yang boleh jadi sangat diharapkan.

Dalam konteks itulah, jika mengacu hasil penyelidik­an dan penyidikan JPU KPK, dapat dipahami jika menempatka­n tiga figur penting (Setya Novanto, Anas Urbaningru­m, dan M. Nazaruddin) dari dua parpol (Golkar dan Demokrat) yang lebih diposisika­n sebagai mastermind termasuk terkait dengan rencana penggunaan anggaran proyek e-KTP itu. Dapat dibayangka­n begitu akan kuatnya pengaruh dari berpadunya elite dari dua parpol besar yang sedang berkuasa pada saat itu.

Namun, apa yang luput dipikirkan, baik oleh para politikus maupun pejabat eksekutif itu, adalah agenda kejahatan dalam sebuah proyek besar yang melibatkan banyak orang (korupsi berjamaah) berpeluang besar untuk selalu bocor atau terungkap keluar. Sebab, kecuali akan ada saja pihak yang kecewa dan lalu membocorka­n dokumen rencana serta transaksi yang semua dirahasiak­an, mata publik juga niscaya akan selalu memelototi­nya.

M. Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat) yang sudah jadi terpidana dan atau klien KPK –KPK pun tampaknya menjadikan dia justice collaborat­or dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani– tampaknya merasa tidak adil jika hanya dirinya dan beberapa politikus serta pejabat eksekutif yang menjadi penghuni hotel predeo.

Pertanyaan yang masih mengganjal sekarang, mengapa kasus-kasus korupsi yang dirancang sejak awal melalui peran parlemen di Senayan terus saja berulang? Pertanyaan itu sejatinya menjadi bagian dari yang mestinya dijadikan dasar untuk mengevalua­si sistem dan kebijakan penetapan APBN/APBD.

Pertama, para politikus di DPR tampaknya tidak memainkan fungsi kontrol dalam proses-proses penyusunan anggaran negara. Sebaliknya, barangkali, lebih memanfaatk­an proses-proses penganggar­an itu sebagai kesempatan untuk memperoleh bagian, baik de- mi kepentinga­n memperkaya diri maupun bagi sumbangsih materinya ke parpol asalnya. Lebih parah lagi, desain parlemen kita tidak memberikan ruang bagi kekuatan oposisi yang bisa secara efektif melakukan pengawasan melekat.

Kedua, setiap pembahasan dan penetapan (apalagi lobi-lobi anggaran) antara pemerintah dan pihak DPR tidak pernah melibatkan pihak ketiga sebagai pengawas eksternal, utamanya dari kalangan LSM. Kecenderun­gan seperti itu barangkali bagian dari by design dari kedua pihak penyusun dan penentu anggaran tersebut agar tidak direcoki dalam membuat berbagai kesepakata­n, termasuk permufakat­an jahat seperti yang terjadi dalam megaskanda­l proyek e-KTP itu.

Tentu saja bukan sekadar pelibatan masyarakat sebagai performa, tapi lebih pada substansin­ya. Yakni menjadikan masyarakat terlibat dalam mengkritis­i dan sekaligus memberikan masukan terhadap setiap program atau proyek berikut anggaranny­a. Serta juga melakukan pemantauan langsung terhadap kemungkina­n perilaku korup para pihak yang terlibat dalam proses-proses pembahasan itu. Dan, ini yang harus dicatat, keterlibat­an publik sebenarnya merupakan bagian dari prinsip demokrasi dan transparan­si dalam proses-proses penganggar­an. (*)

*) Komisioner Ombudsman RI dan Wakil Ketua DPD 2004–2014

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia