Untuk Makan Rp 1 Juta, Semua Kebutuhan Difasilitasi Kampus
Cerita Wendy Dersyanto, Anak Perbatasan yang Kuliah di Tiongkok Kuliah di luar negeri bukan lagi sekadar mimpi bagi anak di tapal batas negeri. Sejak dua tahun terakhir, lewat program Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC) Jawa Pos, anak muda di utara
WENDY Dersyanto merupakan salah satu dari 50 putra daerah Nunukan yang berkuliah di Tiongkok, tepatnya Universitas Hubei. Dia mengambil jurusan kedokteran di kampus yang cukup ternama tersebut.
Setahun menuntut ilmu, musim gugur hingga musim dingin telah dia rasakan di Tiongkok. Saat musim dingin, suhu di kota tempat dia menempuh pendidikan itu bisa mencapai minus 10 derajat Celsius. Wendy pun harus mengenakan pakaian tebal dan tidak boleh makan makanan yang pedas karena bisa sakit radang tenggorokan. Jelas sangat berbeda sekali dengan di Indonesia. ’’Awal tiba di Tiongkok bertepatan dengan musim dingin. Hampir semua mahasiswa asal Indonesia batuk-batuk karena tidak terbiasa dengan musim dingin,” kata Wendy lewat WhatsApp.
Tidak hanya harus beradaptasi dengan iklim empat musim, Wendy juga dituntut bisa mengatur keuangan. Memang, pengeluaran tentu kembali kepada mahasiswa masing-masing dan bergantung pada kebutuhan hidup. Wendy rata-rata membutuhkan biaya hidup 500 yuan atau Rp 1 juta setiap bulan. Pengeluaran itu terutama digunakan untuk makan karena dia jarang memasak sendiri. Sejatinya, kalau memasak sendiri, bisa lebih irit, cukup sekitar Rp 500 ribu.
Soal kebutuhan lain, Wendy tidak perlu risau. Selama kuliah, seluruh fasilitas telah dipenuhi. Termasuk fasilitas tempat tinggal, air, dan listrik yang tidak perlu membayar. Namun, penggunaannya dibatasi. Air hanya 8 ton diberikan per kamar. Untuk listrik, mahasiswa dibebani biaya jika melebihi batas pemakaian.
Hal yang memudahkan mahasiswa di Tiongkok adalah aplikasi WeChat. Segala sesuatu yang dibutuhkan bisa menggunakan aplikasi tersebut. Misalnya, memesan tiket bioskop, membayar kereta, dan membayar makanan.
Selain itu, tidak semua tenaga pengajar di Universitas Hubei berasal dari Tiongkok. Ada juga yang berasal dari negara lain. Misalnya, tenaga pengajar jurusan kedokteran dari Pakistan. Dosen dan mahasiswa sangat akrab. Di Tiongkok, dosen diistilahkan sebagai teman.
Di perguruan tinggi lain, terkadang dosen tak masuk untuk mengajar atau tidak memberikan mata kuliah. Di Universitas Hubei, dosen mendatangi asrama untuk kelas tambahan jika mahasiswa tersebut tidak mengikuti mata kuliah.
Meski hampir setahun berada di Tiongkok, masih ada mahasiswa asal Indonesia yang belum terlalu fasih menggunakan bahasa Mandarin. ’’Tapi, bahasa Mandarin saya lumayan karena sering bergaul dengan warga Tiongkok. Begitu pula bahasa Inggris, tiap hari digunakan jika berbicara dengan mahasiswa asal negara lain,” ujarnya.
Wendy sangat berharap generasi selanjutnya memanfaatkan ksempatan kuliah di Negeri Panda. (*/eza/c7/ami)