Desak BPN Cek Sertifikat Lahan
Menanti Kesungguhan Penertiban Kali Buntung
SIDOARJO – Makin banyak bangunan yang berdiri di sempadan Kali Buntung. Jika dihitung mulai kawasan Kecamatan Sedati, Waru, Taman, hingga Krian, jumlahnya mencapai ribuan bangunan. Baik untuk tempat tinggal maupun untuk usaha.
Para penghuni bangunan itu rata-rata mengklaim telah mengantongi bukti kepemilikan lahan. Baik sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun bukti petok D. Untuk menuntaskan polemik tersebut, kalangan DPRD Sidoarjo mendesak pemkab dan BPN untuk segera mengecek ulang.
Anggota Komisi C DPRD Sidoarjo Abdillah Nasih meragukan keabsahan surat tanah yang dimiliki warga di sepanjang sempadan Kali Buntung. Dia meyakini, kantor pertanahan tidak akan seenaknya mengeluarkan surat kepemilikan tanah. Sebelum sertifikat dikeluarkan, tentu ada sejumlah persyaratan. ”Pasti ada pengecekan lokasi terlebih dahulu,” ujarnya.
Warga Bungurasih Timur tersebut menuturkan, sertifikat tanah yang keluar pada 1980-an patut diragukan. Sebab, saat itu di sempadan Sungai Buntung, orang sedang beramai-ramai membangun rumah. Akta tanah sangat mungkin asli jika keluar pada 1970-an. ”Jadi, kami berharap Kantor Pertanahan Sidoarjo harus segera melakukan pengecekan,” tegasnya.
Penelusuran Jawa Pos di kawasan Kedungrejo, Waru, rata-rata warga mengaku sudah mendapat petok D. Rumah milik Saiful Anwar, misalnya. Bangunan milik Saiful berdiri persis di bibir Kali Buntung seluas 9 x 8 meter. Rumah itu sudah berdinding tembok. Dia menempati rumah tersebut bersama anak dan istrinya
Saiful yang tinggal di RT 10, RW 2, menyebutkan bahwa rumah milik mertuanya tersebut sudah bersertifikat. Surat tanah itu dikeluarkan pihak desa.
”Sejak saya tinggal di sini pada 2000 awal, sudah ada suratnya,” kata pemuda 38 tahun tersebut.
Sepengetahuan Saiful, mayoritas surat tanah di Kedungrejo masih tergolong petok D. Hak kepemilikan atas bangunan dan tanah dikeluarkan desa. ”Tidak ada yang tidak punya surat. Rata-rata sudah petok D semua,” paparnya.
Dia sudah mendengar rencana pemkab untuk menertibkan bangunan yang melanggar garis sempadan Kali Buntung. Surat pemberitahuan itu didapatkan warga pada awal tahun. Dalam surat tersebut, pemkab meminta warga mengumpulkan fotokopi akta kepemilikan tanah. ”Sabtu besok (hari ini) dikumpulkan,” tuturnya.
Saiful menyatakan, tidak ada masalah jika bangunan di sempadan Kali Buntung itu ditertibkan untuk kepentingan normalisasi sungai. Dengan demikian, Kedungrejo tidak menjadi lang- ganan banjir. Dia menjelaskan, selama ini Kedungrejo merupakan daerah langganan banjir karena terletak di garis Kali Buntung. Setiap hujan deras, air sungai pasti meluap. Rumah warga dipastikan kebanjiran. ”Saking seringnya, warga sudah terbiasa dengan banjir,” paparnya.
Namun, kalau nanti ditertibkan, tentu harus ada ganti rugi bagi warga. Meski sertifikat tanah hanya petok D, kompensasi penggusuran itu diberikan sebagai ganti biaya pembangunan rumah baru. ” Membangun rumah ini kan juga perlu biaya,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sidoarjo Sigit Setyawan menyatakan, penertiban bangunan liar di Sungai Buntung bakal tetap berjalan. Dari hasil pengecekan, di sepanjang sempadan banyak berdiri bangunan yang permanen. Misalnya, rumah, losmen, biro perjalan, minimarket, serta tempat pijat. ”Kami tidak maju mundur. Kami tetap akan melakukan penertiban,” jelasnya.
Mantan kepala Dinas PU Bina Marga tersebut masih menunggu koordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS). Koordinasi itu bertujuan melihat pengerjaan normalisasi yang bakal dilakukan BBWS. ”Titik normalisasi BBWS kami sesuaikan dengan titik penertiban,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Pertanahan Sidoarjo Nandang Agus Taruna menyebutkan bisa saja warga di bantaran Kali Buntung memiliki sertifikat. Misalnya, tanah itu bersifat tanah yasan atau tanah milik adat. Kemungkinan kedua, sungai bertambah besar karena erosi. ”Kalau sungainya melebar bisa saja,” ujarnya.
Namun, pihaknya belum berani memastikan keabsahan sertifikat tanah di sempadan sungai sepanjang 10 kilometer tersebut. ”Kami cek dulu,” jelasnya.
Seperti diberitakan kemarin, rencana penertiban bangunan di Kali Buntung mengemuka kembali. Tim pemkab sudah beberapa kali melakukan rapat dengan beberapa pihak terkait. Termasuk dengan kecamatan maupun desa/kelurahan. Namun, rencana sterilisasi itu dilaksanakan bertahap. Terutama di wilayah yang selama ini kerap menjadi langganan banjir. Penertiban bangunan tersebut menjadi solusi agar bisa melakukan normalisasi Kali Buntung yang belakangan makin dangkal.
Berdasar Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, telah diatur ketentuan garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan. Di antaranya, paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter.
Lalu, jarak bangunan paling sedikit 15 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai untuk kedalaman sungai lebih dari 3–20 meter. Kemudian, paling sedikit berjarak 30 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai untuk kedalaman sungai lebih dari 20 meter.
Nah, kalau Kali Buntung dengan kedalaman 3 meter, idealnya jarak bangunan dengan tepi sungai minimal 10 meter. Faktanya, banyak bangunan yang mepet dengan bibir sungai. Bahkan, tidak sedikit bangunan yang menjorok ke badan sungai. (aph/c21/hud)