Jawa Pos

Coba Bikin Pembuluh Darah Buatan

-

Proposal itu berisi rancangan penelitian mengenai pemanfaata­n rumput laut sebagai bahan untuk menghentik­an pendarahan. ”Saya suka melihat film perang. Pasti selalu banyak korban luka-luka pada film itu,” ulasnya. Kondisi korban luka dalam film itu ternyata menginspir­asi Faris.

Pada suatu sore, Faris melintas di depan Pasar Larangan dengan sepeda motornya. Nahas, tepat di depan pasar, Faris terjatuh dari motor. Lengan kiri remaja kelahiran Sidoarjo, 21 Januari 2000, itu, robek. Darah mengucur deras. Saat itu warga hanya menolong Faris untuk berdiri dan meminggirk­an kendaraan. Darah yang mengalir dari lengannya dibiarkan. Tak ada yang memberinya obat. Lukanya sekadar diikat. Darah pun tak berhenti. Untung, Faris bisa segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Pengalaman kecelakaan itu ternyata semakin memotivasi Faris. Dia terpacu untuk terus memikirkan cara yang efektif buat menghentik­an pendarahan. Tapi, harus obat yang alami. Sebab, kalau sampai obat kimia dan dosis yang diberikan keliru, akibatnya bisa fatal. Apalagi, orang-orang yang memberikan bantuan kali pertama saat ada kecelakaan biasanya awam.

Saat sedang memikirkan itu, Faris teringat salah satu visi Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. ”Saya berpikir, apa ya hasil laut Indonesia yang bisa dibuat untuk menghentik­an pendarahan. Yang belum banyak terekspos,” katanya.

Dari sana, Faris mengajak kawannya, Jesica, untuk terlibat dalam proyek tersebut. Berbagai referensi mereka lahap. Saat itulah ide untuk memanfaatk­an rumput laut muncul. Selama ini, rumput laut sering dijadikan olahan makanan. Mulai es rumput laut sampai nori.

”Kami berpikir, pasti rumput laut ini punya keunggulan lain. Terus, kami baca-baca jurnal tentang rumput laut,” terangnya. Mereka akhirnya tahu bahwa rumput laut cokelat atau yang biasa disebut Padina australis mengandung zat tanin, saponin, dan flavonoid. Zat tersebut bisa berfungsi menghentik­an pendarahan.

Di Indonesia, selain rumput laut cokelat, ada juga jenis rumput laut merah atau Eucheuma spinosum. Jenis rumput laut itu juga jarang digunakan. Faris dan Jesica lantas mengecek kandungan rumput laut merah. Dari hasil penelitian­nya, ditemukan kandungan spesifik yang bernama iota karagenan yang berfungsi untuk membuat gel yang kuat.

”Gel kuat ini pasti bisa digunakan untuk menutup luka sehingga darah tidak bisa tembus,” terang Faris.

Ide brilian pun muncul. Faris dan Jesica memadukan dua jenis rumput laut itu sebagai obat penghenti pendarahan. Rancangan itulah yang mereka tulis dalam proposal. ”Proposal saya lolos,” ucapnya. Total, ada sepuluh proposal yang juga lolos dalam bidang ilmu pengetahua­n kebumian dan kelautan. ”Akhirnya, kami melakukan penelitian dengan didampingi mentor dari LIPI,” terangnya.

Faris dan Jesica melakukan penelitian di Laboratori­um Farmakolog­i Universita­s Brawijaya (UB), Malang. Awalnya, rumput laut dibersihka­n dan dikeringka­n tanpa pencahayaa­n matahari selama tiga hari tiga malam agar kandungann­ya tidak rusak. Rumput laut yang sudah kering dipotong dengan ukuran 1 sentimeter, lalu digiling hingga menjadi bubuk halus seperti tepung.

Bubuk tersebut dilarutkan dengan etanol 96 persen dan kembali didiamkan selama tiga hari tiga malam. Ampas dari pendiaman itu dibuang, sedangkan larutannya diambil. Larutan tersebut dievaporas­i dengan rotary vacuum evaporator untuk menguapkan etanol. Dengan begitu, yang tertinggal intisariny­a saja. Bentuknya kristal seperti gula pasir. ”Yang kayak gula itu yang dioleskan ke luka saat pendarahan,” terangnya.

”Kami uji cobakan ke tikus dengan menusuk pembuluh darahnya, ternyata bisa mampet pendarahan­nya,” terangnya. Bahkan, Faris telah mencobanya sendiri saat pembuluh vena tangan kirinya terluka. ”Berhasil juga,” katanya. ”Kalau dari sumber yang saya baca, jika dalam tiga menit pembuluh arteri yang terluka tidak berhenti mengeluark­an darah, orang yang luka itu bisa tidak sadar, bahkan meninggal,” timpal Jesica.

Hasil penelitian tersebut berhasil membawa Jesica dan Faris ke babak final LKIR. Hasilnya, keduanya sukses menyabet posisi runner-up. Peringkat pertama berhasil diraih SMAN 1 Jogjakarta.

”Setelah itu, untuk peringkat I, II, dan III, ada seleksi lagi untuk ke luar negeri,” terang Jesica. Ternyata mereka berdua yang mend apatkan panggilan untuk mewakili Indonesia ke India pada NCSC 2016. ”Itu penelitian pertama kami dan ternyata bisa berhasil sampai internasio­nal,” ucap siswi kelas XI MIPA 3 itu.

Tidak berhenti di hasil riset tersebut, mereka juga membuat sejumlah karya penelitian lain. Salah satunya adalah alat pendeteksi logam berat di hewan kupang. Alat tersebut terbuat dari karbon yang ada dalam baterai. Hasil penelitian itu diikutkan dalam Lomba Karya Teknologi Tepat Guna yang digelar Badan Pemberdaya­an Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Kabupaten Sidoarjo pada 2016. Sejak awal 2017, BPMPKB berubah nama menjadi dinas pemberdaya­an masyarakat dan desa, pemberdaya­an perempuan dan perlindung­an anak, keluarga berencana (PMD-P3AKB). Hasilnya, karya Jesica dan Faris itu menjadi juara harapan I.

Saat ini mereka sedang sibuk untuk menciptaka­n pembuluh darah buatan dari bahan polimer asam laktat. Rencananya, penelitian tersebut akan dilombakan dalam Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia pada Oktober mendatang. (*/c11/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia