Jawa Pos

Butuh Payung Hukum dan Sanksi Tegas

Permasalah­an sampah di Sidoarjo masih kompleks. Banyak ruas jalan atau lahan kosong yang menjadi sasaran pembuangan sampah liar. Rendahnya kesadaran masyarakat serta tidak adanya sanksi belum membuat para perusak lingkungan jera.

-

SAMPAH terlihat menggunung di Jalan Raya Bypass Krian. Tepatnya, di depan gerbang masuk Dusun Sidogolong, RT 14, RW 6, Desa Watu Golong, Krian. Tumpukan limbah rumah tangga itu berada di sepanjang pinggir jalan tersebut. Gundukan itu memanjang sekitar 400 meter. Bahkan, di beberapa bagian ditumbuhi rumputrump­ut liar. Tapi, begitu gundukan tersebut dibuka, sampah semua hingga ke dasar tanah. Padahal, lokasinya tepat di samping saluran irigasi.

Mayoritas sampah yang terlihat adalah bungkusan kresek. Berdasar pantauan Jawa Pos, pengguna jalan dengan seenaknya membuang kantong plastik penuh sampah sembari berkendara. Saat diingatkan, bukannya mengambil dan membuang di tempat yang disediakan, mereka malah berdalih biasa membuang di sana.

Kemarin (17/3) tim angkutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Wilayah Krian membersihk­an gundukan sampah itu. Sejak pukul 06.00, mereka menyisir kawasan Krian. Titik-titik yang biasa menjadi spot pembuangan sampah disambangi. Beberapa mulai hilang karena dialihkan ke tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) terdekat. Namun, ada juga yang bebal. ’’Habis ditindak ya menggunung lagi. Malah tambah tinggi,’’ ujar Kasi Angkutan Sampah DLHK Nur Achmad.

’’Salah satu yang bandel ya di sini (Dusun Sidogolong, Red),’’ lanjutnya. Saat truk sampah DLHK datang, warga tidak takut membuang sampah sembaranga­n. Malah, ada yang membuang sembari berteriak, ’’ Titip, Pak!’’. Jumlah sampah yang diangkut pun di luar prediksi DLHK. Perkiraan lima truk cukup, ternyata butuh sepuluh truk.

Menurut Nur Achmad, ada puluhan spot yang hingga saat ini terus dibuangi limbah rumah tangga meski sudah di- clean-up dan dipasang papan larangan membuang sampah. ’’Biasanya enam hari sekali kami sambangi, sampahnya menggunung lagi. Kami coba tiga hari, eh kok sama saja,’’ ujar pria yang biasa disapa Abah Nur tersebut.

Dia bergelut dengan masalah persampaha­n sejak 1985. Dia menyebutka­n, perkembang­an pengolahan sampah di Sidoarjo sudah maju jika dibandingk­an dengan dulu. Namun, banyaknya pendatang membuat masalah beragam.

Menurut pria kelahiran Sidoarjo, 5 Juli 1965, itu, salah satu solusi adalah membuat peraturan daerah (perda) sampah sebagai payung hukum. Abah Nur menceritak­an bahwa polemik yang terjadi di desa-desa soal sampah sangat tidak mudah. Membuat sistem pengelolaa­n seperti membawa sampah hingga ke TPST untuk dipilah saja membutuhka­n kesepakata­n panjang.

’’Dewan teriak-teriak minta tuntas. Lha yang di lapangan begitu. Legislatif dan eksekutif buatkan dong peraturann­ya,’’ ucapnya.

Dengan adanya perda, desa pun bisa membuat peraturan desa. Nominal iuran yang dicantumka­n di peraturan juga bisa menjadi acuan. ’’Kalau sehari minimal membuang 5 kilogram, setidaknya ya harus iuran Rp 1.000,’’ terangnya. (via/c22/dio)

 ??  ?? KESADARAN WARGA MINIM: Tempat pembuangan sampah liar di pinggir jalan kawasan Sidodadi, Candi. Masih banyak warga yang membuang sampah sembaranga­n, meskipun Sidoarjo memiliki TPST yang tersebar di beberapa wilayah.
KESADARAN WARGA MINIM: Tempat pembuangan sampah liar di pinggir jalan kawasan Sidodadi, Candi. Masih banyak warga yang membuang sampah sembaranga­n, meskipun Sidoarjo memiliki TPST yang tersebar di beberapa wilayah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia