Jawa Pos

Lonceng Tua Dilarang Dibawa ke Tiongkok

Kelenteng Kim Hin Kiong menjadi salah satu ikon budaya Kota Pudak. Genap berusia 864 pada 1 Agustus 2017, kelenteng di Jalan Setia Budi itu masih kukuh.

- ARIF ADI WIJAYA

BANGUNAN berwarna merahkunin­g tersebut tampak mencolok di ujung jalan. Huruf kanji khas Tiongkok menghiasi pagar. Terlihat juga sejumlah lampion di dalam bangunan. Selebihnya, suasana tenang dan angin semilir.

Itulah Kelenteng Kim Hin Kiong. Salah satu kelenteng tua di tanah Jawa. Usianya sudah lebih dari 8 abad. Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) itu dipakai untuk sembahyang umat Tionghoa. ’’Masih sama (seperti dulu, Red),’’ kata Sekretaris TITD Kim Hin Kiong Pek Tjoe Kian Kamis (16/3).

Lelaki yang akrab disapa Pak Chen itu menceritak­an, Kim Hin Kiong konon merupakan kelenteng tertua di Jawa. Namun, ada yang mengklaim bahwa bangunan kelenteng tertua di Jawa berada di Jawa Barat. ’’Ada juga yang bilang kelenteng dari Magelang,’’ ujarnya. Yang jelas, Kelenteng Kim Hin Kiong memang salah satu kelenteng tertua di Jawa.

Awalnya, lanjut Pak Chen, kelenteng tersebut dibangun para pedagang dari Tiongkok. Mereka singgah di Pelabuhan Gresik. Sembari berdagang, para saudagar juga menyebarka­n agama.

Sebagian saudagar lain memilih jadi nelayan. Mereka hidup, tinggal, berkeluarg­a, serta beranak pinak di Gresik. Umat Tionghoa kemudian berkembang. Hingga akhirnya, umat Tionghoa mendirikan kelenteng pada 1 Agustus 1153 M.

Pak Chen menambahka­n, posisi kelenteng di pesisir memengaruh­i ibadah umat di sana. Mereka berdoa kepada dewi laut. Yakni, Dewi Mak Co Thian Sing Boo. Menurut keyakinan mereka, dewi laut memberikan keberkahan kepada nelayan. ’’Patungnya berada di altar utama,’’ katanya.

Patung Dewi Mak Co Thian Sing Boo tidak pernah diganti. Patung tersebut ada sejak kelenteng berdiri. Artinya, patung itu seusia dengan bangunan kelenteng. Umurnya juga 8 abad.

Selain patung dewi laut, ada satu benda lain yang diperkirak­an justru lebih tua dari bangunan kelenteng. Yaitu, lonceng atau genta yang biasa dipakai sembahyang. Di lonceng itu terdapat aksara kanji kuno. Namun, lonceng berbahan baja tersebut tidak dipakai lagi meski masih ada di kelenteng.

Kondisi lonceng tua itu sudah rapuh. Umat menggunaka­n lonceng lain yang berukuran lebih kecil untuk sembahyang. ’’Tidak berani memukul lonceng tua. Takut rusak,’’ jelas lelaki 56 tahun itu.

Pak Chen menyebut lonceng itu sebagai salah satu artefak bersejarah. Dia mengatakan, pernah ada orang asal Tiongkok yang ingin membawa lonceng tersebut ke negaranya. Alasannya ingin melakukan penelitian. ’’Tidak diizinkan. Kalau mau diteliti, silakan datang ke sini (Gresik, Red),’’ tegasnya. Kemudian, sudah ada yang mengambil gambarnya untuk diteliti.

Soal bangunan, tambah Pak Chen, pengurus kelenteng berupaya menjaga keaslianny­a. Memang belum pernah ada renovasi sejak awal berdiri. Mulai atap, pintu, hingga dinding kayunya. Hanya ada sedikit tambahan di kaki tiang depan bangunan. ’’Kakinya keropos. Jadi dicor bagian bawah,’’ papar ayah dua anak itu.

Kelenteng tersebut juga pernah mengalami sedikit perbaikan. Yang pertama sekitar 1891. Perbaikan kedua dilangsung­kan pada 1941. Yang dilakukan hanya melukis ulang lukisan dinding dalam kelenteng.

Perbaikan ketiga berlangsun­g pada 2002. Selain melukis ulang, kali ini ada perbaikan keramik dinding dan lantai. ’’Yang lain masih asli semua. Tidak berubah sejak pertama berdiri,’’ tuturnya. Keaslian bangunan kelenteng itu menambah khidmat saat umat beribadah. (c15/roz)

 ?? ADI WIJAYA/JAWA POS ?? LONCENG TUA: Pek Tjoe Kian menunjukka­n lonceng yang berusia 800 tahun di Kelenteng Kim Hin Kiong.
ADI WIJAYA/JAWA POS LONCENG TUA: Pek Tjoe Kian menunjukka­n lonceng yang berusia 800 tahun di Kelenteng Kim Hin Kiong.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia