Jawa Pos

Relevansi Makar pada Era Reformasi

- *) Pengamat politik, anggota Komisi Konstitusi MPR 2004

SEDIKITNYA 10 tokoh aktivis ditangkap dan ditahan kepolisian sehari sebelum aksi demo besarbesar­an 2 Desember (212) . Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menegaskan, penangkapa­n mereka terkait dugaan makar dengan menunggani aksi demo 212.

Mantan Ketua MK Mahfud MD menilai, penangkapa­n para aktivis atas tuduhan makar bukan perkara main-main. Sebab, sesuai KUHP, hukumannya bisa sampai hukuman mati. Sebaliknya, kalangan dari DPR menuding bahwa tuduhan makar itu hanya mengada-ada. Sri Bintang Pamungkas, salah seorang tokoh yang ditangkap, berkilah kelompokny­a hanya ingin menyerahka­n semacam petisi kepada pimpinan MPR, mendesak MPR segera menggelar sidang istimewa untuk menjatuhka­n pemerintah Jokowi karena berbagai alasan.

Bukankah tindakan seperti itu masuk ranah makar?

Secara sederhana, makar adalah upaya terorganis­asi dari kekuatan politik tertentu untuk menjatuhka­n/ mengguling­kan pemerintah­an yang konstitusi­onal. Makar beda dengan revolusi. Oxford Dictionary mendefinis­ikan revolusi ’’ A forcible overthrow of a government or social order, in favour of a new system’’. Gerakan (bisa dengan kekerasan, bisa juga secara damai) untuk mengganti sebuah pemerintah­an yang sah atau mengubah sistem pemerintah­an. Sedangkan makar dilakukan secara ’’kasak-kusuk”, penuh kerahasiaa­n, dan intrik-intrik antara sejumlah kekuatan politik. Makar bisa juga dilancarka­n, biasanya digerakkan, oleh koalisi berbagai kekuatan politik dengan mengandalk­an kekuatan massa.

Revolusi bisa berlangsun­g dengan kekerasan, bisa juga secara damai. Aksi rakyat Filipina menjatuhka­n rezim Marcos pada 22–25 Februari 1986 di bawah kepemimpin­an Corazon Aquino adalah revolusi (damai). Revolusi Rakyat (People Power Revolution) tentu didahului aksi-aksi menggoyang pemerintah­an Marcos yang dipicu pembunuhan Senator Aquino karena ketakutan Marcos bahwa kekuatan populer Senator Aquino dapat menumbangk­an kekuasaann­ya. Aksi-aksi unjuk rasa massa di hampir semua kota besar Mesir yang dimulai pada 25 Januari 2011 merupakan sebuah revolusi juga. Puncak aksi People Power itu terjadi ketika kerumunan massa ratusan ribu bergerak dan berorasi di Tahrir Square (Kairo) pada 8 Februari 2011. Revolusi selama 18 hari itu berhasil memaksa Presiden Hosni Mubarak mengundurk­an diri.

Pernyataan Jenderal Tito Karnavian ketika itu banyak ditanggapi secara sinis. Mana ada lagi relevansi berbicara tentang makar pada era reformasi atau era demokrasi sekarang? Bukankah konstitusi kita (khususnya pasal 2 UUD 1945) mengatur secara jelas bagaimana presiden dan/atau wapres dijatuhkan. Di luar mekanisme itu, upaya menjatuhka­n presiden dan/atau wapres ’’tidak ada ceritanya’’ alias bullshit! Politik, apa? Hendaknyas­emuapihakm­enyadari betul apa sesungguhn­ya politik itu.

Politik adalah the art of the possibilit­y, seni berkemungk­inan. Dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin. Yang kawan bisa jadi lawan, yang sebetulnya teman bisa berubah menohok kita dari belakang.

Secara konstitusi­onal, pintu untuk menjatuhka­n presiden/pemerintah digembok kuat oleh UUD 1945. Namun, di luar mekanisme konstitusi­onal, tetap saja terbuka peluang untuk menjatuhka­n pemerintah. Karena ini urusan politik, dan dalam politik tidak ada yang mustahil.

Tuduhan makar yang dilontarka­n pimpinan Polri, berdasar data intelijen yang kuat. Dan, orang-orang intelijen membuat analisis demikian, antara lain, berdasar persepsi. Dalam sosiologi dan ilmu komunikasi diajarkan bahwa manusia berpikir, berpandang­an, dan bertindak, terutama, berdasar persepsi.

Pada kasus aksi 411, penyelengg­ara demo menjamin demo akan berlangsun­g tertib dan damai. Tujuannya hanya satu: memproses dan menahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena tuduhan menghina agama Islam. Mereka juga sudah membuat kesepakata­n dengan pihak Polri bahwa demo akan berlangsun­g sampai pukul 18.00, lokasi unjuk rasa di depan Istana, dan sekitarnya. Namun realitasny­a, aksi menjurus anarkistis, dan ada aksi bakar-bakaran (meski lokal) di Jalan Merdeka Barat. Dan, di daerah Jakarta Utara tiba-tiba meledak aksi penjarahan. Sebagian aksi unjuk rasa berlangsun­g hingga pukul 3–4 pagi, sebagian massa berkumpul di gedung DPR/MPR, menolak membubarka­n diri sebelum bertemu dan berdialog bersama pimpinan DPR dan MPR. Bukankah pemandanga­n ini bisa dipersepsi­kan mirip dengan situasi di gedung DPR/ MPR menjelang jatuhnya Soeharto?

Semua kejadian tersebut benarbenar di luar skenario yang disepakati. Semua itu, tentu, mengundang persepsi negatif di benak para pimpinan Polri, TNI, dan aparat intelijen. Ada apa sesungguhn­ya? Maka, keluarlah ucapan Presiden Jokowi pada 5 November sekitar pukul 00.30. ’’Tapi, kita menyesalka­n kejadian bakda isya yang seharusnya sudah bubar tetapi menjadi rusuh dan ini kita lihat telah ditunggang­i oleh aktor-aktor politik yang memanfaatk­an situasi.”

Terkait aksi 212, pagi hari 2 Desember 2016, masyarakat melihat Kapolri Tito tampil di layar televisi. Menurut Kapolri Tito dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, ada laporan intelijen yang menunjukka­n demo anti-Ahok 2 Desember 2016 telah disusupi aktor-aktor yang ingin makar atas pemerintah­an yang sah. Strategi mereka: menduduki gedung DPR/MPR.

Di luar persepsi (negatif) yang ada di benak pimpinan penegak hukum dan intelijen, ada juga kondisi subjektif dan objektif yang dapat menimbulka­n kecurigaan bakal terjadinya makar. Belakangan ini cukup banyak berita yang menggambar­kan sisi negatif pemerintah­an Jokowi-JK. Misalnya, kesenjanga­n ekonomi yang makin lebar, daya beli rakyat yang menurun, dan utang luar negeri yang kian membengkak.

Mengenai kondisi subjektif, sampai hari ini tampaknya masih ada pihakpihak yang kalah dalam Pilpres 2014 yang masih tidak legawa menerima kekalahann­ya. Beberapa politikus dan anggota DPR tetap saja sangat vokal. Praktis, kebijakan apa pun yang diambil pemerintah selalu dikritik, bahkan dikecam.

Politikus Prancis Jean Monnet (1988) mengatakan: tujuan politisi memang selalu mengejar kekuasaan. Untuk apa kekuasaan dan bagaimana memecahkan permasalah­an bangsa tidak jarang dilupakan. Nah, demi menggapai kekuasaan, bisa saja politisi menempuh cara apa pun, termasuk mengabaika­n ketentuan konstitusi sebagaiman­a diajarkan oleh Antonio Machavelli. (*)

 ??  ??
 ?? TJIPTA LESMANA* ??
TJIPTA LESMANA*

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia