Jawa Pos

Cambuk Rotan untuk TKI Ilegal

-

JIKA dibandingk­an dengan di Indonesia, lapangan kerja di Malaysia memang jauh lebih terbuka. Terutama di sektor konstruksi, pabrik, perkebunan, dan tentu saja pembantu rumah tangga.

Aktivis Migrant Care Malaysia Alex Ong menyatakan, banyak pekerjaan yang bersifat padat karya di Malaysia. Sebagian besar tentu pekerjaan kasar atau buruh

”Banyak orang Malaysia yang tidak mau masuk sektor itu. Mereka bukan tipe orang yang mau jadi pekerja kasar,” katanya.

Banyaknya lowongan pekerjaan kasar tersebut sudah pasti jadi buruan tenaga kerja asal Indonesia yang memang tidak memiliki pekerjaan di tanah air. Karena itu, bukan hanya yang masuk secara legal, yang ilegal pun berbondong­bondong menyerbu Malaysia.

Akibatnya, razia tenaga kerja asing ilegal sering dilakukan polisi dan petugas imigrasi Malaysia. Yang terkena razia bakal dideportas­i. Namun, proses deportasi tak sekadar mengembali­kan tenaga kerja ke Indonesia. Ada banyak tahap yang dilalui tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportas­i. Hukuman dan siksaan jamak diceritaka­n para TKI.

Jawa Pos mengumpulk­an kisah itu dari para TKI yang dideportas­i dan ditampung di selter atau Rumah Perlindung­an Trauma Center (RPTC) Tanjungpin­ang, Kepulauan Riau (Kepri). Fasilitas tersebut disediakan Kementeria­n Sosial untuk menampung TKI. Rangkaian tahapan deportasi memang sering memicu trauma bagi para TKI.

Setelah dua pekan ditampung, mereka diangkut dengan kapal menuju Tanjung Priok, Jakarta. Bulan lalu Jawa Pos ikut salah satu pelayaran kapal Pelni KM Dorolonda yang menempuh waktu 30 jam itu. Sesampai di Tanjung Priok, 128 TKI yang dideportas­i itu diantar ke kabupaten/kota masing-masing dengan bus.

Kisah berliku mengadu nasib di Malaysia diungkapka­n Azis Eko Purnomo. Pemuda kelahiran Sragen, Jawa Tengah, itu mengaku diajak saudaranya ke Malaysia pada 2011. Saat itu usianya baru 12 tahun. Mereka menumpang kapal tongkang dari Batam.

Awalnya Azis bekerja di sebuah restoran di Pulau Pinang. Namun, iming-iming uang besar membuat dia masuk dunia gelap dengan ikut kelompok gangster wilayah setempat. ”Kadang jual obatobatan terlarang,” ucapnya polos.

Azis beberapa kali ditahan karena kasus judi gelap, tapi bisa keluar setelah teman-temannya membayar tebusan. Namun, akhirnya dia tak berkutik setelah kasusnya masuk ke aparat imigrasi. Dia pun lantas masuk daftar deportasi.

Perlakuan kurang menyenangk­an lazim diberikan aparat kepolisian dan pihak imigrasi. Di Malaysia operasi imigran bukan hanya kewenangan imigrasi, tapi juga kepolisian. Mereka sering melakukan operasi gabungan. Imigran di sana yang terkena razia ditampung di lokap (penampunga­n) atau sejenis rumah detensi imigrasi (rudenim) di Indonesia.

Di penampunga­n sementara itu orang asing akan menjalani proses peradilan sesuai dengan aturan mahkamah (pengadilan) yang berlaku di setiap negara bagian. Ada beberapa jenis hukuman yang diberikan. Antara lain denda, hukuman sebat (cambuk) rotan, sampai penjara. ”Semuanya pasti dideportas­i (setelah menjalani hukuman, Red),” ujar Untung Prayitno, 28, salah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang ikut dideportas­i.

Hukuman cambuk rotan diberikan satu atau dua kali, bergantung jenis pasal yang dilanggar. Misalnya, melanggar karena tidak punya paspor atau dokumen ketenagake­rjaan akan dicambuk satu kali. Bila melanggar keduanya, tenaga kerja bakal dicambuk dua kali. Sebat rotan itu dipukulkan ke pantat. Kerasnya cambukan membuat luka lebam membekas hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Mayoritas WNI yang sama sekali tidak memiliki dokumen akan dikenai hukuman penjara minimal dua bulan. Satu bulan masa kurungan di sana adalah 20 hari. Artinya, dua bulan sebanyak 40 hari. Saat di penjara atau lembaga pemasyarak­atan (lapas), mayoritas tahanan diperlakuk­an dengan baik. ”Penjaranya (lapas) bersih,” ujar pria asal Medan itu.

Perlakuan kurang menyenangk­an justru dialami mayoritas WNI bermasalah saat berada di penampunga­n sementara imigrasi atau kamp. Salah satunya di kamp Juru, Pulau Pinang. Ketika ditampung di tempat tersebut, banyak WNI migran yang diperlakuk­an tidak manusiawi. ”Ketika gaduh, dipukuli pakai pipa sampai disuruh push-up,” ingat Untung.

Kondisi kamp itu pun sangat memprihati­nkan. Ruangan berukuran 10 x 7 meter diisi sekitar seratus orang. Tidak ada tikar atau alas untuk tidur yang disediakan. Hanya ada bak mandi di ruangan terbatas itu. Lokasinya pun hanya dibatasi dinding dengan tempat mereka tidur.

Semua penghuni ruangan, mulai WNI hingga warga negara lain, harus berdesak-desakan untuk sekadar merebahkan tubuh. Mereka hanya diberi ”napas” saat pagi setelah salat Subuh, waktu salat Duhur, dan sore menjelang petang. Waktu yang diberikan sekitar 15 menit saja. ”Menu makan hanya roti tawar dan mentega kalau pagi, siang nasi sama ikan, tahu-telur rebus. Tapi, hanya tiga suap sudah habis.” (tyo/and/c9/owi)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia