Jawa Pos

Jarak 500 Meter Hanya Pakai Kamera Handphone

Komunitas Wildlife Photograph­y selalu menghabisk­an akhir pekan di pantai timur Surabaya (pamurbaya). Terdapat 150 lebih spesies burung yang hidup di tameng hijau metropolis Surabaya itu. Selain memotret, mereka menjaga kelestaria­n burung-burung tersebut.

-

BURUNG snipe begitu sulit ditangkap. Selain lincah, burung yang tersebar di Asia dan Eropa itu ahli berkamufla­se. Bulunya berwarna cokelat bercampur corak hitam dan putih. Warna tersebut menyatu dengan rerumputan kering di rawa- rawa. Dahulu orang yang dapat menembak burung itu dari jarak jauh mendapat julukan sniper. Istilah yang akhirnya populer sebagai ’’gelar’’ para penembak jitu.

Untuk menembak burung berkik, nama lain burung snipe, para sniper juga harus punya jurus sama. Harus jago berkamufla­se. Makanya, sniper sering kali memakai baju bercorak atau menutupi tubuhnya dengan dedaunan. Berdiam diri agar tidak terlihat musuh dan target. Dan, siapa sangka burung itu ada di Surabaya

Bisa dibilang, jumlahnya lumayan banyak. Kawasan pantai timur Surabaya (pamurbaya) adalah salah satu habitat burung pemakan serangga dan cacing itu. Ya, pamurbaya menjadi salah satu titik singgah burung-burung migran Alaska-Asia-Australia.

Komunitas Wildlife Photograph­y Surabaya membidik burung tersebut kemarin (26/3). Tentu tidak pakai senapan. Mereka paling benci dengan pemburu. Peralatan yang digunakan ialah teleskop dan kamera. Ada yang memakai kamera DSLR, kamera mirrorless, atau cukup kamera handphone.

Iwan ’’Londo” Febrianto, Ivan Martin, Happy Ferdiansya­h, Cipto Dwi Handono, dan Taufik Daryanto bersiap-siap memasang peralatan memotret sejak pukul 05.00. Saat itu langit masih temaram. Matahari tidak juga muncul. Satu anggota lain, Alfa Hardjoko, sudah berangkat lebih pagi. Pukul 04.00.

Semalaman kawasan pamurbaya Wonorejo diguyur hujan. Tiga kilometer jalan harus ditempuh dengan jalan kaki. Kondisi jalan berlumpur mengharusk­an seluruh rombongan memakai sepatu bot. Yang lupa membawa sepatu antiselip harap tenang. Jangan panik. Tetap woles. Petani tambak yang berjaga di gubuk siap meminjamka­n sepatunya.

Siap grak! Rombongan berbaris menembus medan licin. Agar tidak terpeleset, mereka berpijak pada jalan berumput. Namun, ada juga jalan yang benar-benar berisi lumpur saja.

Mau tidak mau sepatu bot bertambah berat. Lumpur itu lengket di sepatu. Terkadang pijakan kaki juga sulit ditarik karena terjebak lumpur. Namun, hati-hati memegang ranting pohon bila badan goyah. Salah-salah duri akasia yang tergapai.

Satu jam berjalan, rombongan masih setengah jalan. Lima orang yang memakai baju dan celana doreng itu berhenti sejenak di ujung tambak yang baru saja dikuras. Dengan sisa air yang terdapat sedikit udang dan ikan kecil, burung-burung pun bisa mudah mencari sarapan.

Para pemburu itu pun mulai memasang tripod kamera untuk membidik para burung yang mulai mencari makan. Kali ini sasarannya lebih gampang ketimbang burung snipe. Yaitu, burung kuntul. ”Ini salah satu jenis yang dilindungi,” ujar Iwan sambil sibuk mengatur teleskopny­a.

Dari kejauhan, burung itu terlihat seragam. Bulunya putih, lehernya panjang. Yang berbeda hanya ukuran tubuh. Namun, Iwan mengatakan, terdapat empat macam burung kuntul yang sedang berkubang. Ada kuntul besar, kuntul kecil, kuntul kerbau, dan kuntul perak. Bila beruntung, mereka juga bisa membidik kuntul tiongkok yang memiliki paruh kuning.

Cipto dan Happy mulai meneropong kawanan kuntul dengan binocular (teropong ganda) yang sedari tadi hanya mengalung di leher mereka. Keduanya menginform­asikan keberadaan burungburu­ng yang sedang memiliki bulu berbiak atau breeding plumage, tanda burung siap kawin. Kuntul jantan yang melalui fase itu memiliki bulu halus bak cenderawas­ih. Semakin menarik, betina semakin klepek-klepek.

Tanpa basa-basi, Ivan dan Iwan menggunaka­n teleskopny­a untuk mengabadik­an burung-burung tersebut. Ivan memakai teleskop yang memiliki focal length hingga 2.000 mm yang terhubung dengan kamera mirrorless. Sementara itu, Iwan memakai teleskop 3.000 mm dengan kamera handphone.

Teknik yang digunakan ialah digiscopin­g. Yakni, penggabung­an teleskop dengan kamera digital. Teleskop jauh lebih murah ketimbang lensa tele yang memang dibuat khusus untuk kamera. Perbanding­annya belasan juta rupiah dengan ratusan juta rupiah.

Ivan paling jago jika disuruh menjelaska­n teknik digiscopin­g. ”Di Indonesia belum banyak yang pakai teknik ini. Saya sudah dua tahun, hehehe,” jelas pria dengan potongan rambut cepak itu.

Burung dengan jarak 500 meter bisa terfoto hanya dengan kamera handphone. Bulu-bulunya terlihat jelas dari kejauhan. Selain memperhati­kan bulu, Iwan yang juga menjadi bird consultant melihat kaki-kaki burung. Siapa tahu ada yang sudah pernah ditandai.

Iwan sudah menggelang­i burungburu­ng di pamurbaya sejak 2006. Tanda yang dia miliki ialah hitam oranye yang merepresen­tasikan bahwa burung tersebut pernah ditandai di Indonesia.

Negara lain memiliki warna berbeda. Negara-negara itu ialah Australia (kuning), Rusia (kuning putih), Tiongkok (putih kuning, putih hitam, putih biru), Jepang ( biru-biru, biru oranye, biru putih), Korea Selatan (oranye putih). Masih banyak lagi kode warna pada daerah yang dilewati burung migran. Namun, saat itu belum ditemukan burung yang memiliki gelang di kakinya.

Perjalanan berlanjut. Rombongan mengemas teleskop dan kamera. Perjalanan selanjutny­a sejauh satu setengah kilometer menuju spot burung snipe biasa ditemukan. Saat itu pukul 08.00, tetapi mendung masih menutupi sinar mentari. Satu jam perjalanan ke depan, rombongan berharap ada sedikit sinar yang menerangi kawasan pamurbaya. Tanpa cahaya cukup, hasil jepretan kurang tajam.

Di tengah perjalanan, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Ada suara dari arah barat. Tanpa melihat, Iwan sudah tahu itu adalah bunyi rombongan burung bee eater. ”Kalau di sini, sebutannya burung asu-asu. Bunyinya kirik... kirik... kirik..,” jelas Iwan, lalu terkekeh.

Di perjalanan, terdapat banyak burung yang sedang mencari makan. Ada burung blekok sawah, gajahan, biru laut ekor blorok, cerek kernyut, sampai raja udang. Namun, belum terlihat tandatanda burung snipe.

Akhirnya rombongan tiba di tempat favorit burung snipe. Lokasinya ada di area pertambaka­n dengan alang-alang mati. Tak sampai lima menit, Ivan berteriak. ” Iki lho. Ketemu,” katanya yang mengagetka­n anggota rombongan lain. Satu per satu anggota rombongan mengintip teleskop milik Ivan. Terlihat corak cokelat kehitaman di balik semak-semak, mirip dengan burung snipe. Burung tersebut tidak akan bergerak bila melihat pemangsa.

Para pemburu mematung. Berharap burung tersebut tidak mengetahui kehadiran mereka. Mereka menutupi kepala dengan hoodie kaus doreng. Mereka juga berusaha tidak bersuara agar burung lincah itu tidak kabur.

Tapi, tiga puluh menit ditunggu, burung tersebut tidak bergerak sama sekali. Mereka mulai curiga. Jangan-jangan burung itu hanya alang-alang mati. Dugaan mereka benar. Saat dilihat dari sudut berbeda, burung snipe yang disangka-sangka hanya sebuah gundukan alang-alang.

Mereka akhirnya kembali ke markas di dekat boezem Wonorejo. Markas tersebut berwujud warung kopi dari gubuk kayu. Saat perjalanan kembali, mata mereka tetap awas melihat kerumunan dara laut yang beristirah­at.

Cipto mengambil buku sakunya. Dia mencatat jumlah burung yang berkumpul. Ada 38 burung saat itu. Penghitung­an tersebut dilakukan untuk memonitor jumlah burung setiap tahun. Mereka memantau pertumbuha­n burung yang cenderung semakin turun. Habitat para burung tergerus permukiman yang kian ramai.

Sesampainy­a di markas, ada kejutan dari Alfa Hardjoko yang sedari tadi hunting sendirian. Dia memamerkan hasil jepretanny­a. ”Geser ke kanan terus,” ujarnya, lalu menyodorka­n kameranya.

Memang benar, bangun pagi itu membawa rezeki. Tak disangka, dia berhasil memotret burung snipe yang dicari-cari. Dan, julukan sniper untuk hari itu jatuh pada Alfa.

Alfa menceritak­an perjuangan­nya memotret si snipe. Dia harus naik ke pepohonan agar tidak terdeteksi burung . Dia membungkus badannya dengan kain kerawang khusus kamuflase. Tak disangka, burung tersebut didapatnya dalam jarak 6 meter. ”Terkadang saya juga tidak sadar ada burung yang menclok di lengan saya. Jadi, memang harus menunggu,” lanjutnya.

Mereka pun saling memperliha­tkan hasil jepretan. Sesekali mereka membicarak­an perjalanan tadi. Seharusnya mereka mendapat foto burung snipe apabila berpencar seperti biasanya. Namun, karena hari itu menemani Jawa Pos, mereka memutuskan untuk bersamasam­a. Tidak masalah, masih ada lain waktu. (*/c7/dos)

 ?? ALLEX QOMARULLA/JAWA POS ??
ALLEX QOMARULLA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia