Nunggu Telepon
Baru Gerak Hari ini, 27 Maret, adalah Hari Teater Sedunia. Sejatinya teater bisa menjadi media untuk menginspirasi, mendidik, menghibur, sekaligus berekspresi. Namun, di Surabaya, pertunjukan teater sedang tidak bergairah. Meski begitu, penggerak seni tea
ANAK- anak usia SMP, SMA, mahasiswa yang drop out dari kuliah, atau bahkan mereka yang kerap disebut ’’nakal’’ dilibatkan atau melibatkan dirinya sendiri ke Bengkel Muda.
Sesuai dengan namanya, bengkel adalah tempat untuk mereparasi. Kalau ini, yang direparasi adalah anak-anak nakal. Caranya, membimbing mereka ke berbagai kegiatan positif seperti berkesenian.
Bengkel Muda Surabaya (BMS) semula dibentuk Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dengan nama Bengkel Muda DKS. Kemudian, nama tersebut berubah menjadi Bengkel Muda Surabaya yang diresmikan pada 30 Juni 1972.
Bengkel menjadi wadah para remaja untuk beraktivitas seputar kesenian seperti drama, tari, musik, lukis, dan sastra. Kegiatan berkesenian dibina DKS
BMS berkembang pesat hingga pernah tercatat ada ribuan anak muda yang bergabung. Perjalanan panjang itu pun melahirkan senimanseniman besar Surabaya. Sebut saja musisi Hare Rumemper, penyanyi Gombloh, serta penulis naskah drama dan puisi Akhudiat.
Teater menjadi salah satu kesenian yang menonjol dari BMS. Satu pertunjukan paling tidak membutuhkan waktu enam bulan persiapan. ’’Teater bagusnya dipertontonkan selama dua atau tiga hari berturut-turut,’’ kata Nasar Al Batati, ketua sementara BMS.
Para pemain teater itu dilatih minimal setahun di Bengkel Muda Surabaya hanya untuk belajar ilmu dasar. Setelah menguasai, pemain baru boleh belajar membaca naskah, ekspresi, dan lain-lain.
Kini BMS berusia 45 tahun sejak berdirinya. Apa kabar mereka? Apakah masih ada senimanseniman muda yang mengikuti jejak pendahulunya?
Sepi. Tidak ada kegiatan. Itulah yang tergambar saat Jawa Pos berkunjung ke markas BMS di Kompleks Balai Pemuda Jumat (24/3).
Nasar Al Batati, 60, tampak berbincang hangat dengan dua seniman di lantai dasar. Nasar merupakan ketua sementara BMS atau pengurus transisi sebelum diadakan pemilihan resmi. ’’Bengkel surut bareng dengan surutnya seni teater di Surabaya. Semuanya tiarap,’’ ujarnya.
Ayah satu putra tersebut kemudian melanjutkan ceritanya. Nasar sendiri menjadi pemain teater sejak 1975. Waktu itu umurnya sekitar 18 tahun. Masa setelah 1998, banyak seniman yang hijrah dan memilih lompat ke bidang pekerjaan lain. Pada fase itu pula banyak anak muda bengkel yang mulai berkeluarga.
’’Untuk menjadi seniman, dia harus ’menzalimi’ keluarganya. Kenapa? Karena biaya yang dikeluarkan untuk membuat karya seni memakai uang yang seharusnya diberikan untuk keluarga. Itu pun belum tentu balik modal,’’ paparnya.
Kondisi tersebut juga dilatarbelakangi hilangnya ruang publik dan sarana untuk berkreasi. ’’Dulu, seniman diberi fasilitas oleh pemerintah untuk berkesenian di Balai Budaya yang dulu bernama Bioskop Mitra. Sekarang harus sewa Rp 25 juta per 12 jam. Duit dari mana?’’ ungkapnya.
Kenangan tentang BMS juga dimiliki Suyitno, 52. ’’Betul. Dulu di sini rame, banyak anak muda. Bahkan ada yang sampai menginap,’’ paparnya. Suyitno merupakan pemain teater yang lahir dari BMS. Yitno, sapaanya, bergabung pada 1990. Pada 2013 dia pernah pentas di Singapura membawakan cerita
Adu Domba karya mendiang Bambang Sudjiono.
Para seniman yang dulu aktif kini hanya berkarya jika ada proyek. Kalau ada request, baru gerak. ’’ Nunggu telepon. Tulung garap ini. Banyak yang berangkat karena orderan. Baik dari pemerintah ataupun lembaga,’’ katanya. ’’Oleh karena itu, muncul istilah seniman pelat merah,’’ lanjut Nasar. Ada rasa pesimistis sekaligus ketidakberdayaan pada istilah tersebut.
Dari ribuan seniman Bengkel Muda Surabaya, satu per satu pergi. Kini hanya tersisa belasan. Itu pun jarang berkumpul. Tidak ada regenerasi membuat BMS menjadi macet. Namun, napas itu masih ada. Bengkel Muda Surabaya akan dibangkitkan dari tidur panjang. ’’Habis Lebaran akan menyaring seniman muda. Khususnya teater untuk menghidupkan geliat seni di Surabaya,’’ tuturnya. (esa/c15/jan)