Jawa Pos

Dukungan Penuh Pemprov Sumsel

-

PALEMBANG – Sebelum race Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017 digelar pada 12 November mendatang, para peserta bisa mengikuti tryout dalam ajang pre-event road to Jawa Pos Fit East Java Marathon 2017. Pre-event tersebut bakal diselengga­rakan di empat kota di Indonesia.

Palembang bakal menjadi kota pertama. Tim Event Jawa Pos yang dipimpin Senior Manager PT Jawa Pos Koran Rensi Dewi Bulan melakukan audiensi dengan Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Ishak Mekki di Griya Agung, Palembang, kemarin (29/3).

Pre-event di Palembang digelar pada 14 Mei mendatang. Pemprov Sumsel menyambut hangat ajang tersebut

Seniman kelahiran Tegal, Jawa Tengah, itu tengah menunggui pameran tunggalnya di Marc Straus Gallery, New York, Amerika Serikat. Dalam pameran bertajuk Promising Land tersebut, Entang membawa 10 karya terbaru.

’’Karyanya sudah saya kirim 1,5 bulan yang lalu,’’ tutur Entang ketika saya temui di studionya sehari sebelum berangkat ke New York, Selasa (21/3).

Studio Entang dibangun di tengah persawahan Desa Carikan, Taman Martani, Kalasan, Sleman, Jogjakarta. Letaknya di belakang rumah utama yang jadi tempat tinggal Entang, istri, dan dua anaknya. Rumah dan studio itu dihubungka­n oleh taman.

Bangunan studio Entang lebih panjang daripada hunian utama. Studio itu dibagi dua. Yang depan untuk melukis, sedangkan yang belakang untuk melahirkan karya instalasi, patung atau tiga dimensi, yang membutuhka­n ruangan lebih luas.

Saya dijamu Entang di studio depan, bersama segelas air putih dingin dan sepiring buah-buahan. Kami duduk di kursi dikeliling­i karya-karya suami Christine Cocca itu. Ada karya yang sudah jadi dan ada yang belum rampung. Ada pula beberapa karya yang baru datang dari STPI Creative Workshop & Gallery Singapura. ’’Saya kan residency di sana. Saya minta beberapa karya untuk koleksi,’’ terangnya.

Di ruangan itu juga terdapat seperangka­t drum Pearl. ’’Anak saya yang biasa main. Saya cuma ala kadarnya,’’ jawabnya.

Studio tersebut dibangun seniman yang sudah memamerkan karyanya keliling dunia itu pada 1998. ’’Bangunnya juga pelan-pelan. Studio dulu, baru rumah,’’ ucapnya.

Tak hanya di Jogjakarta, Entang juga punya rumah dan studio di Rhode Island, AS, dengan nama yang sama. Istri Entang adalah seorang kurator dan konservato­r seni asal Rhode Island. Jadi, mereka sering tinggal di dua tempat itu.

Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta tersebut memilih Kalasan sebagai lokasi studio dan tempat tinggal karena beberapa alasan. Di antaranya, dia jatuh cinta pada arsitektur Candi Prambanan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, salah satu maestro seni rupa Indonesia, S. Soedjojono, yang dia kagumi pernah tinggal di Kalasan.

Di studio itulah ide-ide Entang digodok dan diwujudkan. Studio tersebut juga menjadi laboratori­um untuk melakukan ’’percobaan’’ menghasilk­an karya yang jujur.

Menurut Entang, cara kerja seniman itu mirip ilmuwan. Kalau ilmuwan bereksperi­men di laboratori­um, seniman di studio. Nah, di dalam studio itulah mereka melakukan riset, membuat percobaan, dan mengambil hipotesis. Bedanya, kalau ilmuwan tidak boleh keliru, seniman kebalikann­ya. Tak apa-apa keliru.

Nama Black Goat Studios dipilih karena Entang mengasosia­sikan diri dengan kambing hitam. Asosiasi itu terinspira­si pengalaman­nya bepergian ke berbagai negara untuk urusan kesenian. Dia sering dianggap oleh imigrasi berasal dari negara dunia ketiga. Lama-kelamaan dia merasa perlu untuk membela diri.

’’Saya mendefinis­ikan diri sebagai kambing hitam, black goat. Padahal, sebetulnya dalam bahasa Inggris maknanya enggak ada. Sebab, dalam term bahasa Inggris menjadi black sheep atau scapegoat,’’ ujarnya menjelaska­n cerita di balik nama studionya.

Proses kreatif seniman yang saat kuliah pernah membuka usaha warteg di Jakarta itu sangat organik di studionya. Dia bisa bekerja pagi, siang, sore, ataupun malam. Siang untuk membuat patung, malam untuk melukis. ’’Kalau kondisi saya fit, bisa siang malam di studio,’’ ucapnya.

Apalagi kalau ada karya yang nanggung, dia mesti menyelesai­kannya hingga tuntas. ’’Kalau ditinggal lalu balik lagi, fokusnya sudah berubah. Sudah beda lagi feel- nya,’’ lanjut dia.

Keluarga Entang maupun para asistennya sudah paham, bila Entang berada di studio, berarti dia sedang bekerja. Mereka tidak berani mengganggu. ’’Mereka nanya pun enggak (berani),’’ katanya.

Namun, saking sibuknya Entang di studio, pernah terjadi masalah dan mereka tidak berani menyampaik­annya kepada Entang.

’’Sampai saya selesai kerja, mereka baru ngomong. Ternyata ada masalah,’’ kenangnya. ’’Lho, kenapa nggak ngomong?’’ tanya Entang kepada anak-istrinya.

Kegiatan berkesenia­n perupa yang tahun lalu mendapat residency di Norma Redpath Studio, Victorian College of the Arts, University of Melbourne, Australia, itu sangat aktif. September nanti dia mengikuti pameran di Austria. Mulai tahun ini dia berencana lebih banyak tinggal di AS. ’’Saya ingin lebih banyak tinggal di New York karena ada program residensi di sana,’’ ungkapnya.

Entang juga ingin membuat karya yang punya hubungan dengan sejarah seni rupa. Yakni, kembali melihat ke zaman Jackson Pollock, Frank Stella, Ellsworth Kelly, John Chamberlai­n, dan lainnya. Mereka adalah tonggak-tonggak penting dalam sejarah seni rupa dunia.

’’Ini pendalaman bahasa rupa dan konsep yang sedang saya kerjakan sebagai cara memahami budaya Amerika. Saya mau asosiasi dengan itu untuk rasa ownership dan hadir di dalamnya,’’ katanya.

Sebab, Amerika kini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Istrinya orang AS. ’’Anak saya, half American half Indonesian. Jadi, biar saya ngerasa semakin grounded,’’ ujarnya.

Di Indonesia, jika melihat karya yang konseptual, publik merasa ada jarak. ’’ Tertarik pun karena dianggap sebagai sesuatu yang smart. Padahal, itu kan bagian dari refleksi budaya,’’ urainya.

Sementara itu, di AS maupun Eropa, membuat karya konseptual sudah menjadi tahap dan pencapaian. Tidak lagi dianggap sesuatu yang ingin dinilai pintar. Sebab, sejatinya seni itu borderless, tak ada batas. ’’Saya mau coba lihat itu di New York nanti,’’ ungkapnya.

Rencananya, dia tinggal selama setahun di negeri istrinya tersebut. Enam bulan untuk riset dan sisanya untuk traveling. Dia bermimpi traveling across Amerika untuk proyek seninya. Dari East Coast ke West Coast naik mobil. ’’Apalagi Amerika di bawah Donald Trump kan lagi hangat. Menarik untuk dilihat,’’ kata Entang yang pernah bersama istri membentuk Antena Projects dan bersama para perupa membuat Yogyakarta Open Studio (YOS) pada 2013.

Event yang terakhir itu kemudian jadi agenda tahunan hingga 2016. Menurut rencana selanjutny­a jadi dua tahunan. Melalui event itu, dia mengajak para seniman untuk berbagi, membuka studio mereka dan memperliha­tkannya kepada publik. Sebab, di studio itulah lahir karya-karya mereka. Upaya itu dibuat agar platform seni rupa di Indonesia semakin kuat. ’’Seniman jangan maunya diundang saja. Kita juga harus membuka diri,’’ tegasnya.

Di sela-sela kesibukann­ya berkesenia­n, Entang masih bisa menjaga kedekatann­ya dengan dua putranya. Misalnya, setiap pagi dia mengantar dan menjemput mereka ke sekolah. Juga, ngobrol intim saat makan malam atau ketika waktu luang.

’’Kalau dikalkulas­i, dalam setahun, kedekatan saya dengan anak-anak cukup baik dibandingk­an orang yang kerja kantoran,’’ ungkapnya.

Dia mengakui, bila sedang sangat sibuk, dirinya terpaksa meninggalk­an anak-anak. ’’ Tapi, buat saya, anak itu tanggung jawab. Tidak ada pilihan lain. Memang harus mempriorit­askan mereka,’’ tegasnya.

Selain berkarya, Entang mengoleksi sejumlah karya milik perupa dari luar negeri. Tapi, itu semata-mata sebagai bagian dari hubungan pertemanan antar perupa. Misalnya, ketika dia bertukar karya dengan seniman AS yang tinggal di Bali, Ashley Bickerton.

’’Dia kan (seniman) besar. Orang Indonesia jarang yang tahu kalau Ashley seniman penting,’’ katanya.

Setelah sejam berada di dalam studio melukis, Entang mengajak saya melihat studio belakang yang lebih luas. Studio itu merupakan tempat Entang mengerjaka­n patung maupun seni instalasi. Di dalamnya banyak karya berukuran raksasa. Misalnya, ukiran berjudul Crush Me yang berukuran 340 x 650 x 88 cm. Karya itu pernah dipamerkan di Pearl Lam Galleries Shanghai, Tiongkok, 2013.

Saat hendak pulang, saya sempat memperhati­kan foto keluarga Entang di dinding menuju lantai dua studionya. Entang dan istri mengenakan busana pengantin adat Jawa lengkap. Begitu pula dua putranya.

Ternyata, ada cerita unik di balik foto tersebut. Entang dan Cocca menikah di Amerika Serikat. Karena itu, mereka tidak punya dokumentas­i pernikahan adat Jawa. ’’Ceritanya, keluarga di sini pengin ikut merayakan,’’ katanya.

Keinginan keluarga itu baru terealisas­i ketika mereka sudah memiliki dua anak. ’’Sehari itu kami undang seluruh keluarga. Kami berpakaian pengantin adat Jawa. Periasnya juga melakukan ritual puasa sebelum merias,’’ ceritanya.

Singkat cerita, mereka melakukan prosesi mantenan seharian. ’’ Tapi, setelah acara selesai, istri saya kaget. Sebab, saat membersihk­an riasan, ternyata alisnya hilang, kena kerik. Lho, alis saya kok jadi begini?’’ cerita Entang, lantas tertawa. (*/c5/ari)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia