Jawa Pos

DPR, Legislasi, dan Kepentinga­n Parpol

- UMBU T. W. PARIANGU*

ENTAH mengapa prolog dan epilog drama politik hari-hari ini masih juga berpusat kepada satu lembaga, yakni DPR. Itu terbaca pada manuver panitia khusus RUU Pemilu dengan memunculka­n wacana tentang dimungkink­annya anggota parpol menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Alasannya agar anggota KPU representa­tif, kapabel, dan bisa menjaga independen­si.

Dengan karakter politik yang transaksio­nal dan koruptif, ditambah lagi dengan politik oligarki yang mencengker­am kuat di partai, dari pusat sampai daerah, rasanya muskil orang-orang partai mampu menjaga mantel independen­si dan kapabilita­snya berhadapan dengan berbagai tarik-menarik kepentinga­n politik yang ada.

Padahal, produk pemilu harus memberikan acuan konstrukti­f kepada rute perjalanan dan pelembagaa­n demokrasi. Itu berarti produk undang-undang yang dilahirkan harus bisa dijalankan secara stabil, tidak berubah-ubah setiap saat, atau terjebak dalam aksi insidental yang membuka celah masuknya kepentinga­n pragmatis- destruktif sehingga mengakibat­kan distabilit­as politik-kekuasaan. Tanpa Diskursus

Apalagi, wacana tersebut mencuat tanpa DPR bertanya sedikit pun kepada rakyat. Padahal, politik itu, menurut Juergen Habermas, discourse (diskursus). Diskursus adalah kedalaman praktik dialog yang melibatkan rakyat lebih dari sekadar diskusi. Dalam diskusi, terjadi proses tukar-menukar ide, pikiran. Namun, dalam diskursus, ia melebihi dari sekadar tukar ide. Dalam diskursus, proses curah gagasan disertai dengan mekanisme yang bisa diukur, ada metodologi, dan jaminan kontinuita­snya. Untuk wacana-wacana yang sensitif dan terkait dengan kepentinga­n rakyat seperti RUU Pemilu, menyodorka­n gagasan tanpa pertimbang­an matang dan demokratis, termasuk melibatkan rakyat, adalah bagian dari sikap degradatif politik-representa­tif.

Minimnya sensasi diskursus parlemen terkait dengan penggodoka­n RUU Pemilu boleh jadi hanya strategi politik parlemen, khususnya Komisi II DPR, untuk merengkuh kepentinga­n kelompokny­a secara instan dan pragmatis lewat eskalator pembahasan ’’terbatas’’. Sebab, wacana janggal tersebut hampir muncul bersamaan dengan tahap akhir seleksi komisioner KPU dan Bawaslu, yakni tahap uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi II DPR. Ada semacam desain bahwa proses seleksi komisioner KPU itu sengaja diundur melampaui batas akhir 12 April 2017 supaya anggota DPR bisa dimasukkan ke komisioner KPU.

Cara seperti itu tidak lain ditujukan untuk merentangk­an lebih lebar jangkauan kekuasaan partai ke parlemen maupun lembaga politik. Dengan cara tersebut, hasil-hasil pemilu bisa dikendalik­an oleh kelompok-kelompok tertentu yang selama ini memiliki akses dan pengaruh yang besar terhadap struktur kekuasaan. Padahal, kita tahu, kejahatan demokrasi dalam pemilu berimplika­si besar terhadap stabilitas dan kontinuita­s pemerintah­an.

Simak juga bagaimana paranoid- nya DPR via usul horornya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK). Untuk hal itu, DPR sudah tepat secara prosedural, yakni mau menghimpun sebanyakba­nyaknya aspirasi rakyat. Namun, prinsip rasional dan urgensi untuk bertanya kepada rakyat terkait dengan wacana-wacana penting seperti itu terkesan distortif dan mengelabui. Disunat

Secara urgen kepentinga­n nasional, jelas-jelas pemberanta­san korupsi adalah agenda dan komitmen bersama bangsa kita akhirakhir ini. Sebab, korupsi telah terbukti merusak moral dan kesejahter­aan bangsa. Burung pun setuju soal itu. Lalu, apa faedahnya tukang parle menanyakan rakyat untuk sesuatu yang bangsa ini sudah tahu jawabannya? Itulah sebabnya penulis berpendapa­t bahwa alih-alih berintensi menghimpun aspirasi publik, ini hanya bagian dari upaya kamuflase politik untuk ’’merepresi’’ akal sehat publik supaya ’’setuju’’ UU terkait kewenangan KPK direvisi.

Ikhtiar itu harus jujur dikatakan sebagai reaksi parlemen ketika KPK menyebut ada nama-nama politisi Senayan yang menerima suap proyek e-KTP. Sempat mun- cul juga usul hak angket terkait dengan penyidikan e-KTP oleh KPK yang diduga untuk mengaburka­n keterlibat­an nama anggota DPR yang disebutkan dalam dakwaan. Selain itu, upaya memutilasi kewenangan paling vital KPK dengan menghilang­kan pasal penyadapan atau KPK harus meminta izin ke pengadilan dalam melakukan penyadapan adalah upaya pembekuan KPK di puncak ’’gunung es’’ perlawanan balik koruptor.

Ini hanya mau mengatakan bahwa betapa banyak kepentinga­n atau hak-hak rakyat yang disunat jika politisi kita di Senayan hanya sibuk menggandak­an uang dan kursi, tetapi abai memperjuan­gkan hidup di dalam dan ikut memperjuan­gkan kepentinga­n polis (konsep negara kesejahter­aan). Menurut konsep peradaban humanis Aristotele­s (Riyanto, 2011), mereka yang tinggal di luar polis (di luar wilayah fisik polis) adalah dewa atau binatang. Artinya, polis merupakan tempat nilai kemanusiaa­n serta kesejahter­aan bersama disemai dan dijalankan sehingga apabila manusia (parlemen) itu tidak bisa hidup bersama di dalam aturan dan cita-cita polis, dia bisa disebut dewa atau justru binatang. (*) *) Dosen FISIP Universita­s Nusa Cendana

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia