DPR, Legislasi, dan Kepentingan Parpol
ENTAH mengapa prolog dan epilog drama politik hari-hari ini masih juga berpusat kepada satu lembaga, yakni DPR. Itu terbaca pada manuver panitia khusus RUU Pemilu dengan memunculkan wacana tentang dimungkinkannya anggota parpol menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Alasannya agar anggota KPU representatif, kapabel, dan bisa menjaga independensi.
Dengan karakter politik yang transaksional dan koruptif, ditambah lagi dengan politik oligarki yang mencengkeram kuat di partai, dari pusat sampai daerah, rasanya muskil orang-orang partai mampu menjaga mantel independensi dan kapabilitasnya berhadapan dengan berbagai tarik-menarik kepentingan politik yang ada.
Padahal, produk pemilu harus memberikan acuan konstruktif kepada rute perjalanan dan pelembagaan demokrasi. Itu berarti produk undang-undang yang dilahirkan harus bisa dijalankan secara stabil, tidak berubah-ubah setiap saat, atau terjebak dalam aksi insidental yang membuka celah masuknya kepentingan pragmatis- destruktif sehingga mengakibatkan distabilitas politik-kekuasaan. Tanpa Diskursus
Apalagi, wacana tersebut mencuat tanpa DPR bertanya sedikit pun kepada rakyat. Padahal, politik itu, menurut Juergen Habermas, discourse (diskursus). Diskursus adalah kedalaman praktik dialog yang melibatkan rakyat lebih dari sekadar diskusi. Dalam diskusi, terjadi proses tukar-menukar ide, pikiran. Namun, dalam diskursus, ia melebihi dari sekadar tukar ide. Dalam diskursus, proses curah gagasan disertai dengan mekanisme yang bisa diukur, ada metodologi, dan jaminan kontinuitasnya. Untuk wacana-wacana yang sensitif dan terkait dengan kepentingan rakyat seperti RUU Pemilu, menyodorkan gagasan tanpa pertimbangan matang dan demokratis, termasuk melibatkan rakyat, adalah bagian dari sikap degradatif politik-representatif.
Minimnya sensasi diskursus parlemen terkait dengan penggodokan RUU Pemilu boleh jadi hanya strategi politik parlemen, khususnya Komisi II DPR, untuk merengkuh kepentingan kelompoknya secara instan dan pragmatis lewat eskalator pembahasan ’’terbatas’’. Sebab, wacana janggal tersebut hampir muncul bersamaan dengan tahap akhir seleksi komisioner KPU dan Bawaslu, yakni tahap uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi II DPR. Ada semacam desain bahwa proses seleksi komisioner KPU itu sengaja diundur melampaui batas akhir 12 April 2017 supaya anggota DPR bisa dimasukkan ke komisioner KPU.
Cara seperti itu tidak lain ditujukan untuk merentangkan lebih lebar jangkauan kekuasaan partai ke parlemen maupun lembaga politik. Dengan cara tersebut, hasil-hasil pemilu bisa dikendalikan oleh kelompok-kelompok tertentu yang selama ini memiliki akses dan pengaruh yang besar terhadap struktur kekuasaan. Padahal, kita tahu, kejahatan demokrasi dalam pemilu berimplikasi besar terhadap stabilitas dan kontinuitas pemerintahan.
Simak juga bagaimana paranoid- nya DPR via usul horornya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk hal itu, DPR sudah tepat secara prosedural, yakni mau menghimpun sebanyakbanyaknya aspirasi rakyat. Namun, prinsip rasional dan urgensi untuk bertanya kepada rakyat terkait dengan wacana-wacana penting seperti itu terkesan distortif dan mengelabui. Disunat
Secara urgen kepentingan nasional, jelas-jelas pemberantasan korupsi adalah agenda dan komitmen bersama bangsa kita akhirakhir ini. Sebab, korupsi telah terbukti merusak moral dan kesejahteraan bangsa. Burung pun setuju soal itu. Lalu, apa faedahnya tukang parle menanyakan rakyat untuk sesuatu yang bangsa ini sudah tahu jawabannya? Itulah sebabnya penulis berpendapat bahwa alih-alih berintensi menghimpun aspirasi publik, ini hanya bagian dari upaya kamuflase politik untuk ’’merepresi’’ akal sehat publik supaya ’’setuju’’ UU terkait kewenangan KPK direvisi.
Ikhtiar itu harus jujur dikatakan sebagai reaksi parlemen ketika KPK menyebut ada nama-nama politisi Senayan yang menerima suap proyek e-KTP. Sempat mun- cul juga usul hak angket terkait dengan penyidikan e-KTP oleh KPK yang diduga untuk mengaburkan keterlibatan nama anggota DPR yang disebutkan dalam dakwaan. Selain itu, upaya memutilasi kewenangan paling vital KPK dengan menghilangkan pasal penyadapan atau KPK harus meminta izin ke pengadilan dalam melakukan penyadapan adalah upaya pembekuan KPK di puncak ’’gunung es’’ perlawanan balik koruptor.
Ini hanya mau mengatakan bahwa betapa banyak kepentingan atau hak-hak rakyat yang disunat jika politisi kita di Senayan hanya sibuk menggandakan uang dan kursi, tetapi abai memperjuangkan hidup di dalam dan ikut memperjuangkan kepentingan polis (konsep negara kesejahteraan). Menurut konsep peradaban humanis Aristoteles (Riyanto, 2011), mereka yang tinggal di luar polis (di luar wilayah fisik polis) adalah dewa atau binatang. Artinya, polis merupakan tempat nilai kemanusiaan serta kesejahteraan bersama disemai dan dijalankan sehingga apabila manusia (parlemen) itu tidak bisa hidup bersama di dalam aturan dan cita-cita polis, dia bisa disebut dewa atau justru binatang. (*) *) Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana