Mentor dari Jogja, Utak-atik Sepulang Sekolah
MAN Nganjuk mengukir prestasi di tingkat nasional. Bersaing dengan pelajar setingkat SMA/SMK se-Indonesia, tim robot mereka berbicara banyak di lomba robotik di ITS Surabaya.
BEL sekolah baru saja berbunyi pukul 10.00 Senin (27/3). Tandanya, waktu istirahat di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Nganjuk dimulai.
Siswa-siswa langsung berhamburan ke luar kelas masing-masing. Ada yang menuju kantin. Sebagian lainnya ke musala sekolah untuk menunaikan salat Duha.
Di antara ratusan siswa yang beristirahat, lima pelajar yang berseragam putih abu-abu dan berpeci hitam berjalan menuju ruang guru. Di sana, mereka sudah ditunggu Wakil Kepala MAN Nganjuk Bidang Kehumasan Dewi Kurnia.
Sambil membawa piala dan plakat penghargaan, mereka langsung melapor. Setelah itu, Dewi mengajak Jawa Pos Radar Nganjuk yang sudah menunggu di ruang guru madrasah di Jl Letjen Suprapto, Nganjuk, itu menuju musala untuk wawancara.
Ya, lima siswa tersebut baru saja mengukir prestasi tingkat nasional. Sembari duduk di lantai musala yang masih direnovasi itu, mereka menjelaskan Lomba Robotic Nasional (Baronas) 2017 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
’’Ini piala yang kami raih dalam lomba,’’ kata salah seorang siswa sembari menunjukkan dua piala berwarna perak.
Dalam lomba selama dua hari (25–26 Maret lalu) tersebut, MAN Nganjuk mengirimkan dua tim robotiknya ke Kota Pahlawan, julukan Surabaya. Yang membanggakan, dua tim tersebut samasama mengukir prestasi. Yakni, juara dan meraih posisi III.
Tim yang juara beranggota dua siswa. Mereka adalah M. Rizky Rahman dan Achmad Badru Munir. Tim yang merebut posisi ketiga berisi Mifatqul Mifta Lutfi, Wildan Taufiqie, dan Ahmad Arjunaja.
’’Satu tim boleh terdiri atas dua atau tiga anak,’’ kata Rizky Rahman.
Lomba yang diselenggarakan Jurusan Teknik Elektro ITS tersebut diikuti 23 tim tingkat SMA/ SMK se-Indonesia. Karena itu, kompetitor tim MAN Nganjuk bukan siswa madrasah, tapi juga pelajar sekolah umum.
Lomba dimulai melalui babak penyisihan, yakni dari 23 tim diambil 16 besar dan setelah itu mengerucut menjadi 8 tim.
’’ Terakhir di final hanya ada empat tim,’’ ungkap Rizky.
Pelajar kelahiran 4 Februari 2001 tersebut menjelaskan, setiap tim harus membuat robot transporter otomatis dan manual. Tugasnya adalah melakukan simulasi membuang sampah dan menanam pohon. Dalam simulasi itu, sampah dan pohon dibuat dari paralon.
Untuk simulasi membuang sampah, ada enam paralon dengan warna berbeda. Yakni, merah, biru, dan kuning.
Karena itu, ada dua paralon yang berwarna sama. Tugas tim robotik adalah memasukkan paralon tersebut ke tempat yang disediakan sesuai dengan warnanya.
Rizky menyatakan, timnya berhasil mencatatkan waktu terbaik sepanjang babak penyisihan sampai final. Bahkan, dalam babak delapan besar, tim yang dinamakan I.A.R.T Baymax West Bend tersebut mencatatkan rekor tercepat dalam dua simulasi itu, yakni 1,43 menit.
Tim posisi ketiga mencatatkan waktu 2 menit di babak final. Menurut Wildan, salah satu anggota tim, perbedaan waktu itu dipengaruhi keterampilan pengendali robot. Semakin terampil, waktu yang dicatatkan bisa makin cepat.
’’Kami kalah di keterampilan kendalikan remote. Tim IART (I.A.R.T) jago,’’ kata pelajar 17 tahun itu disambut gelak tawa teman-temannya.
Kemenangan itu bukan tanpa persiapan. Sebulan sebelum lomba, kedua tim mempersiapkan diri dengan baik. Mereka dibimbing mentor dari Jogjakarta. Selama masa persiapan, mereka membuat program dan berlatih mengendalikan robot.
Supaya persiapan maksimal, mereka harus mengorbankan waktu bermain. Karena itu, begitu pulang sekolah sekitar pukul 14.00, mereka langsung mengutakatik robot. Biasanya kegiatan tersebut baru selesai sekitar pukul 16.00.
’’Kalau pas libur, kami kumpul lebih pagi. Pulang jam 14.00,’’ ungkap Rizky. (*/ndr/c5/diq)