Berita Medsos Bukan Karya Jurnalistik
Publik Mesti Cerdas Memilih Informasi
GRESIK – Berita palsu ( hoax) makin mengancam kehidupan pers. Hoax juga menimbulkan dampak negatif. Mulai memecah belah persatuan hingga menimbulkan korban jiwa.
”Contoh terbaru adalah merebaknya isu penculikan. Banyak orang tidak bersalah menjadi korban,” kata Ketua Dewan Pers Yosep (Stanley) Adi Prasetyo dalam Bincang Tokoh Nasional yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Gresik dan DPRD Gresik kemarin (29/3).
Selain ketua Dewan Pers, acara yang digelar di Graha Sarana PT Petrokimia itu juga menghadirkan pembicara staf ahli Menkominfo Henry Subiakto, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Rikwanto, serta Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kemenkum HAM Zaeroji.
Stanley meminta publik tidak menelan mentah-mentah informasi di media sosial (medsos). Sebab, kebenaran berita tidak bisa dipertanggungjawabkan. Medsos tidak memiliki kaidah jurnalistik. Tidak ada unsur cover both side seperti yang diterapkan dalam kaidah jurnalistik. ”Itu bukanlah karya jurnalistik. Jadi, publik harus cerdas,” paparnya.
Saat ini, kata Stanley, Dewan Pers terus memverifikasi media. Baik cetak, online, maupun televisi. Tujuannya, mengetahui mana media yang abal-abal dan mana yang benar. Media yang benar harus berbadan hukum. Selain itu, wartawannya harus memiliki kompetensi, gajinya juga harus sesuai standar. ”Jangan hanya dibekali kartu pers, kemudian gaji disuruh mencari sendiri,” ujarnya.
Stanley menambahkan, tujuan verifikasi media itu juga adalah mengembalikan kejayaan media-media mainstream (arus utama). Dengan demikian, publik hanya menyerap informasi yang benar dan melalui proses jurnalistik yang benar.
Henry Subiakto mengaku menerima banyak aduan soal hoax. Per hari ada 300-an kasus hoax. Adapun selama 2017, sudah ada 400 laporan yang masuk ke Kemenkominfo. ’’Laporan langsung kami tindak lanjuti. Jika cukup bukti, website atau akun langsung diblokir,” papar Henry.
Rikwanto menyampaikan, sejauh ini pihaknya telah memblokir lebih dari 1.400 akun dan website. Konten tersebut, jelas Rikwanto, jelas bertentangan dengan Undang-Undang (UU) 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). ’’Sebagian besar memuat soal ujaran kebencian, fitnah, dan penghasutan,” jelasnya. (yad/c10/nw)