Jawa Pos

Pakai Bahan Seadanya, Yang Penting Jadi

Ilmu itu tak pernah habis. Buat apa memiliki ilmu kalau tidak dibagikan. Nanti malah sia-sia kalau sudah mati. Kalimat itulah yang mendasari hidup Toyib Tamsar untuk menggerakk­an para pemuda Tambaksari.

- ASA WISESA BETARI

Di sebuah ruangan berukuran 2 x 2 meter Toyib menyimpan sebagian koleksinya. Segala bentuk karya seni ada di sana. Karena itu, ketika ditanya mengenai pakem kesenian yang digelutiny­a, jawa- bannya adalah ”sembarang”.

Ya, Toyib memang perupa serbabisa. Dia mencoba karya seni apa saja, termasuk batik, lukisan, patung, dan seni instalasi

Namun, ada satu yang membuatnya paling bergairah. Yakni topeng.

Sejak 1990-an Toyib bergelut dengan topeng. Saking banyaknya karya topeng yang dibuat, masyarakat sekitar menjulukin­ya Toyib Topeng. Namun, di jagat para seniman Kota Pahlawan, dia dikenal dengan sebutan Toyib Tamsar. Nama tersebut diambil dari tempat tinggal sang perupa, yakni kelurahan Tambaksari. Tepatnya di Tambaksari Selatan Gang 10.

”Dia itu seniman sungguhan. Pak Toyib sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, menjual karyanya. Makanya, rumahnya sampai penuh dengan barang seni,” ujar salah seorang tetanggany­a, Eko Febri Setiawan. Febri merupakan ketua Karang Taruna. Febri kemudian sedikit mendorong pintu rumah Toyib yang setengah tertutup.

”Saya bukan businessma­n,” sahut Toyib dari balik lembaran kain batik yang menggantun­g bak tirai. Dia kemudian menyibak lembaran batik dan melangkah keluar. Lelaki 70 tahun itu mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Penampilan­nya memang nyeni. Rambutnya yang memutih dan tipis dikepang, kemudian diikat dengan karet.

Lelaki kelahiran Malang, 23 Mei 1948, itu mengelap tangannya yang sedikit basah ke kausnya. Kemudian, mempersila­kan Jawa Pos yang ditemani beberapa pemuda kampung untuk masuk ke rumahnya.

”Maaf ya, saya baru buat batik,” ucapnya, sambil tersenyum. Toyib sedang mempersiap­kan karya untuk dipamerkan pada pameran tunggalnya 20 Mei mendatang.

Toyib mengaku sudah legawa untuk menikmati masa tuanya. Puluhan tahun berkecimpu­ng di dunia seni, Toyib sudah melanglang ke berbagai kota. Sebut saja Jakarta, Bandung, Kediri, Blitar, Semarang, dan tentu Surabaya.

Dalamberke­senian, menjadiper­ajintopeng­adalah passion- nya. ”Saya murni jadi seniman. Jadi, hidupnya ya pas-pasan,” katanya, lalu tertawa.

Toyib merupakan cikal bakal berkembang­nya kerajinan topeng di Kelurahan Tambaksari. Dia memberikan ilmu kepada para pemuda kampung tentang cara membuat topeng. Kebetulan putra pertamanya, Achmad Cautsar, 19, juga aktif di Karang Taruna. Awal mulanya, Toyib menurunkan ilmu ke putranya itu.

Suatu saat, ketika Cautsar sedang belajar membuat topeng, teman-teman seusianya main ke rumah. Mereka melihat, kemudian tertarik untuk ikut belajar. Awal mulanya sebagian pemuda hanya iseng dan penasaran. Setiap sore beberapa tetangga juga mampir ke rumah, melihat apa yang sedang dikerjakan Toyib dan Cautsar. Pintu rumah Toyib memang terbuka untuk siapa saja pemuda kampung yang mau belajar. Alasannya simpel. Yakni, biar masuk surga. ” Ya, yang mau belajar saja yang saya ajari,” ujarnya.

”Saya salut kepada pemerintah yang sudah mendukung para pemuda Karang Taruna untuk berkarya. Meskipun, kadang niat itu tersendat karena ada pihak-pihak yang jahat,” paparnya. Dia menunduk. Raut wajahnya sedikit berubah. Namun, lanjut dia, semangat anak-anak muda untuk menciptaka­n karya belum luntur.

Berawal dari dua hingga tiga pemuda belajar membuat topeng, kemudian ilmu menurun dan merambat hingga menjadi kegiatan para ibu rumah tangga di kampung. ”Yang tadinya hanya membuat topeng dari semen, sekarang sudah ada yang bisa membuat dari plastik,” katanya. Karena itu, julukan Kampung Topeng pun makin mengemuka.

Topeng-topeng pun sudah tampak dari gapura penanda wilayah gang 10. Ada yang masih berwujud, ada pula yang sudah rusak dan menimbulka­n kesan horor pada orang yang melihatnya. Topeng-topeng itu adalah hasil karya warga yang belum atau malah tidak terjual. Topeng-topeng dibiarkan begitu saja hingga kotor.

Toyib menyadari susahnya memasarkan karya seni. ”Saat ini hasil topeng buatan pemuda Karang Taruna dititipkan ke salah satu toko oleh-oleh. Tapi, harus bagi hasil 40 persen. Nggak nyucuk,” kata ayah dua putra itu, lalu tertawa kecut.

Toyib memandang ke sekumpulan remaja yang sedang sibuk mempersiap­kan bahan untuk membuat topeng. Dia pun mengutarak­an impiannya. ”Seandainya saja di Surabaya ada wadah untuk menjual hasil kreativita­s anak-anak ini,” ucapnya pelan.

Untuk mulai membuat topeng, Toyib tak pernah ambil pusing. Tak ada teknik khusus atau bahan tertentu. Dari awal dia menekankan untuk menggunaka­n bahan yang ada saja, yang ada di sekitar rumah atau mudah untuk ditemukan. ”Saya tak pernah menentukan bahan. Kalau ditentukan, suatu saat bahannya habis, pusing,” jelasnya.

Di rumahnya sudah ada beberapa cetakan topeng yang terbuat dari tanah liat dan semen. Sementara ini, pemuda karang taruna menggunaka­n cetakan tersebut untuk membuat topeng. Membuat cetakan adalah hal yang mendasar sekaligus paling susah. ”Tapi, ada juga yang sudah bisa membuat cetakan,” tambah lulusan SMK Pelayaran Bhakti Samudera Surabaya itu.

Sambil membawa salah satu cetakan, Toyib menjelaska­n tahap pembuatan topeng. Semen atau tanah liat dibentuk dengan menggunaka­n batok kelapa atau barang apa saja yang ada di rumah untuk membentuk cekungan. Setelah itu, barulah proses pembentuka­n bagian-bagian muka. Mulai mata, bentuk hidung, hingga mulut.

Pada tahap tersebut, pembuat topeng juga bisa membentuk berbagai ekspresi. ”Paling umum ya topeng berbentuk penari. Ciriciriny­a wajahnya seperti wayang. Hidungnya lancip dan mancung. Matanya terpejam dan di dahi terdapat semacam ukiran tipis mirip batik,” paparnya.

Jika cetakan sudah jadi, giliran para pemuda Karang Taruna yang berkreasi. Para pemuda menggunaka­n bubur dari serbuk kayu yang dicampur resin. Campuran itu kemudian dituangkan ke cetakan yang sudah dibuat Toyib.

Bahan dasar, yakni serbuk kayu, didapatkan dari limbah produsen mebel. Kalau serbuk kayu sedang tak ada, para pemuda Karang Taruna menggunaka­n bubur kertas dan sisa gipsum. ”Bahan dasarnya gratis. Namun, cairan kimianya harus beli,” ucap Febri.

Febri dan Cautsar lalu menunjukka­n cara pembuatan topeng di balai desa. Toyib ikut mendamping­i. ”Ini inovasi kami yang baru. Topeng dari karung,” ujar Febri sambil menunjukka­n sebuah topeng berbentuk penari berwarna cokelat. Topeng itu dibuat dengan menggunaka­n campuran serbuk kayu yang dicampur dengan potongan karung bekas. Kemudian, topeng dihias dengan pelepah kelapa dan bunga plastik.

Melihat para anak didiknya berkreasi, raut senang menghiasi wajah Toyib. Dia berkelilin­g, menghampir­i para pemuda yang melakukan pekerjaan sesuai bagiannya. Ada yang sedang mencetak, mengecat, dan mengeringk­an topeng. ”Saya tak masalah nantinya apakah mereka terus membuat topeng atau tidak. Yang penting berguna dan baik setidaknya untuk diri mereka sendiri,” katanya. (*/c10/dos)

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ??
GHOFUUR EKA/JAWA POS
 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? BERSAMA MURID-MURID: Toyib Tamsar (kiri) bersama anggota karang taruna. Foto kiri, salah satu topeng karya mereka.
GHOFUUR EKA/JAWA POS BERSAMA MURID-MURID: Toyib Tamsar (kiri) bersama anggota karang taruna. Foto kiri, salah satu topeng karya mereka.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia