Jawa Pos

Biasa Berlatih di Dalam Kamar Mandi

Usianya hampir 62 tahun. Namun, I Nyoman Komin masih luwes menari. Setiap perayaan Hari Raya Nyepi, dia selalu menari. Bahkan, dia masih kerap diundang tampil di sejumlah pura di Jawa Timur. Kombespol (Pur) I Nyoman Komin, Penasihat dan Penari Pura Penata

- FIRMA ZUHDI AL FAUZI

DITEMUI di rumahnya kemarin siang (29/3), yakni di RT 11, RW 4, Desa Suko, Sukodono, I Nyoman Komin masih mengenakan pakaian adat Bali. Atasan putih dan bersarung putih. Udeng putih juga dikenakann­ya.

Purnawiraw­an polisi berpangkat komisaris besar polisi (Kombespol) itu baru selesai menggelar ritual

ngembak geni di rumahnya. Ibadah yang dilakukan tepat sehari setelah Nyepi. Tujuannya, dimudahkan segala urusan dan bersih dari dosa di masa lalu. Biasanya acara itu dilanjutka­n dengan saling silaturahm­i.

”Baru hari ini (kemarin, Red) bisa menari atau berlatih menari lagi setelah Nyepi di rumah,” celetuk Nyoman.

Dalam keseharian­nya, Nyoman memang akrab dengan menari. Sehari-hari, dia sering berlatih memantapka­n gerakan tariannya. Tak kenal waktu. Dalam bahasa Jawa, sak kepingine. Bahkan, saat sedang mandi pun, Nyoman kerap berlatih

”Kalau orang di kamar mandi biasanya nyanyi, saya menari,” ucap suami Ni Wayan Rasmi itu.

”Istri saya malah ketawa ngakak waktu tahu saya sedang latihan di kamar mandi itu,” lanjut bapak empat anak tersebut.

Namun, kebiasaan nyeleneh itu tak masalah. Namanya juga sudah jatuh cinta pada dunia tari. Kapan ingin latihan, tinggal menggerakk­an badan saja. Apalagi saat ide datang, dia langsung saja mempraktik­kan gerakan yang terpikir di kepalanya. ”Karena kadang waktu diam begitu, tercetus gerakan tertentu yang kayaknya asyik kalau langsung dipraktikk­an,” ucap pria kelahiran Bali, 31 Desember 1955, tersebut.

Dia mencontohk­an tari topeng tua yang ditampilka­n dalam pembukaan acara mecaru di Pura Penataran Agung Margo Wening, Krembung, pada Senin lalu (27/3). ”Ada gerakan-gerakan tambahan hasil improvisas­i, bukan gerakan dasar saja,” katanya.

Nyoman memiliki minat lebih pada dunia tari sejak masih duduk di bangku Sekolah Teknik Mesin (STM) Saraswati Denpasar dulu. Saat itu, pada 1972. Karena punya minat tinggi, Nyoman pun ikut belajar drama tari di kelompok drama yang ada di kampungnya, Desa Sibanggede, Kabupaten Badung, Bali. ”Belajarnya langsung mempraktik­kan, tanya-tanya ke teman-teman soal gerakannya bagaimana, bukan les atau kursus,” ucap kakek tiga cucu tersebut.

Bisa dibilang, cara belajarnya otodidak. Yakni, sering melihat orang menari, sering mengikuti acara tari, dan sering mendengar musik-musik pengiring tarian. ”Saya melihat tari saja sudah senang,” ujarnya.

Selepas lulus STM pada 1974, setahun kemudian dia ikut seleksi tamtama polisi. Ternyata lolos. Dia ditugasi sebagai anggota Sabhara Polres Lombok Barat. ”Nah, di Lombok itu ternyata ketemu beberapa teman yang dulu pernah latihan bareng di Bali,” ucap Nyoman. Alhasil, saat di Lombok, dia sering berkumpul dengan rekan lamanya. Latihan menari lagi.

Nyoman juga kerap tampil di sejumlah pertunjuka­n. ”Dulu setiap pertunjuka­n ramai karena belum ada televisi. Jadi, orang menyaksika­n langsung,” ujarnya.

Nyoman bertugas di Lombok cukup lama. Baru pada 1987, dia ditugaskan ke Papua selama 10 tahun. ”Sejak di Papua itu, tidak lagi ketemu rekan-rekan yang bisa diajak berlatih bersama, sudah tidak pernah tampil juga,” jelas Nyoman.

Dia hanya berlatih sendiri di rumah. Selalu mencoba gerakanger­akan baru. ”Lalu, saya pindah ke Sidoarjo pada 1998. Saya ditugasi di ahli madya bidang hukum Polda Jatim,” terangnya.

Di Sidoarjo pun, dia belum aktif menari. Rekan di kantornya tidak tahu bahwa Nyoman jago menari. Pada 1998 itu, dia biasa datang ke Pura Penataran Agung Margo Wening. Tapi, belum menari di pura tersebut. Hanya ibadah biasa. Baru pada 2009, Nyoman menjadi penari di Pura Penataran Agung Margo Wening. Setiap acara menjelang Nyepi, terutama pada ritual mecaru, dia hampir selalu tampil.

” Ya nggak kaku juga karena walaupun lama nggak tampil, saya tetap berlatih sendiri di rumah,” katanya.

Pada 2010 hingga 2014, Nyoman menjabat ketua rumah tangga Pura Penataran Agung Margo Wening. Karena itu, dia sering tampil. ”Seringnya memang tampil di Pura Krembung, kadang juga di Pura Jala Siddhi Amertha, Sedati,” ucapnya.

Namun, pria yang pensiun pada 2014 dengan jabatan terakhir Kabagops Ditreskrim­sus Polda Jatim tersebut beberapa kali juga diundang tampil di sejumlah pura di Jawa Timur. Jenis tari yang biasa dibawakan adalah tari topeng. Yang sering tari topeng tua dan tari topeng keras. Tarian itu juga ditampilka­n saat mecaru di Pura Jala Siddhi Amertha pada Senin lalu. Selain itu, dia menari topeng sidakarya. ”Tari topeng tua kan menceritak­an orang tua, gerakan pelan-pelan, topengnya juga berwajah orang tua. Adapun, topeng keras itu menceritak­an kesatria yang gagah, gerakannya lebih cepat. Nah, tari topeng sidakarya ini beda,” terangnya.

Tari sidakarya merupakan tarian khusus untuk ritual tertentu. Ada doa dalam tarian tersebut. Juga, ada proses pelemparan beras kuning. Tidak boleh dilakukan sembaranga­n. Bahkan, tariannya pun dilakukan di mandala utama pura. ”Itu tempat khusus yang ada di dalam pura,” ucap Nyoman. ”Itu yang biasa saya tampilkan,” tambahnya.

Selain sejumlah tarian tadi, masih banyak tari yang dikuasai Nyoman. Misalnya, tari kecak, janger, dan topeng tugek, dan topeng monyer. ” Tugek dan monyer ini tari jenaka, topengnya juga dibuat lucu,” ucapnya.

Gerakan beberapa tari tersebut tak jauh berbeda. Yang penting sudah tahu dasarnya, rasanya tak sulit mempelajar­i jenis tarian itu. ” Tarian dasar yang harus dipelajari itu tari baris dan tari jauk,” jelas Nyoman.

Tari baris tidak menggunaka­n topeng. Temponya cepat sehingga langkah saat menari juga cepat. Biasanya melatih gerakan mata kanan dan kiri. Ada gerakan memegang kepala dan menggerakk­an bahu. Sementara itu, tari jauk cenderung bertempo lambat. Langkah juga pelan. Memakai topeng dan kuku. ”Kalau jauk ini pakai topeng. Untuk membuat topeng itu serasa hidup dan berkomunik­asi, harus menggunaka­n banyak gerakan dagu,” terang Nyoman.

”Kalau nggak pakai topeng, kan komunikasi­nya tinggal pakai mata. Kalau pakai topeng, komunikasi­nya pakai dagu. Misalnya, dagu digerakkan ke kanan berarti ingin menyampaik­an kepada penonton bahwa sedang menengok ke kanan,” jelasnya.

”Kadang istri sampai berdoa kalau saya mau menari topeng, takut nggak bisa napas, apalagi umur sudah tidak muda lagi,” lanjutnya. Namun, Nyoman tidak khawatir. Dia meminta istrinya berdoa saja. Sebab, menurut Nyoman, saat dirinya tampil, kerap tak terasa capeknya. Seperti ada yang menuntun. Gerakannya juga kadang lebih luwes. Mungkin karena sudah terbiasa. Hanya, saat sudah terlalu capek, biasanya Nyoman mengode penabuh gamelannya dengan bertepuk tangan pelan. Mengisyara­tkan bahwa dirinya ingin berhenti. ”Tari ini kan juga ibadah, jadi harus maksimal tampilnya,” ujarnya. Itu salah satu yang menjadi alasan Nyoman untuk terus menari. (*/c7/hud)

 ?? GHOFUUR EKA /JAWA POS ??
GHOFUUR EKA /JAWA POS
 ?? FIRMA ZUHDI AL FAUZI/JAWA POS ?? BERDARAH SENI: Kombespol (pur) I Nyoman Komin saat menari di Penataran Agung Margo Wening.
FIRMA ZUHDI AL FAUZI/JAWA POS BERDARAH SENI: Kombespol (pur) I Nyoman Komin saat menari di Penataran Agung Margo Wening.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia