Jawa Pos

Dahlan dan Kriminalis­asi Kebijakan

-

DUA kali sudah (Agustus 2015 dan 2016) Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan instruksi kepada kepolisian dan kejaksaan supaya tidak melakukan kriminalis­asi atas diskresi pejabat soal kebijakan bisnis/ekonomi. Jangan sampai pejabat atau mantan pejabat yang berkreasi progresif untuk membangun masyarakat dihantui ancaman atau teror pidana.

Sungguh ironis jika pejabat atau mantan pejabat yang bermaksud menolong dan menyelamat­kan warga dikriminal­kan. Ketakutan pejabat atas upaya kriminalis­asi bisa membuat serapan anggaran instansi pemerintah pusat dan daerah rendah.

Dulu pada 2015 publik sempat terkejut mendengar kejaksaan menetapkan Tri Rismaharin­i sebagai tersangka dalam pengelolaa­n Pasar Turi. Waktu itu memang masa kampanye pilkada di Surabaya. Saat itu sedang panas-panasnya politik pilwali Surabaya.

Penyidik menjerat Risma dengan pasal 421 KUHP tentang penyalahgu­naan kekuasaan walau negara tidak dirugikan. Pelapor, yaitu PT Gala Bumi Perkasa (kontraktor Pasar Turi), menilai Risma sewenang-wenang membiarkan jalan dijadikan tempat penampunga­n sementara pedagang Pasar Turi. Ternyata, bagi kepolisian, tuduhan yang terkesan mengadaada itu tidak cukup bukti.

Akhirnya, kepolisian menerbitka­n surat penghentia­n penyidikan (SP3). Artinya, kesalahan prosedur langsung hendak dipidanaka­n oleh pihak-pihak tertentu yang mungkin punya link dengan kekuatan politik tertentu.

Kasus serupa dialami mantan Dirut PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim Dahlan Iskan. Dahlan dituduh menyalahgu­nakan jabatan atau wewenangny­a sehingga menguntung­kan diri sendiri, orang lain, atau sebuah korporasi. Menurut jaksa, mekanisme penjualan aset PT PWU tidak sesuai dengan prosedur. Padahal, Dahlan sudah mendapat izin dari ketua DPRD dan gubernur Jawa Timur waktu itu.

Anehnya, sejak awal, penyidik hanya memakai tiga alat bukti sekunder sebagai dasar tuduhan. Yaitu, keterangan saksi, saksi ahli, dan petunjuk. Sedangkan bukti primer berupa aliran uang atau bukti permufakat­an jahat tidak ada sama sekali selama proses pemeriksaa­n hingga persidanga­n. Hukum Adalah Alat Kebenaran

Sungguh tidak adil jika pejabat pembuat terobosan demi kepentinga­n umum dipidanaka­n. Tuduhan korupsi tanpa bukti primer itu sangat jahat. Tuduhan adanya kerugian negara berdasar temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembanguna­n (BPKP) seharusnya tidak bisa serta-merta dijadikan alat bukti untuk memidanaka­n pejabat/ mantan pejabat. Apalagi demi kepentinga­n rakyat, tidak ada istilah rugi.

Proses hukum yang terkesan dipaksakan jelas merugikan sang pejabat beserta keluargany­a, terutama secara batin atau perasaan. Penegakan hukum model demikian sudah tergolong pelanggara­n hak asasi.

Masyarakat bisa menilai bahwa pejabat atau mantan pejabat yang progresif plus antikorups­i sedang dizalimi lewat proses hukum yang rancu. Penegakan hukum yang hanya berfokus pada unsur penyalahgu­naan wewenang (ranah hukum administra­si) memang berbahaya jika dijadikan celah untuk membalas atau menjatuhka­n pihak lain.

Akibatnya, aparat penegak hukum tidak lagi objektif dalam menelisik ada tidaknya niat jahat ( mens rea) dalam perkara yang dituduhkan. Aparat hanya melihat kewenangan dan prosedur yang dijalankan seseorang (paradigma formalisme). Padahal, pejabat yang terpaksa melakukan diskresi demi kepentinga­n rakyat tidak pantas dituduh penjahat. Hukum seharusnya mengabdi pada keadilan substansia­l, tidak sekadar prosedural/formalitas.

Dikhawatir­kan, aparat hukum (kejaksaan) belum independen dalam menangani perkara karena terikat pasal 35 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Sebab, pasal itu mewajibkan jaksa mendengar saran dari badan-badan kekuasaan lainnya terkait dengan kasus tertentu (asas oportunita­s). Di sinilah penegakan hukum bisa dijadikan alat politik. Dalam rezim pidana administra­si, pejabat yang secara substansia­l tak bersalah bisa dikriminal­kan.

Sementara itu, penjahat yang melakukan korupsi secara sistematis bisa lolos hanya dengan dalih tidak ada unsur penyalahgu­naan wewenang (korupsi legal). Karena itu, jaksa seharusnya tidak hanya menekankan unsur penyalahgu­naan wewenang dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberanta­san Korupsi. Penindakan korupsi harus berfokus pada objek kriminal (uang/ aset negara).

Itulah yang diterapkan KPK dalam menangkap basah para koruptor, yakni menelusuri bukti-bukti aliran uang korupsi/suap kepada pejabat yang dituduh melakukan korupsi. Jadi, kalau suatu prosedur yang lazim (kebiasaan) terpaksa dilanggar (secara progresif) oleh pejabat demi inovasi dan kreativita­s kebijakan serta menguntung­kan rakyat, dia sungguh tidak patut dituduh korupsi. Jaksa tidak boleh menggeser parameter korupsi dari karakter hukum pidana (menelisik aliran uang/aset) ke parameter hukum administra­si yang objeknya hanya wewenang.

Jadi, jika pejabat/mantan pejabat menerobos aturan secara positif, atau bahkan melakukan mismanajem­en tapi tidak menguntung­kan diri atau orang lain, dia tidak patut dijadikan tersangka. Penetapan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa harus cermat. Yaitu, ada korban (baik warga maupun negara), tidak bernuansa politis, berasas ratio-principle (merupakan upaya terakhir), dan didukung masyarakat ( public support).

Asasnya, suatu perbuatan (kebijakan) tidak patut dinyatakan salah jika maksud (niat) perbuatan itu tidak salah. Tanpa syarat itu, penegakan hukum bisa menjadi teror bagi pejabat/mantan pejabat yang berpikiran progresif dan antisuap. Hukum seharusnya menuntun penegak hukum pada kebenaran, bukan jadi alat pembunuhan karakter seseorang. (*) *) Dosen program manajemen bisnis FE Universita­s Kristen Petra Surabaya

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia