Ujian Lancar, tapi Soal Sulit
SURABAYA – Ujian nasional berbasis komputer (UNBK) SMK memasuki hari ketiga kemarin (5/4). Para siswa mengerjakan mata ujian bahasa Inggris dengan lancar. Termasuk bagian listening. Meski, tingkat kesulitannya lebih berat daripada ketika mereka mengikuti tryout.
Heryawan Krisna, misalnya. Siswa kelas XII Teknik Gambar Bangunan SMKN 3 tersebut mengatakan, soal-soal yang disajikan dalam ujian membuat dirinya harus berpikir ekstra. Sebab, menurut dia, soal-soal itu memiliki jawaban yang mirip-mirip. ”Kalau tidak paham, bakal salah,” ujarnya.
Ada banyak varian soal yang disajikan. Mulai soal cerita, soal bergambar, struktur kalimat, hingga listening atau mendengarkan. Bagian listening memang membuat siswa khawatir
Dia menampilkan diri sebagai sosok sederhana saat Jawa Pos menemuinya. Ke mana-mana Suratno memakai jaket parasut hitam pudar. Jaket itu menemaninya siang- malam saat menjaga tambak. Sepeda motornya tinggal kerangka. Entah apa mereknya. Yang pasti, dengan motor itu, dia blusukan ke tambak milik warga
Saat itu Senin (3/4). Ratno –panggilan Suratno– datang menghadiri rapat dinas pekerjaan umum bina marga dan pematusan (DPUBMP) yang hendak membuat dermaga dan bronjong sungai afvoer Wonorejo.
Ketika itu, nelayan dan petambak satu suara. Menolak pembangunan. Sebab, nelayan merasa tidak memerlukan dermaga karena perahu diparkir di dekat rumah. Sementara itu, petambak protes jika pembangunan harus mengorbankan ratusan pohon mangrove yang ditanam selama lima tahun belakangan.
Suasana rapat sempat memanas. Pemkot dan warga belum mendapatkan titik temu. Bahkan, agenda rapat yang membahas dermaga melebar. Pihak pemkot justru membahas pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI) yang juga tidak dikehendaki nelayan.
Ratno sejak tadi diam. Dia hanya mendengarkan rapat yang sudah berjalan satu jam lebih tanpa keputusan. Duduknya pun di pojokan. Dia nyaris tidak terlihat di antara peserta rapat. Namun, karena perdebatan tidak kunjung berakhir, dia akhirnya angkat bicara.
Dia beranjak dari duduknya, lalu pindah tempat lebih maju. ” Westalah, jangan melebar. Kalau rapatnya tidak terarah, ya gak mari-mari, ” ujar Ratno lantang. Suasana hening. Tidak lama kemudian, rapat diakhiri. Peserta rapat lalu menuju lokasi proyek.
Material batu sudah menumpuk di samping sungai. Tak jauh dari sana, pohon bakau setinggi 2 meter sudah lebat. Pohon itulah yang ditanam Ratno dan para petambak lima tahun belakangan. Ada rasa tidak rela pohon yang tumbuh subur dengan daundaun lebat tersebut dibabat dan diganti tanggul batu.
Setelah sidak, Ratno menceritakan bagaimana susahnya menjaga kelestarian mangrove Wonorejo. Saat ini, ada 500 ribu lebih pohon mangrove yang ditanam. Selain petambak, banyak donatur yang menyumbang bibit pohon. Ada yang 100 bibit. Tapi, ada yang sampai ratusan ribu bibit. ”Kalau dibabat, yo sakno nelayan dan petani tambak yo. Piye seh? (Bagaimana sih? Red),” ucap pria kelahiran 19 Januari 1973 itu.
Tanpa mangrove, petambak tidak akan bisa memanen bandeng dan udang windu yang jadi andalan saat ini. Sebab, kondisi air sungai sudah mengandung banyak limbah pabrik dan rumah tangga. Sekali rumah pompa dinyalakan, sungai berubah menjadi mesin cuci raksasa. Buih menggenangi muara sungai sepanjang 3 kilometer. Keberadaannya meracuni biota di sungai, laut, dan tambak.
Bila hal tersebut terus terjadi, perlahan-lahan para nelayan ikut mati. Sebab, pendapatan tidak lagi mengucur. Selama ini, para nelayan Wonorejo tidak melaut terlalu jauh. Cukup di pesisir pantai. Incarannya kepiting, ikan belanak, dan lujung. ”Sekarang musimnya kepiting. Kalau enggak ada mangrove, ya enggak ada kepiting. Gampangane lak ngono ta?” timpal Wakil Ketua Kelompok Nelayan Rukun Makmur (KNRM) Wonorejo Mu’minin yang juga teman dekat Ratno.
” Lho sing ngomong dudu aku lho yo. Nek aku sing ngomong, kan dikiro cangkeman tok ( Yang ngomong bukan aku lho ya. Kalau aku yang ngomong, nanti dikira banyak mulut, Red),” sahut Ratno lagi.
Ya, selama ini hubungan nelayan dan petambak sangat erat. Ratno selalu mengontak para nelayan apabila ada kunjungan peneliti atau masyarakat yang ingin menjelajah daerah muara. Dengan begitu, para nelayan mendapatkan penghasilan tambahan. Karena simbiosis mutualisme itu, nelayan dan petam bak merasakan betapa pentingnya kawasan hutan mangrove sebagai tempat mencari nafkah. Karena itu, bagi siapa saja yang ingin merusak mangrove, hadapi dulu nelayan dan petambak.
Namun, musuh perusak bukan hanya manusia. Musuh besar pelestarian mangrove adalah kambing. Pemilik kambing melepas hewan ternaknya di kawasan pertambakan. Pohon-pohon yang sudah tinggi aman dari jangkauan mulut para kambing. Namun, bibit-bibit yang berukuran 1 meter jelas habis diku- nyah kambing. ” Sak batangbatange entek (sampai batangbatangnya habis, Red),” keluh pria empat anak itu.
Ratno lalu membawa Jawa Pos ke masa kejayaan hutan mangrove. Saat itu, Truno Djoyo belum lahir. Kelompok tani menamai dirinya Minadon pada 1980. Ketika itu, tanaman mangrove banyak difungsikan sebagai pembatas tambak dan pelindung dari abrasi ombak. Jumlahnya jauh lebih lebat daripada sekarang. Mangrove tumbuh secara alami. Petambak dan nelayan lebih makmur saat itu.
Kondisi tersebut membuat Minandon bangkit dari tidurnya. Petambak yang merupakan anak dan cucu pendiri Minandon membuat kelompok baru. Kelompok itulah yang sekarang diberi nama Truno Djoyo. Nama tersebut diambil dari sesepuh Wonorejo, Mbah Truno.
Hasil perikanan meningkat pesat dalam lima tahun belakangan. Perbandingannya, saat ini para petambak jarang gagal panen. Sekali panen, mereka bisa mengumpulkan 500 kg bandeng dan 150 kg udang windu. Padahal, saat mangrove rusak, panen yang didapat hanya 5 hingga 15 kilogram.
Ratno menerangkan, selama ini perjuangan melestarikan mangrove jarang mendapatkan bantuan dari pemerintah kota. Banyak yang bertanya kepadanya. Bagaimana dia dan petambak melestarikan kawan mangrove? ”Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Du du du du du,” jawab Ratno menyanyikan lagu Ebiet G. Ade. (salman muhiddin/c6/git)