Sukses setelah Empat Kali Gagal
Berkat alat ciptaan Kustiawan Tri Pursetyo, penghasilan para nelayan kerang di Sedati meningkat drastis. Kualitas kerang pun memenuhi standar untuk diekspor.
KETERLIBATAN Kustiawan di kehidupan nelayan kerang berawal pada 2012. Saat itu Kus –panggilan akrab Kustiawan di kampus– mendapat instruksi langsung dari pimpinan fakultas. Staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga tersebut diminta melakukan pendampingan bersama dengan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. Sasarannya adalah para nelayan kerang di Sidoarjo dan Surabaya.
Namun, kala itu Kus yang mengambil pembidangan agrobisnis tidak begitu mengerti tentang kerang. Barulah ketika melakukan studi banding ke Vietnam pada 2013, Kus mendapatkan ide besarnya. Ide itu ternyata mampu membantu nelayan kerang hingga kini.
Saat di Vietnam, Kus mengunjungi sebuah pabrik besar pengolah kerang. Di sana terdapat sebuah bak besar yang menarik perhatiannya. Pihak pengelola menjelaskan bahwa bak tersebut adalah tempat depurasi. Itu adalah penanganan pascapanen yang bertujuan membersihkan kerang dari bahan beracun yang terdapat di dalam daging dan cangkang.
Hal tersebut membuat Kus berpikir bahwa alat itu pas dengan kasus di Indonesia. Fenomena merebaknya pencemaran logam berat terhadap biota air memang menurunkan kualitas hasil tangkapan nelayan. Selain itu, bisa membahayakan konsumen.
Sepulang dari Vietnam, Kus mencari literatur tentang alat tersebut dan mempelajarinya lebih dalam. Ternyata alat itu bukan hal baru di dunia industri. Oleh pabrik, alat tersebut biasanya digunakan untuk purifikasi (pembersihan). Sayangnya, di pasaran, harganya mahal, lebih dari Rp 25 juta.
Kendati demikian, Kus telanjur ingin mengaplikasikan alat tersebut pada kerang tangkapan nelayan Sedati yang didampinginya. Karena harga alat mahal, Kus memutar otak. Dari sana, penelitiannya pun dimulai.
Awalnya Kus membikin alat modifikasi dengan dana sendiri. Dia mempelajari sistem dasar kerja alat tersebut. Kus berkreasi untuk membuat alat itu sehemat-hematnya. Maklum, aplikasinya hanya untuk skala kecil. Tak jarang, Kus mendapat sokongan dana dari LSM yang menggandengnya untuk pendampingan nelayan. Namun, Kus mengalami kegagalan lebih dari empat kali. Yang tersulit adalah membuat sirkulasi air terus bergerak. Pilihan pompa air menjadi tahapan paling susah.
Kus mengungkapkan, proses memutar air membutuhkan pompa. Sayangnya, jika harus berdaya tinggi, biaya akan membengkak. Alhasil, Kus menggunakan pompa akuarium. Itu pun harus dipancing dulu setiap hendak difungsikan.
Selain itu, demi menekan biaya, Kus memodifikasi bak yang digunakan. Isengiseng mencari di internet, Kus mendapatkan bak yang tak mahal, tapi sesuai dengan kebutuhan. Kapasitasnya bisa mencapai 500 liter. Namun, dia harus memolesnya agar terlihat lebih bagus. Tidak lupa, Kus menambahkan sinar ultraviolet (UV). Tujuannya, mematikan mikroorganisme dan memenuhi standar baku mutu untuk ekspor.
Akhirnya, pada 2015 Kus berhasil membuat prototipe pertamanya. Dia menyerahkannya kepada nelayan kerang di Sedati. Bak depurasi hasil modifikasi Kus itu hanya menghabiskan biaya Rp 2,5 juta. Bak tersebut bisa menampung 40 kilogram kerang.
Awalnya tidak banyak yang merespons positif alat buatan Kus. Mereka yang terbiasa menangkap kerang lantas menjualnya ke pengepul merasa ribet jika harus mengolah tangkapannya lebih dahulu. Apalagi, butuh setidaknya 44 jam untuk meletakkan kerang dalam bak depurasi.
Namun, dengan penuh kesabaran, pria kelahiran 6 November 1983 tersebut terus melakukan sosialisasi. Setahun berselang, akhirnya upaya Kus membuahkan hasil. Nelayan mulai mau menggunakan alat tersebut. Bahkan, setelah memanfaatkan alat itu, nelayan bisa memenuhi pesanan dari perusahaan pengekspor kerang. Penghasilan nelayan yang semula Rp 2–3 ribu per kg naik menjadi Rp 15 ribu.( kik/c7/oni)