Jawa Pos

Dikira Hilang, Pernah Bikin Geger Kampung

Alimin lahir, besar, dan tinggal di lingkungan kampung nelayan. Yakni, di kawasan Gisik Cemandi. Sudah 14 tahun menjadi ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Sidoarjo. Apa yang menjadi impian dan harapan pada Hari Nelayan yang diperingat­i setiap

-

” PERMISI Pak, ini lho kepengin lihat-lihat perahu,” ucap Alimin menyapa sejumlah nelayan saat jalan-jalan menengok puluhan perahu yang sedang bersandar di Sungai Gisik Cemandi kemarin (5/4).

Pada waktu senggangny­a, Alimin memang terbiasa jalan kaki dari rumahnya di Dusun Gebang Kelopo RT 9, RW 3, Desa Gisik Cemandi, menuju deretan perahu yang bersandar di Sungai Gisik Cemandi. Jaraknya hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.

Tidak sekadar jalan-jalan atau mengobrol dengan nelayan yang baru datang dari melaut. Bagi Alimin, mendengar cerita-cerita dari nelayan cukup melegakan batinnya. Apalagi, jika dia bisa menjadi tempat curhat nelayan. Ada kepuasan tersendiri.

”Beberapa hari ini nelayan sambat sulit dapat ikan. Musimnya sulit ikan. Banyak yang memilih menangkap kerang,” ujar Alimin sambil dudukduduk di salah satu perahu.

Sulitnya mendapat ikan, menurut Alimin, sejatinya bukan masalah besar. Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan para nelayan. Sebut saja, menangkap kerang atau melaut dengan waktu yang lebih lama. ”Itu tidak seberapa. Banyak masalah lebih besar yang pernah dihadapi nelayan,” ujarnya.

Pada 2003, saat dirinya pertama menjabat ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sidoarjo, masalah yang dihadapi nelayan Sidoarjo cukup serius. Nelayan Sidoarjo pernah sampai ditawan nelayan dari Bangkalan. Alasannya, nelayan melanggar batas. ”Ada miskomunik­asi saat itu. Dipikirnya nelayan Sidoarjo hanya boleh melaut di Sidoarjo dan nelayan Bangkalan hanya boleh melaut di Bangkalan,” ungkapnya.

Saking emosinya, lanjut dia, perahu nelayan asal Sidoarjo yang tertangkap dibakar. Alasannya, biar tidak mengulangi lagi. Padahal, seharusnya tidak seperti itu. Siapa pun boleh melaut di mana saja, asal selalu mengindahk­an peraturan

”Saya sendiri dengan rekan nelayan dan anggota HNSI berangkat ke Bangkalan untuk mediasi, menjelaska­n semua hanya kesalahpah­aman,” ujar pria kelahiran Sidoarjo, 31 Desember 1967, itu.

Meski hanya salah paham, penangkapa­n nelayan Sidoarjo itu membuat keluarga dan rekan-rekan nelayan sangat khawatir. Bahkan, bisa menyulut konflik horizontal. Nah, salah satu tugas Alimin adalah ikut meredam. Ternyata, setelah dievaluasi, konflik saat itu disebabkan nelayan antardaera­h belum saling mengenal. ”Saat itu, langsung kami ajak seluruh nelayan untuk kenalan dengan nelayan di Bangkalan. Kami adakan forum bersama biar meminimalk­an konflik,” ujar bapak tiga anak tersebut.

Setelah berjalan cukup tenang, cerita Alimin, terjadi lagi kesalahpah­aman. Saat itu, pada 2006, nelayan Bangkalan terlibat konflik dengan nelayan asal Pasuruan. Lantaran banyak perahu nelayan di Sidoarjo yang dibeli dari Pasuruan, nelayan Sidoarjo ikut menjadi sasaran. Beberapa kali nelayan Sidoarjo ditangkap karena dipikir nelayan dari Pasuruan.

”Kami bersama nelayan akhirnya mediasi lagi. Sejak saat itu, seluruh perahu nelayan Sidoarjo harus memiliki lambang Kabupaten Sidoarjo. Jadi, kami bareng-bareng mengecat lambang itu. Yakni, ada gambar udang dan bandeng,” terang suami Ulya Ulfa tersebut.

Masalah satu kelar, eh datang lagi masalah lain. Masih terjadi pada 2006, beberapa nelayan Sidoarjo harus berurusan dengan nelayan dari daerah lain. Penyebabny­a, ada yang melanggar kesepakata­n. Yakni, menggunaka­n alat tangkap aktif pada zona yang dilarang. ”Zona 0 sampai 4 mil dari daratan itu, nelayan harus menggunaka­n alat tangkap pasif. Nah, ternyata saat itu ada nelayan Sidoarjo yang melanggar. Mereka menggunaka­n alat tangkap tradisiona­l, tapi aktif,” ucap Alimin.

Alat tangkap pasif itu adalah alat tangkap ikan yang diam. Maksudnya, alat dibiarkan tidak bergerak. Hanya menunggu ikan atau hewan lainnya menghampir­i alat tangkap tersebut. Misalnya, bubu, jaring rajungan, atau jaring udang. Alat tangkap aktif kebalikann­ya. Misalnya, porsine atau pukat cincin. Alat itu harus digunakan pada zona lebih dari 4 mil dari daratan.

Mediasi pun kembali dilakukan. Bersama nelayan Sidoarjo lain, mereka yang tertangkap wajib membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi­nya. ”Hampir setiap tahun itu ada saja yang ditangkap. Kami bantu dengan mediasi,” ujarnya.

Hingga kini, Alimin masih kerap menerima aduan nelayan di Sidoarjo. Masalahnya tidak jauh berbeda. ” Ya, seperti ada yang melapor bahwa ada nelayan dari daerah lain yang menggunaka­n alat tangkap aktif di zona yang dilarang,” katanya.

Ada pula yang melapor adanya nelayan daerah lain yang melaut di Sidoarjo dengan menggunaka­n alat tangkap yang dilarang seperti dengan setrum, bahkan bondet atau bom ikan.

Para nelayan khawatir. Selain merusak lingkungan, banyak ikan kecil yang mati. Nelayan juga takut sewaktu-waktu bondet tersebut dilempar kepada nelayan lain yang dikira musuhnya. Sebab, pada 2003, dua perahu nelayan Sidoarjo pernah dilempari bondet oleh nelayan dari daerah lain. ”Dipikir itu lawannya, jadi dilempar ke perahu. Sampai sekarang masalah semacam itu jadi perhatian kami,” ucap Alimin.

Memang, menurut Alimin, banyak tantangan yang dihadapi nelayan saat melaut. Selain ombak dan dinginnya laut, adanya nelayan lain yang tidak bertanggun­g jawab menjadi ancaman.

Alimin melanjutka­n ceritanya. Ingatannya kembali jauh ke belakang. Saat masih aktif menjadi nelayan dulu, dia mempunyai pengalaman menarik. Bahkan, bikin warga sekampungn­ya deg-degan. Pengalaman itulah yang mungkin dialami sebagian besar keluarga nelayan. Pada 1998, Alimin tidak kunjung pulang dari melaut. Padahal, biasanya Alimin berangkat subuh dan pulang sekitar pukul 14.00. Namun, ketika itu, hingga menjelang magrib Alimin tidak kunjung pulang. ”Saya bersama dua orang anak buah kapal (ABK) saya,” ujarnya.

Karena tak kunjung pulang itu, nelayan dan sejumlah warga di desanya memutuskan untuk mencari Alimin ke laut. Yang ada di pikiran warga saat itu, Alimin diculik nelayan dari daerah lain. ”Banyak perahu saat itu yang mencari saya,” katanya.

Saat dicari-cari, Alimin bersama dua ABK terlihat sedang sibuk di perahunya. Yakni, sedang memperbaik­i jaring ikan. Senar di jaring mereka nyangkut. ”Bikin gempar saat itu, tapi ternyata melegakan karena kami tidak apa-apa,” ujarnya.

Kekeluarga­an di kalangan nelayan itu sangat erat. Sejak saat itu pula, Alimin berprinsip, selama masih mampu, tenaga dan pikirannya akan didedikasi­kan untuk masyarakat nelayan. Mulai mendengark­an keluh kesah, membantu saat kesusahan, hingga mencarikan solusi sekaligus membantu mediasi saat ada nelayan di Sidoarjo yang terkena masalah.

Alimin juga bekerja sama dengan Ditpolair Polda Jatim. Misinya ikut memberikan penyuluhan kepada nelayan untuk menangkal paham radikalism­e dan anti Pancasila. ”Sudah empat kali di Sidoarjo,” ujarnya. Kegiatan itu biasanya diadakan dalam program Cakpokyan (Cangkrukan dengan Kelompok Nelayan). ”Forum itu membahas apa saja yang dirasakan dan dialami nelayan. Sekaligus sharing,” katanya.

Sebagai ketua HNSI Sidoarjo, Alimin tertuntut untuk terus selalu dekat dengan nelayan. Karena itu, Alimin rutin mengunjung­i satu per satu rukun nelayan yang ada di Sidoarjo. Total ada 11 rukun nelayan yang tersebar di Kecamatan Waru, Sedati, Buduran, Sidoarjo, Candi, dan Tanggulang­in.

”Itu jadi komitmen saya. Apalagi sejak 2003, saya diamanahi menjadi ketua. Tahun 2008 terpilih lagi, bahkan pada 2013 saat musyawarah cabang, saya terpilih lagi jadi ketua. Entah sampai kapan, padahal usia sudah tidak lagi muda,” ujarnya. (*/c6/hud)

 ?? FIRMA ZUHDI/JAWA POS ??
FIRMA ZUHDI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia