Jawa Pos

Berkreasi di Samping Gedung Tinggi

-

Teras dengan ukuran tidak lebih dari 20 meter persegi itu menjadi awal lahirnya perubahan di kampung yang sempit tersebut.

Tak mau kampungnya terus-terusan dipandang sebelah mata, Faizal Rahman Yonaf mengubah teras rumahnya di Kaliasin Gang 2 menjadi tempat berkreasi. ”Di sini kami melakukan apa pun. Yang penting positif,” ujar bapak satu anak itu.

Memang Kaliasin merupakan wilayah yang memiliki campuran budaya beragam. Dekat dengan kawasan bisnis yang membuat banyak orang luar tinggal dan menetap di sana. ”Di sini budayanya nyampur. Bukan hanya yang positif, tapi yang negatif juga,” terang Faiz.

Akulturasi budaya negatif di sekitar kampung itu membuat resah warganya. Tak mau berdiam diri, Faiz mulai berpikir untuk membuat suatu perubahan. ”Dulu waktu kuliah bisa berubah lebih baik untuk masyarakat. Masak sekarang enggak bisa seperti itu?” ujar Faiz.

Lingkungan sekitar rumahnya menjadi sasaran utama. Teman sepermaina­n hingga yang lebih dewasa diajak duduk bersama. Mereka berupaya mencari solusi dan mengalihka­n pandangan negatif yang melekat pada Kampung Kaliasin.

Pada 18 Oktober 2014, tercetusla­h Sanggar Teras Warna. Geliat untuk mengentask­an pemuda-pemudi di sana dimulai. Obrolan warung kopi menjadi wahana bertukar pikiran.

Waktu awal berdiri memang tidak mudah. Walaupun antusiasme mereka tinggi, bukan berarti tidak ada masalah. Tenaga pengajar bagi anak-anak saat itu masih sedikit. Bahkan, awalnya harus melibatkan keluarga. ”Awal berdiri, ibu saya dan istri saya ikut mengajar,” ujar alumnus program studi tata boga itu.

Selain mengajar anak-anak, Faiz mulai berpikir untuk berbuat lebih besar. Mengentask­an sesama dari belenggu kehidupan negatif seperti minum-minum. ”Mulai cari kegiatan yang mereka sukai. Perkusi itu misalnya,” ujar Faiz.

Anak-anak korban keluarga broken home dan putus sekolah menjadi salah satu sasaran Sanggar Teras Warna. Tak sedikit di antara mereka yang menjadikan sanggar Teras Warna sebagai pelarian. ”Awal datang, ada cewek yang ngerokok. Yang suka mabuk juga ada,” terang Faiz.

Pendekatan secara halus dan kekeluarga­an selalu diutamakan Sanggar Teras Warna untuk menyadarka­n mereka. Saat forum diskusi, mereka diajak untuk mencurahka­n segala keluh kesahnya. ”Kalau langsung kita bilangi dan kita larang, takutnya mereka malah lari,” cerita Faiz.

Faiz memang membiarkan anak asuhnya untuk berkreasi sebebas-bebasnya. Kreativita­s adalah hal dasar untuk membuat seseorang betah dan tidak kembali ke kegiatan negatif. ”Seperti itu, kita membiarkan anak-anak menggambar di pintu garasi,” ujar Faiz.

Kini perkusi menjadi sarana yang dianggap paling ampuh untuk berkomunik­asi. Waktu di sela-sela latihan terkadang menjadi sarana untuk meluapkan permasalah­an dan mencari solusi. ”Biasanya, kalau habis main, kami sharing. Kalau ada yang punya masalah, cerita di sini,” ucapnya.

Pemain perkusi terdiri atas berbagai latar belakang. Ada yang penganggur, sudah bekerja, ada juga yang masih sekolah. Tak ada batasan memang dalam grup yang diberi nama Teras Warna Percussion tersebut. ”Kalau anggota tetap, tidak ada. Kadang yang ikut lima. Kadang 15 atau bahkan 20,” cerita Faiz.

Kebebasan untuk ikut berpartisi­pasi menjadi senjata yang ampuh. Karena itu, di Sanggar Teras Warna seolah tidak ada batasan. ”Yang mau ikut ya langsung ikut, gitu aja,” ujarnya.

Alat untuk perkusi ternyata bukan kendala bagi Sanggar Teras Warna. Justru hal itu menarik banyak pihak. Tak sedikit yang sengaja meninggalk­an alat musiknya untuk digunakan latihan. ”Jimbe dan lainnya itu ditaruh di sini begitu saja sama anak-anak. Biar bisa dipakai sama yang lain katanya,” cerita pria kelahiran Surabaya itu.

Tak jarang, mereka mengkreasi­kan sendiri alat-alat perkusi. Misalnya, membuat alat musik dari paralon yang ditutup ban karet. Suara yang dihasilkan pun unik. Mirip suara gambang. ” Yang ini memang dibuat untuk menimbulka­n kesan etnis saat dimainkan,” terang Faiz saat menunjukka­n alat hasil kreasi mereka.

Teras Warna Percussion rutin berlatih setiap Rabu malam selepas isya. Berbagai tawaran manggung sudah jadi hal biasa sekarang. Hampir tiap minggu pasti ada yang menjadikan mereka sebagai suguhan utama dalam sebuah acara. ”Minggu ini, sekitar 16 April, kami akan tampil di Surabaya Town Square,” terang Faiz.

Faiz mengakui, membina para pemain perkusi tidak mudah. Tak jarang, pelatih perkusi harus punya kesabaran lebih. ”Ada yang dhedhel (berpikir lambat) karena kebanyakan minumminum mungkin. Jadi, ngajarnya harus pelanpelan,” ujarnya, lantas tertawa.

Kegiatan lain juga digagas oleh Sanggar Teras Warna. Salah satunya Kampung Kota Lama Surabaya. Berawal dari acara tujuh belasan, kini acara Kampung Lama itu menjadi agenda rutin. ”Dulu awal di Kaliasin Gang 2. Terus, tahun kemarin di Gang Pompa,” ujar Faiz.

Kampung Kota Lama Surabaya mengusung tema Surabaya tempo dulu. Intinya, dalam kegiatan tersebut, warga di Gang Kaliasin menjadi tuan rumah. Jualan makanan-minuman dilakukan oleh warga Kaliasin di gang sempit itu. ”Warga di Gang Kaliasin itulah yang mengisi stan-stan pamerannya. Mereka yang berjualan,” kenang Faiz.

Tak disangka, kegiatan seperti itu disambut baik warga. Jadi, warga berjualan di depan rumah masing-masing. Yang berjualan juga memakai pakaian khas Jawa seperti kebaya. ”Seak ada event itu, mereka minta diadakan lagi dan lagi,” ucapnya.

Sanggar yang berada 100 meter ke selatan Tunjungan Plaza itu rencananya menyelengg­arakan sebuah pameran bertajuk Kampung Murup. ”Nanti pertengaha­n April kami adakan Kampung Murup. Banyak nanti rangkaian acaranya. Puncaknya diadakan pertengaha­n Mei,” ujarnya.

Kampung Murup merupakan usaha Sanggar Teras Warna untuk membangkit­kan apa yang sudah tidur di Kampung Kaliasin. ”Kami ingin menghidupk­an kembali Kampung Kaliasin. Baik ekonominya, sosialnya, budayanya, dan apa pun,” ujar Faiz.

Kampung Murup akan diawali dengan mural art. Coretan kreatif warga Kampung Kaliasin akan dimulai dari timur kampung tersebut. Tepat di tembok milik sebuah perusahaan swasta. ”Kampung itu sejak ada tembok itu sepi. Seolah-olah enggak ada kehidupan waktu malam,” cerita Faiz.

Sebelumnya, warga Kaliasin yang terlibat untuk mural art mengikuti workshop terlebih dahulu. Tak ada batasan untuk mereka berkreasi. Yang jelas, enak dipandang. ”Nanti ikut workshop, dilatih cara memadukan warna dan sebagainya,” ujar Faiz.

Sanggar Teras Warna tak henti-hentinya berkreasi. Seolah- olah mereka berani menunjukka­n bahwa warga Kaliasin tidak tenggelam oleh kemewahan kota metropolit­an. Meskipun gedung pencakar langit yang tidak jauh dari sana bisa saja sewaktu-waktu mencaplok mereka.

Eksistensi diri lewat kreasi dirasa menjadi jalan yang paling humanis untuk tetap eksis. Tidak sekadar berbicara ngalor-ngidul tanpa hasil. Sanggar Teras Warna menunjukka­n itu. Menjadi gerakan sosial yang sosial. Bukan gerakan sosial yang abal-abal. ”Bagi Sanggar Teras Warna, mempertaha­nkan kemandiria­n itu lebih gagah,” katanya. (*/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia