Antisipasi Ledakan Depresi yang Mendunia
Memperingati Hari Kesehatan Sedunia 7 April 2017
’’MAKIN sumpek’’. Begitulah yang kerap dikatakan orang akhir-akhir ini. Di Indonesia? Tentu saja iya, tidak terkecuali. Segala aspek tersodor dalam kehidupan dengan paket menu lengkap: tekanan sosial-budaya dan ekonomi, perubahan gaya hidup, ketidakpastian, serta perubahan perilaku individu dan masyarakat. Dan… suhu politik! Bikin tambah gerah luar biasa.
Masih ada sederet lagi indikator ketidakberesan kondisi kesehatan mental di masyarakat. Sebagian besar ada kaitan dengan merebaknya depresi, bukan pada individu-individu semata, namun sudah merupakan cerminan masyarakat yang depresif. Bersifat kolektif.
Tidak enaknya, depresi berkawan erat dengan perilaku bunuh diri. Memang agak mengherankan bila kita sampai saat ini masih kurang waspada bahwa inilah bencana di depan mata, sedangkan hampir seluruh dunia sudah berancang-ancang mengantisipasinya sejak lima belas tahun terakhir.
Amat tepat bila World Health Organization (WHO) memperingati tahun 2017 ini dengan kampanye besar tentang ’’Depresi, Ayo Bicara’’ ( depression, let’s talk ). Sudah diduga sejak dini, ledakan depresi akan terjadi di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negeri yang diberi catatan merah oleh WHO dan Bank Dunia sejak awal 2000-an bahwa hal itu diprediksi terjadi. Bukan masalah sepele. Sebab, dampak depresi bukan main berat bagi kemajuan bangsa, bukan sekadar individu semata. Kualitas hidup jelas akan merosot.
Bahkan, juga berdampak pada peradaban. Depresi menjadi pionir empat besar beban kesakitan dunia yang diprediksi menjadi ledakan hebat pada 2020 dan 2030. Berkejaran dengan penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung dan hipertensi) untuk mencapai puncak beban penderitaan umat manusia.
Bukan Kelemahan Mental Banyak yang tidak menduga bahwa angka prevalensi depresi sekitar 20 persen dari populasi. Cukup besar. Sepanjang hidup, setidaknya kita pernah menderita satu kali depresi, seperti halnya hampir semua orang pernah menderita ’’sakit flu’’ ( common cold).
Perempuan berpotensi 2–3 kali menderita depresi jika dibandingkan dengan laki-laki. Ada betulnya karena perempuan selama masa produktifnya dikendalikan oleh faktor hormonal yang naik turun. Ada masa-masa rentan lantaran kadar hormon estrogennya anjlok. Hal tersebut ditengarai sebagai faktor depresoge- nik. Faktor biologis itu ditambah posisi perempuan secara sosial-budaya yang tidak menguntungkan.
Namun, beberapa menduga, angka laki-laki lebih rendah karena mereka tidak suka mengekspresikan keluhan perasaan emosionalnya jika dibandingkan dengan perempuan. Menunjukkan perasaan mereka, kurang bisa diterima lelaki karena menyalahi stereotipe laki-laki ideal yang tegar sehingga mereka cenderung menyangkal dan kurang suka meminta bantuan profesional.
Sampai kemudian, ketika depresi tersebut sudah tak tertanggungkan, mereka terkadang membiarkan kualitas hidupnya ambruk. Karena itu, angka kematian akibat bunuh diri pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Padahal, sesungguhnya laki-laki juga manusia, yang tidak hanya terdiri atas rasio atau kognitif, tapi juga perasaan serta perilaku.
Dampak di Masyarakat Depresi jelas akan mengganggu kualitas hidup individu. Masyarakat luas juga terkena dampaknya. Angka bunuh diri yang menandai salah satu gejala depresi yang tak tertangani secara tuntas diduga keras sebagai salah satu faktor pemicu meningkatnya angka terorisme. Namun, dalam keseharian yang dekat dengan kehidupan kita, kita sering melupakan bahwa banyak sektor yang harus dikendalikan pembuat kebijakan publik agar masyarakat aman dan tenteram.
Kita masih ingat peristiwa jatuhnya pesawat Airbus pada Maret 2015 di pegunungan Alpen antara Jerman– Swiss. Sebanyak 144 penumpang dan 5 awak pesawat tewas. Ternyata, setelah melalui investigasi panjang, kopilot pesawat yang berusia 27 tahun sengaja menabrakkan pesawat ke gunung setelah mengunci kabin pesawat ketika pilot sedang ke toilet. Sebelumnya, ada catatan medis bahwa beberapa tahun sebelumnya kopilot itu menderita depresi dan sudah beberapa kali ingin bunuh diri serta ada perilaku membahayakan diri.
Bagaimana di Indonesia? Tentu lebih banyak cerita seperti itu. Juga dalam sisi ragam kehidupan yang lain.
Ketidakpastian dan perasaan ’’kehilangan sesuatu’’ (harapan dan kepastian masa depan) dituding sebagai akar limbungnya keseimbangan. Berbagai keresahan baru muncul atau bahkan sengaja ada yang menciptakan. Seakan-akan, peradaban manusia yang sudah cukup baik ini menjadi berjalan di tempat atau bahkan mundur. Mungkinkah budaya introspeksi yang kian hilang akan menjauhkan masyarakat yang tenang dan berani menghadapi tantangan?
Bila keputusasaan yang membuncah ( overwhelming hopelessness) tidak tertangani dengan baik, ketidakberdayaan akan berganti dengan putus harapan. Betapa perlunya menurunkan ekspektasi sampai mendekati kenyataan. Depresi adalah urusan kesehatan mental yang tak terpisahkan dari kesehatan fisik dan sosial. Merupakan tanggung jawab semua pihak.
Meningkatkan kohesi sosial, meningkatkan praktik kesehatan berbasis komunitas, kampanye kesehatan holistik secara serentak –termasuk media massa– yang bertujuan untuk populasi umum dan pesan khusus yang lebih personal-individual mesti mulai digaungkan. Salah satunya: ’’ Ayooo... kita berbincang-bincang seperti komunitas lokal kita dulu.’’ ’’Omong-omongan, yuuuk...’’ Kontak sahabat dan keluarga kita! (*) *Psikiater di RSUD dr Soetomo-FK Unair