Eropa yang (Tidak) Kita Kenal D
IBUTUHKAN tiga putaran pemilihan sebelum akhirnya tokoh ultranasionalis Norbert Hoffer dinyatakan kalah oleh Alexander van der Bellen dalam pemilihan presiden Austria Desember tahun lalu. Beda raihan suaranya pun tipis saja: 46 persen berbanding 54 persen.
Di Belanda, Geert Wilders, tokoh anti-Islam dan anti-Uni Eropa itu, juga kalah oleh incumbent Perdana Menteri Mark Rutte. Tapi, perlu dicatat, raihan kursi Partai untuk Kebebasan yang dipimpin Wilders naik. Sebaliknya, Partai untuk Kebebasan dan Demokrasi pimpinan Rutte justru turun.
Dan, di Prancis, Marine Le Pen, nakhoda partai sayap kanan Front Nasional, menjadi salah seorang kandidat kuat calon presiden. Tema kampanyenya, Anda tahu, berusaha membawa Prancis mengikuti jejak Inggris keluar dari Uni Eropa.
Hoffer, Wilders, Le Pen: mereka cuma sebagian dari apa yang oleh Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker sebut sebagai ”populisme sayap kanan” yang tengah menggejala di Eropa. Sebuah fenomena yang dengan keras berusaha membuat negara masing-masing menjadi wilayah tertutup bagi para liyan.
Seperti Donald Trump di Amerika Serikat, mereka menjalankan agenda politik dengan menyebar kebencian kepada segala yang tampak beda. Baik beda karena warna kulit, etnisitas, agama, maupun tingkat kemakmuran.
Di hadapan konservatisme purba itu, layaklah kita bertanya: Apa yang terjadi dengan Eropa yang kita kenal selama ini? Eropa yang, dalam bahasa mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, ”rumah bagi tiap orang”.
Terlalu menyederhanakan kalau apa yang terjadi di Eropa kini semata dampak dari kemenangan Trump di Amerika Serikat. Trump hanyalah ”penyemangat”, bukan ”pemicu”.
Sebab, partai-partai seperti Partai Kebebasan di Austria dan Belanda serta Front Nasional di Prancis telah jauh lebih dulu memulainya ketimbang kampanye kebencian ala Trump.
Yang dilakukan partai-partai kanan dan tokoh masing-masing itu sejatinya hanya mengakumulasikan kegagalan para pemimpin liberal sebelum mereka. Ketika ekonomi memburuk, ketika serangan teroris gagal diantisipasi, ketika bergabung dengan organisasi internasional tak membawa dampak nyata, mereka menjadikan semua itu sebagai senjata untuk mengambinghitamkan kelompok tertentu. Itu diperparah buruknya komunikasi antara, katakanlah, pihak Barat dan Timur.
Karena itu, menambah wawasan, mempererat dialog, entah antarnegara, antarkomunitas, atau antariman, sangat perlu dilakukan. Baik yang diorganisasi pemerintah maupun masyarakat. Agar tak cuma Eropa yang bisa jadi rumah bagi siapa saja. Tapi, juga segala penjuru di dunia ini. (*)