Harga Komoditas Pacu Konsumsi dan Ekspor
ADB Memproyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,1 Persen
JAKARTA – Sejumlah lembaga keuangan internasional masih cukup optimistis dengan kinerja perekonomian Indonesia. Baru-baru ini Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa mencapai 5,2 persen. Kemarin (6/4) Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan negeri dengan kue ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu bisa tumbuh 5,1 persen. Pulihnya harga komoditas menjadi pemanas mesin ekonomi tahun ini.
Proyeksi ADB tersebut segaris dengan target pemerintah dalam APBN 2017. Kepala perwakilan ADB di Indonesia Winfried Wicklein menguraikan, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 mayoritas didukung peningkatan investasi swasta dan ekspor. Selain itu, belanja infrastruktur publik yang semakin tinggi ikut menopang tumbuhnya ekonomi tahun ini. Dia menguraikan, investasi dan perdagangan Indonesia akan kembali membaik tahun ini dan 2018.
”Indonesia akan mendapatkan momentum lebih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi, untuk mencapai jalur pertumbuhan yang berkelanjutan ke depannya, juga diperlukan upaya berkesinambungan untuk terus memperbaiki infrastruktur, memperdalam reformasi struktural, dan mengatasi kesenjangan keahlian,” beber Winfried di kantor ADB, Jakarta, kemarin.
ADB juga memperkirakan pengeluaran rumah tangga meningkat. Hal tersebut terbantu oleh pulihnya harga komoditas, perluasan program dana desa, dan peningkatan upah minimum. Selain itu, belanja infrastruktur publik diperkirakan meningkat pada 2017, selaras dengan alokasi anggaran pemerintah.
Tidak hanya itu, Winfried melanjutkan, investasi swasta juga diperkirakan naik karena bertambahnya pendapatan dari ekspor komoditas. Hal tersebut merupakan dampak dari reformasi struktural baru-baru ini yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan regulasi serta membuka sektor-sektor baru bagi investor asing.
Kemudian, Winfried menuturkan, dengan membaiknya harga komoditas internasional, seperti batu bara dan minyak bumi, prospek ekspor Indonesia diperkirakan meningkat. Sementara itu, dengan adanya peningkatan permintaan domestik, impor juga diperkirakan tumbuh meski dengan laju yang lebih lambat. Perbedaan tersebut diperkirakan secara bertahap dapat membantu menurunkan defisit transaksi berjalan. ”Defisit transaksi berjalan menurun dari 1,8 persen menjadi 1,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun ini,” katanya.
Meski begitu, pihaknya juga melihat masih adanya risiko yang membayangi ekonomi Indonesia. Risiko tersebut adalah kemungkinan melambatnya pelaksanaan reformasi kebijakan dan kurangnya pendapatan fiskal. Selain itu, pihaknya mengidentifikasi risiko eksternal yang berasal dari ketidakpastian atas kebijakan perdagangan di negara-negara maju dan pemulihan ekonomi yang lebih lemah daripada perkiraan di sejumlah mitra perdagangan utama.
Winfried juga mengidentifikasi kesenjangan keahlian sebagai hambatan besar bagi Indonesia dalam merealisasikan potensi pertumbuhannya. (ken/c6/sof)