Hasil Otopsi Konfirmasikan Jejak Senjata Kimia
DK PBB Tunda Voting Revolusi untuk Syria
DAMASKUS – Korban serangan gas beracun di Kota Khan Sheikhun, Provinsi Idlib, terus bertambah. Kemarin (6/4) jumlah korban tewas naik dari 58 menjadi sedikitnya 85 orang, termasuk tiga warga sipil yang mengembuskan napas terakhirnya saat menjalani perawatan medis di Turki. Angka itu diperoleh berdasar catatan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR). Kelompok oposisi mengklaim jumlah korban menembus angka ratusan.
Pada Selasa (4/4), 32 korban serangan gas yang diduga kuat berjenis sarin itu dilarikan ke Turki. Sebagian korban memang dibawa ke negara tetangga Syria yang berjarak sekitar tujuh jam perjalanan darat dari Idlib karena rumah sakit-rumah sakit di provinsi dekat perbatasan dua negara tersebut kewalahan.
Di Turki, tiga di antara 32 korban akhirnya meninggal. Mengenai dugaan penggunaan senjata kimia dalam serangan tersebut, Turki pun lantas mengotopsi jasad tiga warga Khan Sheikhun itu. ”Hasil otopsi mengonfirmasikan dugaan kami bahwa nyawa korban melayang karena senjata kimia,” terang Menteri Kehakiman Bekir Bozdag sebagaimana dilansir kantor berita Anadolu.
Bozdag menyatakan, hasil otopsi tersebut bisa menjadi bukti penggunaan senjata kimia oleh rezim Presiden Bashar Al Assad. Padahal, pemakaian senjata kimia dalam pertempuran jelas-jelas melanggar hukum internasional. Khususnya, Chemical Weapons Convention atau CWC. Syria pun ikut meneken kesepakatan antisenjata kimia itu pada 2013.
Senada dengan Turki, Badan Kesehatan Dunia PBB alias World Health Organization (WHO) pun yakin bahwa penyebab kematian sedikitnya 85 orang setelah serangan di Khan Sheikhun tersebut adalah senjata kimia. ”Mereka yang selamat menunjukkan tanda-tanda keracunan gas kimia yang mengandung zat pelemah saraf,” tulis WHO dalam keterangannya kemarin.
Syrian American Medical Society (SAMS) yang mengelola sejumlah rumah sakit di Idlib melaporkan, seluruh korban serangan maut di Khan Sheikhun menunjukkan ciri-ciri keracunan gas kimia. Di antaranya, mulut berbusa, kejangkejang, dan sulit bernapas.
”Itu semua tanda keracunan senyawa organophosphorus,” terang salah seorang dokter SAMS yang ikut terjun langsung menangani pasien.
Meski tuduhan mengarah pada rezimnya, Assad tetap memilih diam. Sejauh ini Damaskus juga tidak mengomentari serangan gas kimia yang sebagian besar korbannya adalah warga sipil tersebut. Justru Kremlin-lah yang sibuk membela sekutunya itu. Moskow menyalahkan oposisi dalam serangan yang menuai kutuk dunia tersebut.
Merasa tidak salah, Damaskus melanjutkan aksi udaranya di Idlib. Kemarin pasukan pro-Assad menggempur Kota Salqin yang juga menjadi salah satu kantong oposisi. ”Serangan udara di Salqin menewaskan 27 warga sipil. Sebanyak 13 di antaranya adalah anak-anak,” terang SOHR.
Rabu waktu setempat (5/4), Dewan Keamanan (DK) PBB mengadakan sidang darurat sesuai jadwal. Tapi, pertemuan yang digagas Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) tersebut gagal membuahkan resolusi. Sebab, menjelang pemungutan suara, Rusia menggunakan hak vetonya. Pemerintahan Presiden Vladimir Putin menganggap draf resolusi itu terlalu anti-Syria.
Sebelumnya, Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut serangan itu sebagai indikasi kuat terjadinya kejahatan perang di Syria. Pelakunya pun sudah jelas Assad. Kemarin PBB mengumumkan rencana untuk menginvestigasi serangan gas beracun di Khan Sheikhun tersebut sebagai kejahatan perang.
Presiden Donald Trump yang sejak menjabat tidak pernah mengecam Assad mulai berubah pikiran. Rabu lalu dia menyebut serangan gas maut di Khan Sheikhun tersebut sebagai tindakan biadab. Kematian sedikitnya 25 anak-anak dalam serangan itu membuat taipan 70 tahun tersebut ikut-ikutan mengecam Assad. ”Tindakan biadab rezim Assad itu tak bisa ditoleransi,” tandasnya.
Di hadapan Raja Abdullah dari Jordania yang kebetulan sedang berkunjung, Trump berjanji mengambil tindakan. Melalui Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, Washington juga mengimbau Rusia meninjau kembali dukungan mereka terhadap Assad. (AFP/Reuters/CNN/BBC/hep/c22/any)