Bapak Melaut, Istri Mengolah, Desa Membeli
Mengenalkan hal baru kepada nelayan tidak mudah. Pro-kontra bisa menimbulkan kerusuhan. Tetapi, kepedulian Fadolin mengalahkan rintangan itu. Meski hanya mengenyam pendidikan hingga SMP, aktivitas penyuluhannya membuat para nelayan di Desa Banjar Kemuning
Seorang Pelaut tersebut masih cocok untuk menggambarkan kehidupan Fadolin. Pria yang menjabat ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Desa Banjar Kemuning tersebut sejak kecil bergelut dengan dunia nelayan. ’’Saya ini nelayan nyel (asli, Red),” ujar Fadolin saat ditemui di Dermaga Banjar Kemuning kemarin (6/4).
Kala itu, Fadolin baru saja pulang melaut. Pria 45 tahun tersebut sehari-hari mencari kerang. Jenis biota laut yang sangat melimpah di wilayah pesisir Sidoarjo. Kondisi dasar laut yang berlumpur membuat kerang bisa berkembang biak dengan baik di kawasan tersebut. Hanya, kerang sulit dijaring jika laut sedang pasang. Penyebabnya, lumpur ikut terangkat sehingga garit (alat penjaring kerang berbentuk tujuh mata kail berjajar) makin berat.
Fadolin sudah terlatih memastikan cuaca di laut
Putra kelima pasangan Abd. Kamim dan Matoyah itu dibesarkan dari hasil kapal sang ayah yang juga seorang pelaut. Tak jarang, dia ikut melaut dan belajar langsung kepiawaian memainkan kail dan jala dari sang ayah. Begitu juga soal membaca cuaca. ’’Laut sudah seperti rumah kedua buat saya. Jadi, saya hafal sama langit,” paparnya.
Di jalur percabangan Sungai Juanda yang masuk wilayah Desa Banjar Kemuning tersebut, Fadolin menjajarkan kapalnya dengan kapal-kapal lain milik nelayan sedesa. Setidaknya ada 120 kapal yang masuk paguyuban nelayan desa yang dibina Fadolin. Jika dihitung bersama anak buah kapal (ABK), ada 180 nelayan aktif di desa yang masuk Kecamatan Sedati tersebut. Dia akan mengarungi alur Sungai Kepetingan hingga Kali Wonokromo untuk mencari kerang. ’’Kalau dorang sama udang, musiman populasinya. Nah, kerang ada setiap hari. Tinggal sabarsabar mencari saja,” tuturnya.
Seperti biasa, dia berangkat dini hari. Biasanya sekitar pukul 02.00. Menurut dia, sesuai penanggalan Jawa, pada jam-jam tersebut air laut akan surut secara maksimal. Kalau normalnya kedalaman laut di wilayah mencari kerang 10 meter, saat dini hari bisa jadi hanya 5 meter. ’’ Nggak ngoyo,” celetuknya, lalu tersenyum.
Namun, itu bukan hukum yang pasti. Bisa jadi, setelah subuh, laut baru surut. ’’ Ya itu fungsinya nelayan harus paham tanggalan Jawa. Kalau tahu pasang tertinggi, pasti ngerti surut terendah,” jelasnya.
Dia kemudian mengajak Jawa Pos melihat ke sentra pengupasan kerang. Lokasinya tidak jauh dari dermaga. Tandanya, banyak gundukan cangkang kerang yang sudah terkupas. Mayoritas pengupas adalah istri nelayan yang bekerja secara berkelompok. Salah satunya kelompok Jamianah, 60. Fadolin yang saat itu bersama Sekretaris KUB Sari Laut Munawar menjelaskan beragam jenis tangkapan kerang di Banjar Kemuning.
Yang terbesar adalah kerang bulu. Kerang itu memiliki bulu-bulu halus berwarna cokelat di luar cangkang. Ada pula kerang batik dan kerang tutul yang bermotif sesuai namanya pula. Dua jenis itu yang paling laku diekspor. Tapi, jika mencari kerang dengan cita rasa paling gurih, kerang darah bercangkang putih jawabannya. ’’Kalau cuaca bagus, satu kapal minimal tangkapannya bisa satu kuintal,” ujar Fadolin.
Rata-rata harga per kilogram kerang darah bercangkang berkisar Rp 27 ribu. Harga kerang batik dan tutul bisa mencapai Rp 40 ribu. Menurut Fadolin, satu kapal nelayan bisa mendapatkan penghasilan sampai Rp 5 juta per hari saat cuaca bersahabat.
Sayangnya, jika tangkapan kerang berlimpah, justru harganya merosot. Hukum ekonomi bekerja sebagaimana mestinya. Terlebih, ada pandangan bahwa kerang merupakan biota laut yang kandungan logam beratnya sangat tinggi. Melihat kenyataan itu, Fadolin tidak mau mengalah. ’’Saya miris. Lah gimana, kalau pas melimpah, harga bisa anjlok sampai di bawah Rp 10 ribu (per kg). Saya yakin saja, pasti ada jalan keluar,” ucapnya bersemangat.
Akhirnya Fadolin berinisiatif mencari informasi tentang cara menghilangkan kandungan timbal pada kerang. Tujuannya, menggenjot nilai jual. Langkahnya adalah menghubungi akdemisi dan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI).
Dia pun menulis banyak proposal pelatihan. Sampai akhirnya, dosen Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) mau datang untuk membimbing mereka. Pelatihan depurasi pun berlangsung untuk KUB Sari Laut yang dipimpin Fadolin. Depurasi adalah mekanisme menghilangkan kandungan timbal dengan cara mengalirkan air sesudah disinari dengan UV (ultraviolet). Alhasil, KUB lain di Desa Banjar Kemuning juga tergerak untuk menguasainya. Ilmu depurasi pun tersebar.
Fadolin yang juga tercatat sebagai bendahara Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia serta Penyuluh Swadaya Perikanan dan Kelautan Sedati tak berpikir panjang untuk mengusahakan adanya pelatihan lebih lanjut soal depurasi. Plus, pengolahan kerang yang bisa jadi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di Desa Banjar Kemuning. ’’Bapak melaut, istri mengolah, desa membeli.” Begitulah bayangannya.
Tak heran, Fadolin juga aktif mengusulkan pendirian badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai koperasi para nelayan. Dengan begitu, tidak ada lagi yang membeli ke tengkulak. ’’Pak Kades sudah sepakat dengan kami (nelayan, Red),” katanya.
Hasil pelatihan tersebut juga berbuah manis. Kerang tangkapan para nelayan di Desa Banjar Kemuning mulai diekspor melalui World Wildlife Fund (WWF). Jenis kerang batik dan kerang tutul yang paling dicari. Harga yang stabil, yakni berkisar Rp 40 ribu per kilogram, membuat pendapatan nelayan meningkat. Jika tekun, pasti ada hasil. Itulah keteguhan Fadolin. ’’Saya cuma lulusan SMP. Di MTs Nurul Huda, Kalanganyar, sana. Tapi, saya nggak mau anak-anak nelayan di sini tidak berpendidikan seperti saya,” ujarnya.
Fadolin sangat mensyukuri hasil melautnya. Selain sudah memiliki kendaraan dan rumah sendiri, pada 2019 dia berencana pergi haji. Cita-citanya untuk pendidikan sang anak juga dipersiapkannya dengan menabung. ’’Saya harus menguliahkan dua anak saya,” ucapnya. (*/c7/dio)