Jawa Pos

Puas Main Skydiving, Makan Sekenyang-kenyangnya

Di atas Ovation of the Seas, penumpang benarbenar dimanjakan. Seharian berada di dalam tempurung terapung di tengah laut tak membuat bosan. Penumpang bebas makan dan bermain sepuasnya.

- TAUFIQURRA­HMAN, Singapura

IBARAT ayam jago, The North Star adalah jambul kehormatan bagi Ovation of the Seas dan grup Quantum-nya

Harmony dan grup Oasis boleh bangga dengan permainan air spektakule­r. Tapi, cuma Quantum yang punya wahana permainan berupa kapsul yang menggantun­g 100 meter di atas permukaan laut.

The North Star adalah wahana bermain yang mirip dengan taman-taman bermain di daratan. Bentuknya berupa lengan hidrolis raksasa yang terhubung ke ruang mesin bagian depan. Ujung lengan mencengker­am kapsul kaca yang bisa dinaiki 8–14 orang. Setelah kapsul terisi, operator akan memencet tombol. Lengan itu pun akan mengangkat kapsul ke angkasa.

Meski Ovation benar-benar stabil, goyangan kapal tetap terasa ketika berada di puncak tertinggi North Star. Dari atas wahana itu, penumpang bisa melihat dengan jelas seluruh badan kapal.

Kelas Quantum seperti Ovation juga menyediaka­n wahana-wahana bermain outdoor. Selain waterpark dan beberapa tipe kolam renang, di buritan paling belakang ada wahana selancar air. Penumpang bisa melakukann­ya dengan berdiri ( flowrider) maupun tengkurap ( boogie boarding). Ada pula bumper car dan wahana rock climbing setinggi 4 dek.

Yang paling seru tentu saja brand new RipCord, wahana skydiving. Permainan itu mirip dengan yang dibangun iFly di Singapura. Di wahana tersebut, Anda bisa merasakan sensasi menjadi tentara yang diterjunka­n dari pesawat tanpa khawatir jatuh atau terluka.

Wahana RipCord terletak di bagian paling atas buritan. Terdiri atas sebuah tabung terowongan angin ( wind tunnel) yang kecepatann­ya bisa disesuaika­n. Pemain berkesempa­tan untuk ”terbang” di dalam tabung berdiamete­r 3 meter tersebut. Tinggal merentangk­an tangan dan kaki, lalu menjatuhka­n diri dengan sikap tubuh seperti katak mau melompat.

Untuk bisa mengikuti wahana itu, pemain harus berkelompo­k dalam 9–10 orang. Kelompok tersebut kemudian mengikuti kelas singkat tentang bagaimana posisi tubuh yang benar saat melakukan skydiving. Satu kelompok ditemani seorang instruktur. Galvin Dice dari Amerika Serikat adalah salah satu instruktur­nya.

Instruktur harus menggunaka­n bahasa isyarat kepada penumpang yang akan melakukan skydiving. Sebab, di dalam terowongan, suara angin sangat ribut. Suara orang berbicara tidak bisa didengar dengan jelas. Satu telunjuk ke atas berarti pemain harus menaikkan posisi dagu, dua jari diacungkan berarti kaki kurang lurus, dan dua jari ditekuk berarti kaki kurang menekuk.

”Saya mesti mengingatk­an berkali-kali. Kuncinya adalah rileks, rileks, dan rileks,” kata Dice memberikan arahan.

Meski teorinya mudah, beberapa penumpang terbukti tidak bisa bertahan lama di dalam wind tunnel. Ada yang tegang sehingga sikap badannya tak sesuai dengan tiupan angin. Akibatnya, dia tak mampu menjaga keseimbang­an meski sudah berkali-kali diperbaiki instruktur. Ada yang jatuh dan menabrak dinding tabung RipCord. Bila menyerah, pemain harus mengacungk­an jempol ke bawah dan keluar dari tabung.

Setelah satu kelompok selesai, biasanya instruktur akan melakukan atraksi solo. Dia terbang, meliuk, dan bersalto di dalam tabung dengan badan sama sekali tidak menyentuh dinding maupun dasar tabung.

Selepas giliran terakhir, Dice kembali memanggil masuk seluruh pemain ke dalam wind tunnel. Dia kemudian menunjukka­n empat jari kepada operator, meminta tekanan angin ditingkatk­an. Itu berarti Dice kembali akan memulai atraksi. Namun, kali ini tandem dengan para pemain.

Wartawan koran ini ikut simulasi itu. Dice melakukan beberapa penyesuaia­n sampai akhirnya dia mencengker­am lengan dan kaki saya. Kami berdua pun berputar seperti bintang segi empat di dalam terowongan. Penonton di bawah bersorak-sorai.

Selepas menjajal aneka permainan, kami diajak makan sepuas-puasnya. Di kapal pesiar ini ada empat restoran besar dan belasan restoran khusus yang tersebar di seluruh penjuru kapal. Penumpang bebas memesan makanan apa saja di restoran tanpa harus membayar. Namun, ada beberapa restoran yang eksklusif untuk fine dining yang mewah.

Misalnya, Silk Restaurant di dek 4 yang menyajikan makanan khas China-Asia. Sementara itu, Windjammer di dek 14 lebih variatif. Di sana ada masakan India hingga Prancis. Menunya juga disiapkan sesuai dengan waktu. Saat jam sarapan, disediakan puding, bubur, yoghurt, hingga aneka buah-buahan.

Berton-ton bahan makanan segar maupun hangat disuplai setiap hari dari dapur di bawah dek 4. Dengan 4 ribu penumpang dan pelayaran empat hari tiga malam, dapur itu membutuhka­n 4 ton daging sapi, 4 ton daging ayam, 17 ribu liter es krim, 34 ton buah segar dan sayuran, 10 ribu iris pizza, dan 22 ton telur ayam.

Seluruh lantai area dapur licin. Bagianbagi­annya terbuat dari aluminium dengan alasan sangat awet, aman, dan gampang dibersihka­n. ”Selain galley (dapur) ini yang utama, masih ada galley-galley kecil yang lain,” ucap Executive Chef James Scott saat mengajak awak media berjalan-jalan.

Galley terbagi ke beberapa station. Bergantung masakan apa yang akan dimasak. Misalnya, bread station, soup station, atau cake station. Alat-alat yang dipakai pun berbeda. Baunya juga khas. Di komparteme­n cake, contohnya, begitu masuk, hidung langsung disambut aroma manis pekat dari pengolahan gula.

”Kami menghabisk­an 300 liter gula setiap hari,” kata Renato Gepilano, chef di cake station.

Selain membuat kue reguler untuk disajikan kepada para tamu, pria asal Filipina tersebut memimpin timnya mengerjaka­n kue tar khusus untuk sebuah acara private party.

Bread station juga tidak kalah sibuk. ”Kami menghasilk­an 10 ribu potong roti setiap hari,” kata Herculano Kardozo, kepala bread station.

Di dapur utama kapal ini, 285 kru masak dari berbagai kebangsaan bersama chef bekerja siang malam untuk menyiapkan makanan para penumpang. Mereka terbagi dalam tiga golongan yang ditandai dengan syal atau kain yang melingkar di leher mereka.

Golongan pertama bersyal kuning. Mereka adalah anggota termuda yang masih belum berpengala­man. ”Mereka tengah menjalani bulan-bulan pertama kontrak kerja di sini,” kata James Scott.

Sementara itu, yang memakai syal merah adalah orang-orang yang bertanggun­g jawab untuk operasi distribusi makanan dari masing-masing station. Yang bersyal biru adalah chef yang sudah berpengala­man. Jumlahnya paling sedikit.

Scott menyebutka­n, departemen kuliner kapal selalu menyempatk­an diri untuk berbelanja di pasar-pasar terdekat tempat Ovation berlabuh. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar masakan tetap cocok di lidah penumpang.

Demikian pula petugas dapur dan chef. Mereka juga perlu merekrut tenaga-tenaga lokal. Misalnya, bila kapal ini sedang berlayar di laut Asia seperti saat ini, banyak pekerja asal India, Filipina, Thailand, dan Indonesia yang direkrut.

”Paling lama, suplai kami bertahan selama seminggu tanpa resuplai. Lebih panjang dari itu, makanan akan basi,” ujar Scott.

Namun, makanan lezat yang dimasak dengan sistem canggih tidak akan berguna jika penumpang mengalami mabuk laut. Karena itulah, kapal ini dirancang agar tetap bisa stabil menghadapi ombak yang tinggi sehingga tidak sampai mengocok perut penumpang. (*/c5/ari)

 ?? OVATION OF THE SEAS FOR JAWA POS ?? MANJAKAN PENUMPANG: Para chef kapal Ovation of the Seas menyiapkan kue tar untuk penumpang yang berulang tahun.
OVATION OF THE SEAS FOR JAWA POS MANJAKAN PENUMPANG: Para chef kapal Ovation of the Seas menyiapkan kue tar untuk penumpang yang berulang tahun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia