Jawa Pos

Tolak Beking, Tetap Lolos

Terbongkar­nya kasus suap yang melibatkan perwira Polda Sumatera Selatan (Sumsel) dalam seleksi anggota Polri 2015–2016 menjadi pintu Korps Bhayangkar­a untuk mereformas­i sistem rekrutmen. Di sisi lain, masih banyak anggota Polri yang lolos seleksi tanpa be

-

SUAP, beking, hingga katebelece alias surat rekomendas­i pejabat menjadi cerita sumbang dalam banyak proses rekrutmen aparat negara, baik itu sipil, kepolisian, maupun militer. Sebagian hanya rumor. Namun, ada pula yang benar terjadi.

Dicopotnya empat perwira menengah Polda Sumsel dalam kasus dugaan suap Rp 4,7 miliar untuk seleksi Polri membuktika­n bahwa cerita sumbang itu benarbenar ada. Pengalaman mendapatka­n tawaran untuk melicinkan seleksi pernah dirasakan sejumlah anggota kepolisian. Jawa Pos menemui tiga polisi wanita (polwan) yang menjumpai banjirnya tawaran beking. Ketiganya adalah Bripda Ni Luh Gede Nanda Anjaswari Rai, Bripda Debbie Natazha Rumbewas, dan Bripda Inry Rohany Somajouw.

Ditemui di Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan), Bripda Ni Luh Gede Nanda menceritak­an, perjumpaan­nya dengan seseorang yang menawarkan beking terjadi saat dirinya melakoni latihan fisik di Gedung Olahraga (GOR) Ngurah Rai, Bali, awal 2016. ”Saat itu saya sedang berlatih fisik dengan lari-lari,” ujar Nanda.

Kedua orang tua Nanda, I Nyoman Rai Sutrisna Putra dan Ni Luh Sri Astuti, turut menunggu anaknya berlatih. Saat itu ada juga seorang ibu-ibu yang menunggu anaknya sedang berlatih fisik. ”Ibu itu mendekati kedua orang tua saya sembari bertanya apakah anaknya ingin mendaftar polwan,” ucapnya.

Saat itulah ibu tersebut menawarkan untuk bisa memberikan beking. Imingiming­nya pasti diterima dalam seleksi itu. ”Beking itu dihargainy­a Rp 25 juta hingga Rp 50 juta,” ungkap Nanda.

Setelah itu Rai membicarak­annya dengan keluarga, baik istrinya (Sri Astuti) maupun anaknya, Nanda. ”Saat itu ibu saya yang bilang kalau bapak lebih baik menolak. Kalau berpikir ini usaha, ya usaha saja yang keras. Kalau pakai jalan uang, nanti semua uang terus,” katanya.

Saat dihubungi Jawa Pos, Rai menuturkan, daripada membayar agar anaknya masuk kepolisian, lebih baik uangnya dipakai untuk membuat ruko di Bali. ”Bisa jualan terus, tidak perlu repot,” ucapnya.

Begitu hasil tes tahap 33 besar di Polda Bali keluar, ternyata anak ibu yang menawari beking itu tidak lolos. ”Saya jadi ingat kata ibu saya, kalau bukan takdirnya menjadi polisi, tidak akan jadi polisi. Tapi, kalau sudah takdirnya, ya jadi,” tuturnya.

Tawaran beking juga dirasakan Bripda Inry Rohany Somajouw. Dia mengungkap­kan sebenarnya sudah tiga kali mencoba mendaftar menjadi polwan: pada 2013, 2014, dan 2016. ”Saat 2014 itulah ada tawaran beking,” katanya.

Saat mengikuti seleksi bintara polwan pada 2014, tawaran beking datang. Inry menceritak­an, saat itu keluarga sedang berkumpul di rumahnya di Gorontalo. ”Tibatiba ada telepon dari nomor yang tidak dikenal ke handphone ayah saya,” kenangnya.

Orang yang tidak dikenal itu ingin memastikan keikutsert­aan Inry dalam seleksi polwan. ”Orang itu menawarkan lebih baik ke Akpol saja dengan sekianseki­an harganya,” ujar dia.

Inry menambahka­n, tentu saja ayahnya kaget dengan tawaran orang tersebut. Entah dari mana orang itu juga bisa mengetahui nomor handphone- nya. ”Ayah saya saat itu bilang ini pasti penipuan. Kami tidak mau pakai semacam itu,” katanya.

Hal serupa dirasakan Bripda Debbie Natazha Rumbewas. Dia menceritak­an, pengalaman ditawari beking terjadi saat dirinya mengikuti tes seleksi polwan 2014 di Polda Papua. ”Saat itu ayah saya ikut mengantar dan melihat saat tes. Ayah saya ini anggota TNI, Serda Rumbewas,” sebutnya.

Saat itulah ada oknum yang kemudian menawari ayahnya untuk membantu bisa lolos seleksi. ”Oknum itu tidak mengetahui bahwa ayah saya itu anggota TNI, maka ditawariny­a. Langsung saja ayah saya menolak tawaran tersebut dengan tegas dan suara keras,” ucapnya.

Debbie menjelaska­n, ayahnya yang seorang tentara yakin bisa melatihnya secara fisik dan pengetahua­n untuk bisa lolos dalam seleksi polwan. Setelah mencoba beberapa kali, dengan banyak latihan, akhirnya Debbie bisa lolos juga. ”Pada 2014 saya tidak lolos. Saya coba lagi 2016, akhirnya lolos. (Tahun) 2015 saya tidak mencoba karena sempat kuliah,” bebernya.( idr/c9/owi)

 ??  ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS JUJUR: Dari kiri, Ni Luh Gede Nanda, Debbie Nathaza, dan Inry Rohany Somajouw.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS JUJUR: Dari kiri, Ni Luh Gede Nanda, Debbie Nathaza, dan Inry Rohany Somajouw.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia