LaranganLarangan Hutan Larangan
Tak boleh diambil walau hanya secuil ranting untuk kayu bakar. Itulah pendirian teguh yang diterapkan warga Cikondang. Hutan adalah harta milik adat. Segala hal yang keluar dari hutan hanya boleh digunakan untuk keperluan adat. Turuti saja kalau ingin sel
GEMERICIK air dan suara burung sayup terdengar di pagi hari. Aliran mata air yang sangat bening melalui slang yang terhubung dengan kolam-kolam. Gerimis dan kabut menambah dingin udara Kampung Cikondang yang berada di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Waktu menunjukkan pukul 07.00. Namun, langit masih gelap. Mentari seolah masih bermalas-malasan di ufuk timur. Anom Juhana, ketua adat, sudah duduk manis di ruang tamu salah satu rumah warga yang ditinggali Jawa Pos. Matanya memandang ke luar jendela. ”Ke hutannya nanti nunggu hujan agak reda ya, Neng,” tuturnya, lalu menyeruput segelas teh hangat.
Sembilan puluh menit kemudian, hujan reda. Jawa Pos dan Anom berjalan ke hutan yang terletak di timur rumah adat. Untuk dapat memasuki hutan, kami harus melewati dulu pagar bambu rumah adat. Di belakang rumah itu, terdapat pintu bambu untuk akses ke hutan. Untuk memasuki hutan pun, ada ritual. Yakni, mengucapkan salam dan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu.
Deretan pohon-pohon tinggi masih dijumpai di hutan seluas 2 hektare itu. Di bawahnya, tercecer tumpukan rantingranting hingga menjadi humus. Jalan setapak pun hilang gara-gara tumpukan dedaunan dan ranting. Tak ada yang berani mengambil apa pun dari hutan larangan. Meskipun hanya sepotong ranting untuk kayu bakar. Semua hasil hutan hanya boleh digunakan untuk rumah adat. Misalnya, mengganti kayu rumah yang termakan usia.
Hutan larangan memang jauh dari campur tangan manusia. Pengunjung yang hendak memasuki hutan adat harus mendapat izin Anom. Hutan tidak boleh dikunjungi pada Selasa, Rabu, dan Jumat.
Hutan difungsikan sebagai daerah resapan air. Hewan dan tumbuhan pun hidup secara alamiah. ”Tak ada hewan buas di sini,” kata Anom. Yang terlihat hanya beberapa tupai yang meloncat dari satu pohon ke pohon lain.
Hutan itu menjadi tempat hidup pohon yang berumur ratusan tahun. Salah satunya adalah pohon gaharu dengan lingkar batang 4 meter. Tingginya sudah mencapai 15 meter. Konon, pohon itu hampir berusia tiga abad. Ada pula pohon terap dan kiara yang berusia 150 tahun. Pohon-pohon tua itu menjulang tinggi hingga akarnya bergandengan satu sama lain.
Di sisi lain hutan, terdapat tanah yang cukup lapang dan tak ditumbuhi pohon. Untuk memasuki area itu, kami harus melepas alas kaki. Tanah basah yang dingin karena hujan terasa empuk, tapi tidak becek saat diinjak. Tekstur tanah di area tersebut seperti karpet basah. Tak membuat kaki menjadi kotor dan berlumpur.
Seolah membentuk pintu gerbang alam, ranting bunga melati meliuk, menyambut siapa pun yang datang. Anom pun kembali bernostalgia ke puluhan tahun silam, saat penjajah masih merajai tanah air. ”Dulu, kalau ada tentara Belanda, warga berkumpul di sini. Usia saya masih bocah,” kenangnya.
Lokasi yang dikelilingi pepohonan yang rindang teramat sukar untuk terlihat dari sudut mana pun, termasuk dari atas. Di lokasi tersebut, terdapat 13 batu berdiameter sekitar 70 cm. Batu-batu itu tidak boleh diinjak atau diduduki. Konon, di sanalah para leluhur menyimpan benda-benda pusaka.
Tradisi yang telah ditentukan nenek moyang kerap berbenturan dengan kehidupan modern. Dahulu, warga tidak boleh melebarkan tanah atau membangun rumah di selatan makam atau lebih tinggi daripada rumah adat. Namun, kini beberapa warga sudah tak menghiraukan tradisi itu.
Beberapa larangan di Desa Cikondang memang punya banyak manfaat. Salah satunya terlihat dari desain rumah panggung yang disesuaikan dengan kondisi Cikondang yang sering terkena gempa. Contoh lain adalah larangan membangun rumah di selatan rumah adat. Sebab, wilayah itu merupakan hutan untuk resapan air. Dari sanalah air berasal. Perkawinan antara modernisasi dan aspek tradisional tampak jelas pada kehidupan di Cikondang. (Asa Wisesa Betari/c11/dos)