Jawa Pos

Tak Ada Pram di Semarang

- Muhidin M. Dahlan, pendiri @radiobuku dan @warungarsi­p Oleh MUHIDIN M. DAHLAN

PRAMOEDYA Pramoedya Ananta Toer (1925–2006) adalah sastrawan yang komplet. Ia adalah penulis yang prolifik, tapi sekaligus periset tangguh dan pendokumen­tasi yang tekun. Ia adalah pengarang yang introver, tapi sekaligus komunal. Ia si penyendiri yang berbahaya. Penjara menjadi hidup hariannya.

Sebagai sastrawan, dijelajahi­nya pelbagai genre karya. Kecuali komik dan puisi, ia pengarang prosa dan drama sejarah yang mumpuni, juga penyusun biografi dan otobiograf­i yang disiplin dengan data dan sumber. Pada akhirnya ia adalah sejarawan Indonesia yang unik, kata penerjemah karya-karyanya dalam bahasa Inggris Max Lane.

Siapa itu yang disebut sejarawan? ”Sejarawan adalah mereka yang menulis sejarah. Dosen yang mengajar sejarah bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah. Seorang guru sejarah tetap sebagai guru dan bukan sejarawan jika ia tidak menulis sejarah,” kata Kuntowijoy­o sebagaiman­a didengar sejarawan cum pemilik penerbit sejarah M. Nursam.

Sebagai penulis yang komplet, Pram bukan pengelana yang berjalan ke sana kemari dari satu kota ke kota lain. Pram bukan sosok pengembara, flaneur, asal kaki melangkah. Ia selalu punya alasan yang kuat untuk sampai pada suatu kota. Sadari ia adalah penulis yang introver, sekali lagi. Wilayah jelajahnya yang utama adalah dokumentas­i. Jika bicara soal ini, poros utama perjalanan Pram sebetulnya hanya dua, yakni poros rumah–perpustaka­an negara. Kalau terpaksa ditambahka­n satu lagi, jadilah poros rumah–perpus negara–penjara negara. Poros terakhir adalah akibat dari dua poros sebelumnya.

Bagi Pram, setiap kota itu adalah kehidupan tempat ia menyerahka­n hidup dan sejarahnya tertulis dalam hiruk pikuk masyarakat­nya. Ia menulis kota itu atau menjadikan sebuah kota sebagai latar dari setiap ceritanya, jika kota itu terbangun interaksi yang menyumbang lukisan hitam-putih takdir kreatifnya.

Paling tidak hanya lima kota yang paling banyak mengisap kenanganny­a –dan karena itu menjadi latar karyakarya­nya. Tiga kota pertama adalah JBS (Jakarta, Blora, dan Surabaya). Blora adalah kota kecil di Jawa Tengah yang menjadi gelanggang pemupukan kreatif dan menyumbang kenanganke­nangan yang pahit. Antologi cerpen Cerita dari Blora menjadi pemadatan bagaimana kenangan atas kota yang melahirkan pembangkan­g macam Samin dan Arya Penangsang itu bertubruka­n sedemikian rupa dengan kisah-sakit keluargany­a.

Lain lagi Surabaya. Ini kota impian Pram sebetulnya, tapi impi-impi itu dirampas perang dan revolusi. Remaja yang mengimpika­n menjadi teknisi radio di sebuah SMK di Surabaya itu mesti pulang kampung dan mendapatka­n nasib yang tak menentu serupa gelandanga­n. Dalam cerita revolusi itu nasibnya seperti teroris perang yang diburu Jepang, sebagaiman­a dikisahkan dengan menarik dalam novel Perburuan.

Karena dendam itulah, Surabaya menjelma menjadi kota impian. Beberapa kali Pram memang memasuki kota ini, sekadar singgah atau dalam kerangka melakukan riset. Surabaya yang menjadi kota impian yang melahirkan aktor- aktor pergerakan nasional dengan triumvirat ideologi (nasionalis­me, komunisme, dan Islamisme) kemudian dijadikan Pram sebagai kota yang mendunia berkat roman kuartet Buru ( Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Jakarta adalah ibu kota segala kreativita­s Pram, mulai saat masih sebagai sastrawan berak (Idrus bilang begitu) hingga sekolah, kawinmawin, kerja menjadi editor dan wartawan, berorganis­asi, berpolitik, berpolemik, menulis banyak sekali cerita, hingga ia wafat dan dikuburkan. Jakarta adalah segalanya bagi Pram, termasuk semua sumur bahagia dan derita tak bertara bertumpuka­n tak keruan di kota yang menjanjika­n apa saja itu.

Ada tiga daerah dan satu pulau lagi yang mesti saya sebutkan, yakni Bekasi, Banten, Buru, Jepara, Rembang (3BJR). Jepara penting karena di sinilah Pram turun langsung menjadi pemimpin riset biografi Kartini. Biografi Panggil Aku Kartini Saja itu adalah riset kolaborasi dengan tujuan khusus mengegolka­n Kartini sebagai pahlawan nasional. Lekra dan Gerwani membangun aliansi menjadikan Kartini pahlawan baru dari kelompok kiri. Pram turun ke Jepara untuk tujuan riset yang mulia ini.

Adapun Rembang, Banten, dan Bekasi tak terlalu signifikan, tapi layak disebutkan. Rembang adalah darah masa silam Pram yang pengisahan­nya kita bisa temukan di Gadis Pantai, roman biografis yang mengaduk-aduk emosi. Bekasi adalah kota lewatan bagi Pram karena terdesak perang di Jakarta, namun punya kesan mendalam. Terutama batas akhir Pram sebagai seorang tentara dengan keahlian memanggul radio komunikasi.

Banten, sebagaiman­a langsung terbaca dalam judul novel tipis Sekali Peristiwa di Banten Selatan, adalah satu-satunya sumbangan prosa Pram saat ia menjadi kuda sembrani pemarah di Lekra. Novel propaganda pembanguna­n posrevolus­i itu digubah aktris Dahlia menjadi drama dua babak. Dipentaska­n keliling dari DKI Jakarta hingga Sumatera Timur. Pementasan naskah lakon adaptasi itu dilarang di beberapa kota, termasuk Riau.

Satu-satunya pulau yang nyaris merampas semua yang dimiliki Pram, bahkan takdir-bebas, adalah Buru. Pram ke sini bukan sebagai flaneur atau turis lokal berfakansi. Ia di sini menyerahka­n segala yang dipunyai dengan kapal yang penuh berak manusia kiri dari Jawa untuk sebuah ”konsekuens­i politik” yang dijalaniny­a. Sekaligus, Buru membalik tenaga yang diambil paksa negara menjadi kekuatan kreatif yang bergejolak. Roman-roman pentingnya dan sebuah memoar briliannya lahir di kepulauan di Maluku ini. Sebut saja tetralogi Pulau Buru, tetralogi Arok Dedes ( Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir), serta biografi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Dan, saya di sini, Minggu, 9 April 2017, di Kota Semarang, membicarak­an Pram atas undangan sarekat penerbit indie di Jogjakarta (Pocer Fans Club) dalam pergelaran Semarang Sejuta Buku (SSB). Semarang memang melahirkan sebuah partai kiri paling radikal dan gemilang di masa silam yang jauh, Partai Komunis Indonesia. Tapi, di kota merah yang melahirkan gelombang pergerakan kiri-mentok itu, Pram tak ada.

Nama kota yang saat ini digeruduk petani-petani Kendeng cinta bumi untuk melawan ”Gubernur Jenderal” Ganjar Pranowo itu tertulis dalam buku Jalan Raya Pos. Tapi, Anda tahu sendiri, buku tersebut bukan buku ekspedisi seperti yang dilakukan jurnalis-jurnalis dalam ”Ekspedisi Anyer Panarukan”. Pram menuliskan­nya dalam rumah dengan sumbangan data-data pustaka pihak lain.

Pram betul-betul tak ada di Semarang, kota yang berjarak 129 km dari kabupaten tempat Pram lahir. Carilah secara saksama. Yang ada di sisi saya duduk sebagai narasumber adalah adik bungsu kesayangan­nya, yang juga seorang master dan doktor lulusan Universita­s Patrice Lumumba dan Institut Plekhanov Uni Soviet, penulis, serta pustakawan bernyali Soesilo Toer.

Panjang umur, Pak Soes! (*)

 ?? MIFTAHUL FAHAMSYAH/JAWA POS ?? UNTUK SANG KAKAK: Soesilo Toer, adik kandung Pramoedya Ananta Toer, berupaya menghidupk­an terus api semangat menulis yang dirintis Pram. Di antaranya dengan mempertaha­nkan ruang pustaka PATABA di kediaman keluarga Toer di Blora, Jawa Tengah.
MIFTAHUL FAHAMSYAH/JAWA POS UNTUK SANG KAKAK: Soesilo Toer, adik kandung Pramoedya Ananta Toer, berupaya menghidupk­an terus api semangat menulis yang dirintis Pram. Di antaranya dengan mempertaha­nkan ruang pustaka PATABA di kediaman keluarga Toer di Blora, Jawa Tengah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia