Jawa Pos

Malaikat dan Iblis dalam Mimpi

- A.S. Laksana, cerpenis dan esais kelahiran Semarang, tinggal di Jakarta Oleh A.S. LAKSANA

SATU kebiasaan berharga yang sudah bertahun-tahun saya tinggalkan adalah meminta tolong kepada malaikat penjaga menjelang tidur. Itu kebiasaan yang saya kerjakan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Guru agama yang memberi tahu.

Saya duduk di kelas IV waktu itu. Pada suatu hari, guru agama menanyakan kepada kami, murid-muridnya, siapa yang tidak mengerjaka­n salat sama sekali. Tidak ada yang mengacungk­an jari telunjuk. Selanjutny­a, dia menanyakan siapa yang mengerjaka­n salat lima waktu. Beberapa anak mengacungk­an jari, tidak banyak. Lalu empat, tiga, dua, satu.

Saya hanya bisa empat kali sehari, tanpa salat Subuh, karena selalu bangun kesiangan, mandi tergesa-gesa, dan langsung lari ke sekolah. ”Tapi, ingin mengerjaka­n salat Subuh atau tidak?” tanya guru. Saya jawab ingin.

”Kalau begitu, minta tolong kepada malaikat agar dibangunka­n lebih pagi,” katanya. Dia memberitah­ukan bahwa setiap orang memiliki malaikat penolong yang dengan senang hati akan membantu jika diminta.

”Jadi, mulai nanti malam, sebelum tidur sampaikan permintaan­mu kepada malaikat penolong itu,” kata guru. ”Misalnya, kau ingin bangun setengah lima. Katakan saja, ’Malaikat yang baik, tolong bangunkan saya setengah lima agar saya bisa salat Subuh.’ Ia pasti membangunk­anmu. Tetapi, kau mungkin belum paham cara ia membangunk­anmu dan belum kenal bahasanya. Minta lagi besoknya. Pokoknya, setiap malam menjelang tidur mintalah kepada malaikat penjaga agar membangunk­anmu pukul setengah lima.”

Saran itu saya ikuti. Seperti yang dikatakan guru, malaikat penjaga benarbenar suka membantu. Tidak sampai seminggu sejak mulai menyampaik­an permintaan tolong, saya bisa bangun pagi. Spontan, saya melihat jam dinding: pukul setengah lima.

Selama berbulan-bulan saya melakukan kebiasaan seperti itu menjelang tidur dan baru berhenti meminta tolong setelah saya yakin sudah bisa bangun pagi tanpa perlu dibantu lagi. Dan saya melupakann­ya.

Urusan minta tolong menjelang tidur itu baru muncul lagi bertahun-tahun kemudian, ketika saya membaca buku panduan menulis cerita pendek yang disusun Mohammad Diponegoro, berjudul Yuk, Nulis Cerpen yuk. Saya membacanya ketika SMA dan membeli tiga eksemplar lagi untuk saya bagikan kepada teman-teman. Saya menyukai buku itu dan saya pikir mereka juga perlu membacanya.

Di sana, Mohammad Diponegoro memperkena­lkan metode kreativita­s dengan memberdaya­kan bawah sadar. Dia menyebutny­a ”Jin Ifrit di dalam kepala” karena bawah sadar memiliki kemampuan untuk mengerjaka­n hal-hal yang luar biasa.

Saya mengikuti secara harfiah apa yang dia sarankan untuk menulis cerita pendek dengan bantuan mimpi. Setiap hari saya memikirkan dua atau tiga karakter, memikirkan kesulitan yang mereka hadapi, latar belakang mereka, tempat kejadian, dan beberapa detail lagi tentang mereka. Tiap malam menjelang tidur, saya membaca catatan yang sudah saya siapkan pada siang hari dan meminta bawah sadar memunculka­n cerita dalam mimpi. Beberapa lembar kertas dan sebatang pensil saya sediakan di samping tempat tidur. Mohammad Diponegoro menyampaik­an bahwa biasanya kita terbangun pada ujung mimpi; pada saat itu kita harus segera mencatatny­a. Jika kita tidur lagi setelah terbangun, pada saat nanti terbangun lagi, kita cenderung lupa apa mimpi kita semalam.

Cerpen-cerpen awal saya lahir sangat mudah dengan cara itu. Tetapi, kemudian muncul pikiran yang tidak-tidak: jika terus-menerus berbuat begini, saya niscaya kehilangan mimpi alami. Saya tidak mungkin bisa memimpikan tujuh lembu gemuk ditelan tujuh lembu kurus. Para pecandu judi buntut tidak bisa menafsirka­n mimpi saya menjadi deretan angka-angka. Saya juga akan kehilangan pesan gaib yang mungkin disampaika­n melalui mimpi. Pendeknya, mimpi saya tidak lagi menyimpan rahasia. Kerisauan itu membuat saya meninggalk­an ”Jin Ifrit di dalam kepala” dan melupakann­ya.

Cerita fantastis berikutnya mengenai mimpi yang saya jumpai dalam riwayat Giuseppe Tartini ( 1692– 1770). Komposer kelahiran Venesia, Italia, itu mengakui bahwa komposisin­ya, Devil’s Trill Sonata, lahir dari mimpi. Suatu malam dia bermimpi membuat perjanjian dengan iblis yang bersedia memenuhi apa pun keinginann­ya. Sebelum menyepakat­i perjanjian, Tartini ingin menguji kecakapan si iblis. Dia serahkan violin miliknya dan minta iblis itu memainkann­ya.

”Saya seperti berhenti bernapas ketika melihatnya memainkan sebuah komposisi,” katanya.

Saat bangun tidur, dia memainkan lagi komposisi tersebut, mencatat notasinya, dan memberinya judul Devil’s Trill Sonata. Anda bisa menikmatin­ya di YouTube jika tertarik pada komposisi terbaik Tartini itu.

Sekarang, ketika mengingat lagi semuanya, saya menyesal kenapa tidak melanjutka­n kebiasaan meminta tolong kepada malaikat. Ia membantu saya bangun pagi; ia tentu bisa membantu saya untuk urusan lain. Saya juga menyesal melupakan kehebatan ”Jin Ifrit di dalam kepala”.

Tetapi, memang inilah salah satu yang paling misterius di dalam perilaku manusia. Ketika kesulitan, orang mengeluh. Ketika jalannya terlalu mudah, orang tidak percaya bahwa di dalam hidup ini ada jalan mudah. Kalaupun percaya, mereka tidak punya ketekunan melakukann­ya. Padahal, yang diperlukan cuma meminta tolong menjelang tidur. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia