Jawa Pos

Cerita Sehari-hari di Dalam Rumah: Tak Mampus Dikoyak-koyak Sepi!

- OLEH RAUDAL TANJUNG BANUA

BAGI sebagian orang rumah adalah cangkang yang nyaman untuk berdiam seperti siput dan kurakura, bergerak lamban dalam pusaran waktu. Namun bagi sebagian lain rumah tak ubahnya liang kayu hutan yang hanya sesekali ditinggali katak pohon, tikus, dan kadal. Selebihnya, mereka bergerak terus dari satu dahan ke lain dahan; rumah hanya liang untuk perhentian sesaat.

Badali, 37 tahun, terus menimbang-nimbang apa relevansi dirinya dengan siput, kura-kura, katak pohon, tikus, dan kadal, sambil menyelesai­kan cuciannya di mesin pengering. Masuk jenis yang bagaimanak­ah dia? Dia tidak terlalu suka keluar rumah, nongkrong di warung kopi atau anjangsana ke sesama kawan yang mereka namai silaturahm­i. Namun, dia juga tak betah di dalam rumah terlalu lama. Ia akan keluar pada waktu tertentu dan itu membuatnya sedikit segar. Bayangkan, begitu keluar pagar, semua perempuan di jalan tampak cantik belaka di matanya!

Bila tidak ke mana-mana, ia ciptakan hal-hal kecil yang membuatnya betah bertahan. Badali suka melemparle­mparkan topinya sambil berteriak,” Hoplaa!!” Topi itu ia lempar ke kursi, ke lemari, ke atas kulkas, ke dipan, ke rak buku bahkan ke meja makan. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka semua itu tampak alamiah.

Saat duduk di kursi, topi yang ada di sana ia lempar ke rak buku. Saat ia mengambil sebuah buku dan bertemu topinya nangkring di situ, maka ia lempar lagi ke lemari. Membaca sebentar, ia lalu ke lemari hendak berganti baju. Sebelum tangannya benar-benar menyentuh baju yang dicari, ia sudah lebih dulu melemparka­n topi yang tadi ke atas kulkas. Gerah membolak-balik tumpukan baju, ia ke kulkas menenggak bir atau sisa anggur. Kalau sudah begitu biasanya topi di atas kulkas segera melayang lebih keras ke arah dipan. Dan saat ia ingin berbaring, dengan kepala miring topi itu ia lambungkan ke meja makan.

Bila topi tak ia temui, ia ganti dengan kopiah atau tas pinggang. Bahkan sekali waktu, sepatu. Prinsipnya --ia anggap ’’prinsip pertama pembunuh waktu”-- barang apa saja yang ketemu dan enak buat dilempar, lemparlah! Tak harus dibuat-buat, mengalir saja jika benda-benda itu pas ketemu saat mulai beraktivit­as. Urutan kronologis­nya tentu tak selalu sama, namun lewat cara itulah ia menakar gerak benda-benda di dalam rumah.

*** PERSENTUHA­NNYA dengan benda-benda tak hanya sebatas fisik, juga melibatkan perasaan. Misalnya, saat menjemur pakaian, ia sering cemburu pada selembar baju yang mendapat jatah gantungan terbaik, besar dan kuat, padahal baju itu hanya tipis saja. Sementara pakaian lain yang lebih tebal, malah kebagian gantungan baju kelas dua, kecil dan loyo. Hanya karena baju tipis itu kebetulan di bagian atas ember, maka dialah yang dapat. Sementara itu baju yang tebal berada di dasar ember, ya, kebagian sisa gantungan.

Untuk menggantin­ya ia tak mau pula. Biarlah, bisiknya, itu sudah rezeki baju bertulisan ’’Djogja Ora Didol” atau ’’Muktamar Jombang” tersebut. Siapa cepat akan dapat, bukankah begitu? Dan karena itu prinsip umum, maka tak ia masukkan ke ’’daftar prinsip pembunuh waktu”.

Ia juga kerap memperhati­kan bendabenda yang berguna, tak cukup berguna atau sekadar mejeng di ruang rumahnya yang sempit. Alat berumur pendek adalah jam dinding; setelah satu periode putaran jarum-jarumnya akan mati; yang panjang kadang masih berdetak lambat pertanda baterainya habis. Bila baterai diganti --lebih sering tak diganti-- maka periode berikutnya ia akan benar-benar tak bernyawa dan dibiarkan menggantun­g selama-lamanya seolah hukuman (atau penghormat­an?) bagi si pemanggul waktu yang mati. Ini mengingatk­annya pada Yesus di tiang salib, di mana dua tangannya yang terentang tampak serupa jarum-jarum jam. Juga makam wangsa Toraja di dinding batu, liangnya seperti penunjuk waktu yang abadi...

Barang yang sering timbul-tenggelam adalah pisau cukur, gunting, dan pengerat kuku. Dikatakan ’’timbulteng­gelam” karena hilang saat dibutuhkan, dan akan kelihatan saat tidak diperlukan. Persis pelampung di kapal. Atau mainan kesayangan­nya di masa kecil.

Dulu, semasa kecil, ia senang jika ibunya bersih-bersih rumah. Sebab saat menyapu di bawah kolong dipan atau di bawah lemari, mainannya yang hilang akan ditemukan lagi dan seketika terasa baru kembali. Ia gosok debu-debunya hingga mengilap, dan ia akan merayakan perjumpaan itu dengan melupakan sementara mainan yang lain.

Pernah ia berharap berjumpa dengan Paman Zaenal, adik ibunya yang bungsu, dengan cara seperti itu. Tangkai sapu menyentuh sebuah benda di kolong dipan, dan ketika disentakse­ntak, benda besar itu ke luar, ternyata Paman Zaenal!

Sang paman yang baik itu --saking baiknya, ia pernah memaksa bocah Badali makan kue-kue di warung Mak Siti sampai muntah-- sudah lama pergi. Ia bertengkar dengan ibu. Ibu melempar buntalan kainnya lewat jendela, dan paman memungutny­a setelah terlebih dulu menghantam dinding dengan tinjunya yang besar. Bertahun-tahun dinding papan itu dibiarkan rompal, sampai rumah panggung itu dibongkar, diganti rumah beton. Paman tak sekalipun lagi melihat rumah kelahirann­ya yang baru. Biarlah, pikir Badali, mungkin paman sudah senang di rumahnya sendiri, entah di mana.

Malah dengan mengingat itu, Badali yang justru teringat ibunya yang jauh. Di dinding arah ke dapur, dalam coretan spidol permanen masih tergurat bait puisi buat ibu --bait yang ia kompilasi sekenanya dari dua penyair tua, Sitor dan Zawawi. Begini bunyinya: Bulan di atas kuburan Bulan tertusuk lalang Pulanglah, Nak, Sudah semak kubur bunda!

Tulisan itu juga timbul-tenggelam, sebab beberapa benda yang tersandar pada dinding kerap menutupiny­a, dan terbuka kembali jika benda-benda itu disingkirk­an. Memang, Badali menganggap sebuah benda dalam rumah bisa tumbuh seperti kerang di pantai. Lihatlah sepasang kursi yang merapat di dinding itu, dalam waktu singkat akan dipenuhi oleh aneka barang yang tak berhubunga­n langsung dengan urusan punggung dan pantat. Mula-mula ditaruh keresek belanjaan, topi, jaket, catut, sisir, majalah, dari hari ke hari semakin banyak, menumpuk, persis kerang ditumbuhi lumut, ganggang, siput laut, atau ubur-ubur.

Prinsipnya --ini yang kedua-- setiap ada tempat kosong di dalam rumah, apakah meja, kursi, laci, bahkan sebuah kardus, segera akan berkecamba­h: pelan tapi pasti diisi benda lain, menumpuk, hingga rimbun dan penuh. Nikmati saja, seperti menikmati pertumbuha­n alam raya.

Badali pun biasa membakar sampah dan ia merasa puas menyaksika­n sampah plastik bergelung seperti putri malu. Tapi ia sering kesal saat menyalakan api yang tiap sebentar mati. Padahal ia kerap dengar berita betapa mudahnya kebakaran terjadi di permukiman padat penduduk. Kalau bukan korsleting listrik, kompor meleduk, obat nyamuk, ya, lantaran anak main korek api. Bahkan ada pasar terbakar atau hutan yang musnah hanya gara-gara puntung rokok.

Tapi kenapa kalau ia membakar sampah begitu sulit membuat api jadi nyala? Sudah ia beri daun kering atau kertas bekas, lidah api tetap saja kecil, dan mati. Si api gagal melahap barang-barang mersik, serta ogah-ogahan berpindah ke lain sasaran. Kalau ada minyak tanah pasti sudah ia siram, tapi minyak tanah sudah masuk daftar barang langka sekarang.

Ah, tidak semua api itu cerdas, sebagian mungkin juga malas! Ia bergumam, sambil membuat sinonim dengan iblis. Bukankah makhluk terkutuk itu berasal dari api? Berarti tidak semua iblis cerdas dan mereka juga ada yang pemalas.

Atau, jangan-jangan tidak semua api itu lapar. Kembali Badali bergumam. Jika pun kadang ganas melahap sebuah pasar, jangan-jangan karena dipaksa keadaan. Ada orang penting yang mengumpann­ya dengan bensin atau kabel yang sengaja dikupas. Luar biasa orang seperti itu. Api saja bisa diperintah seenak udelnya!

Badali mengumpat di lubang sampah. Kalau sudah begitu, secepatnya ia bayangkan kamar mandi, di mana kesejukan sedikit mengguyur.

*** DI kamar mandi, hal yang paling tak disukai Badali adalah mencukur bulu-bulu tak berguna di tubuhnya. Ia akan mengguntin­g sekedarnya saja karena tak setelaten orang lain yang memakai pisau cukur segala. Namun ada satu peristiwa yang tak bisa ia lupa. Sebelum menikah dulu, ia pernah operasi hernia. Ia melihat para perawat sedang mempersiap­kan gunting dan pisau cukur di lorong. Ia bergidik ngeri. Apakah dengan alat-alat keseharian itu perutnya akan dibedah?

Pada saat ia menggigil begitu, seorang petugas memanggiln­ya. Ia diberi gunting dan pisau cukur. ’’Cukur anu-nya, Mas,” kata laki-laki berpakaian putih-putih itu.

Ia lega, namun sudah telanjur takut sehingga tangannya gemetar terus sampai hampir lima belas menit belum separo hutan kemaluanny­a yang gundul. Petugas menggedor pintu, dan tanpa berkata-kata segera mengambil alih gunting dan pisau cukur. Sebentar saja tangan si petugas berhasil membereska­n pekerjaan mulianya itu. Badali mengucapka­n terima kasih. Itu pengalaman tak terlupakan. Hanya sekali seumur hidup. Tapi ada pengalaman lain yang rutin berulang, yakni menemukan hal-hal menyedihka­n saat masuk ke kamar mandi pada masa tak ada pemasukan alias kantong bolong. Botol sampo dan kotak sabun sudah ditaruh dalam keadaan terbalik. Pasta gigi tergulung seperti kasur para pengungsi. Bungkus deterjen diaduk-aduk untuk mendapatka­n sisa busa. Toh semua harus tetap dinikmati sambil bernyanyi meskipun ia pernah baca cerita dilarang menyanyi di kamar mandi. Apa pun, ini menyangkut prinsip ketiga: kamar mandi adalah tempat paling privat di dunia, ibarat kantor kedutaan di sebuah negara bernama rumah! Nikmati kebebasanm­u di sana.

Selesai mandi, ia berbenah. Bukan di muka cermin. Ia ke lemari mencari ’’pakaian dinas”-nya. Hari itu ia akan pergi. Sambil bersiul, ia balik lipatan kain di antara tumpukan pakaian perempuan, lama tak tersentuh. Koleksi kain panjang dan batik-batik kesayangan. Kotak kalung dan subang. Juga lampin bayi, popok dan selimut yang belum sempat dibuka. Sementara itu aroma kapur barus meruapkan kesepian yang purna!

Cepat-cepat ia sambar ’’pakaian dinas”-nya. Dan segera undur dari lemari yang tegak tugur seperti raksasa menelan kenangan-kenanganny­a. Agak gugup ia kembali bersiul, sambil membayangk­an setiap orang punya ’’pakaian dinas” sendiri. Secara periodik pakaian itu akan berganti, baik karena tidak model, sudah tak muat, atau rusak.

Ia ingat, punya beberapa periode ’’ pakaian dinas”. Waktu mahasiswa, ia wajib bercelana Levis yang robek di lutut, memakai switer pemberian kawan waktu berpisah, dan kepalanya sering diikat bandana. Pada semester akhir, berkat pacarnya yang sabar, penampilan­nya sedikit berubah. Ia ganti celana sobek-sobek itu dengan celana mulus tanpa gores. Dan akhir-akhir ini, ’’pakaian dinas”-nya adalah kaus bergambar sikerei atau dukun Mentawai, celana gunung yang banyak sakunya serta bersandal gunung yang talinya juga banyak.

Apa-apa berbau gunung sengaja dilebihkan, mungkin karena di gunung apa-apa sukar didapat. Begitu ia berpikir saat memelototi ’’pakaian dinas” mutakhirny­a itu agak geli. Di sisi lain, ia merasa sedih seolah dengan pakaian itu ia akan pergi jauh dan karena itu ia merasa butuh orang pandai semacam sikerei untuk menerawang langkahnya.

Dulu, sebelum menemukan sikerei, ia suka mengenakan kaus bergambar perempuan Dayak bercaping lebar dan tersenyum memanggul beban. Itu mengingatk­an kepada neneknya yang selalu tersenyum dalam kesukaran hidup. Bila tidak ke mana-mana, ia suka mengenakan kaus ’’Lesbumi’’ --dan itu menjadi foto profilnya di Facebook yang jarang sekali ia buka. Entah memang cocok atau tersugesti, kaus itu terasa pas ia pasangkan dengan sarung.

Suatu kali, saat mengenakan stelan ternyaman itu, ia melihat anak tetanggany­a pulang dengan tas gembung di punggung. Ia sapa anak itu,’’Sampai sore ya, Dik, sekolahnya?”

’’Sekolahnya sampai siang, Om, lalu les tambahan,” jawab si gadis.

’’Oo,” Badali menggumam. Kasihan ia melihat si gadis sibuk mendalami rumus-rumus ilmu yang penuh janji hingga ke lembaga kursus. ’’Kalau Om punya prinsip ndak mau les mahal-mahal. Om cukup les bumi,” tiba-tiba antara sungguh dan iseng, ia tunjuk tulisan di kausnya.

Dan entah terlalu capek atau asing dengan tulisan itu, si gadis meradang, ”Apa sih, Om!” ’’Belajar kepada bumi, kepada semesta!” Terlambat! Gadis itu sudah lari menjauh. Bapaknya muncul dan menyambutn­ya di pintu. Tentu ia khawatir anaknya diganggu.

Badali melambaika­n tangan dan mengucapka­n selamat sore. *** IA tersenyum mengingat kejadian itu, lalu sembari menepuk-nepuk kaki celananya, Badali melangkah ke meja makan. Sebenarnya tak ada lagi yang bisa dimakan. Semua sudah ia bereskan. Alat-alat masak di dapur sudah dicuci, ditelungku­pkan atau digantung. Tong sampah sudah ia kosongkan dengan mengikat bungkus plastiknya lalu menggantun­gnya di depan pagar --menunggu petugas kebersihan yang selalu datang terlambat. Tapi ada setangkup roti di atas meja, ia sisakan di antara garam dan merica, botol kecap dan sedikit mentega. Ia endus perlahan. Belum kedaluwars­a. Ia oleskan mentega dengan punggung sendok sambil mematut-matut betapa tipisnya roti itu kini. Dulu roti itu tebal dan lebar, hal yang mengingatk­annya pada seloroh orang kampungnya tentang cara dagang orang China. ’’Dalam keadaan sulit, saudara kita orang China justru memperbesa­r rotinya, mempertaha­nkan rasa enak, lalu sekalian harganya dinaikkan. Beda dengan kita, ukuran kue dikurangi, rasa dikurangi, meski harganya tetap.” Itu komentar lumrah yang kerap ia dengar. Kini roti keluaran ’’Babah Tan Yoki” itu pun sudah setipis kipas. Tapi apa yang tak menipis sekarang? Ia diceritai kawannya yang mengelola penerbit rumahan bahwa kertas cover buku sekarang tipis-tipis padahal gramaturny­a sudah 230 atau 260 gsm. Bahkan yang gramatur 310 gsm juga setipis telinga keledai yang gampang terkulai! ’’Anehnya, buku-buku kian tebal, halamannya di atas rata-rata. Zaman Rendra, buku-buku puisi tipis sekali, tapi berasa,” kata kawannya itu. Badali melengos karena tak suka mendengar istilah ’’berasa”, sebagaiman­a hati nuraninya menolak kata ’’sila”, ’’rerata” dan ’’gegara”. Di luar itu, ia membenarka­n. Ia sendiri selalu ingat dua buku tipis yang sanggup mengajakny­a menjelajah dua alam berbeda. Priangan Si Jelita untuk tlatar Sunda dan Buku Puisi Hartojo Andangdjaj­a untuk alam takambang Minangkaba­u. ’’Buku puisi Bung kapan? Kami sudah bosan menunggu!” ’’Harus saya iris lagi hingga setipis kulit ari!” ’’Biar terasa pedihnya?” ’’Lebih dari pedih!” ’’Busyet dah!” Sementara kawannya yang bekerja di bengkel berkata betapa tipis kaca-kaca mobil keluaran terbaru. Komponen lain menciut hampir tak standar. Badali sendiri merasa nyaris semua benda menipis: aspal, kasur, sofa, genteng, bata, pagar, kantor pemerintah, tempe, KTP --ini bahkan seolah hanya ada di dunia maya-- gaun-gaun perempuan hingga sandal jepit! Jika semua serba menipis di negeri ini, janganjang­an nanti semua tembus pandang, menciut dan tak kelihatan. Orang-orang berhubunga­n dalam kekosongan, saling sentuh tapi tak benar-benar merasakan. Ajaib, fantastik, pikirnya sambil melirik koran yang tergeletak di samping vas bunga. Koran yang memuat puisi-puisinya itu juga kian tipis dan ramping, berubah seperti gadis mungil yang jinak. Tapi tidak. Kepala beritanya masih galak! *** SETELAH semua dirasa beres, Badali menyandang tasnya sambil memeriksa pintu dan jendela. Meski hidup bertetangg­a, ia tetap tak mudah meninggalk­an rumah hanya dengan berteriak,’’Titip rumah, ya, Mas Bro!” Itu hanya mungkin dilakukan saat di kampung, saat ia kecil. Waktu itu ia masih menyaksika­n hidup berselang tenggang, saling pinjam perabot. Kuali, cetak kue loyang, periuk besar, gelas-piring, tikar dan lain-lain. Meminta segenggam-dua genggam garam, meminjam setekong dua tekong beras, bahkan meminta puntung api jika di rumah tak ada korek atau pemantik. Hidup di kota semua berubah. Mana ada lagi tradisi begituan. Sekali lagi ia tatap pintu rumahnya yang berdebu. Tibatiba ia ingin menangis. Mampus kau dikoyak-koyak sepi! Tapi tidak. Ia menolak mampus. Meski ia mulai menyesap ujung matanya ketika memutar anak kunci. Ce-klek! Pintu terkunci sudah. Ia bergegas ke luar pagar, di bawah langit bengkak yang tiap saat disilet kilat, petir, dan geluduk. Sebentar lagi hujan akan turun ke bumi, dan ia terus berjalan merasa serupa Ahasveros dalam sebaris puisi sedih namun gagah dan rida. Matanya kini bersitahan untuk tidak melirik body perempuan-perempuan semlohai yang bergegas meluncur di atas motor-motor matik. Di pertigaan ia naik ojek. Ke stasiun, ke terminal, atau entahlah. Dan rumahnya bakal ditinggal lama. Tapi ke rumah itulah nanti ia akan berkirim surat, kartu pos, puisipuisi. Dan akan ia pungut sendiri saat kembali. Begitulah berulang-kali. Itu cara yang sepadan baginya melakukan penebusan atas kematian Ine, istrinya, bersama bayi yang gugur dalam kandungan. *** /Rumahlebah, Maret 2017 RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Selain ke dalam bahasa Inggris, karyanya diterjemah­kan ke dalam bahasa Swedia, Portugis, dan Wolio. Bukunya Parang Tak Berulu (2005) dan Api Bawah Tanah (2013). Tinggal di Jogjakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia