Jawa Pos

Terapi Koin

- ASujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net #TaliJiwo

MEMBANDING- bandingkan kinerja presiden jauh lebih gampang daripada menimbangn­imbang kecantikan antarperem­puan. Ukur saja belahnya masyarakat saat ia berkuasa. Beres! Ukuran kecantikan lebih njelimet.

Lain masyarakat belah, lain dagu belah. Eh, tapi belum tentu, ding. Istri Trump dan istri Obama ayuan endi, jal? Repot! Yang suka kulit putih dan belah dagu tentu bilang ayuan Melania Trump.

Tapi isi dunia ini macam-macam. Ada lelaki yang gemar jengkol tapi anti-pete atau sebaliknya. Ada yang anti dua-duanya atau malah poligami. Dimadunya jengkol dan pete. Semua tipe lelaki tersedia. Herankah kita bila pandemen kulit hitam dan rambut keriting bilang Michelle Obama-lah yang lebih ayu?

Kira-kira begitu juga perem- puan yang akan menjadi fokus cerita kita hari ini. Sekelas Ira Koesno pun akan bingung menengahi perdebatan apakah perempuan tersebut cantik atau jelek. Misalnya semua telah musyawarah-mufakat bahwa dia jelek pun perkara belum beres. Dia jelek moderat, jelek fundamenta­lis, atau jelek radikal?

Yang sudah tak bisa diperdebat­kan lagi perempuan berleher pualam tersebut baru saja memimpin demo pelegalan ganja. Ia bersimpati pada seorang suami yang ambil risiko menanam ganja demi pengobatan istrinya. Lelaki itu baru ditinggal mati istrinya setelah kebun ganjanya digerebek aparat negara.

Bulu mata perempuan itu lebat, panjang, dan lentik, tapi asli. Seasli buah dadanya yang besar-proporsion­al walau tak ditebalkan oleh busa bra, dan lebih tegak daripada hukum walau bukan karena disangga oleh tali dan kawat bra.

Kedatangan­nya di suatu panti terapi koin areal wisata tersebut cukup mengejutka­n, lebih mengagetka­n ketimbang se- rangan Trump ke Syria. Seorang lelaki yang sedang melakukan terapi koin alias kerokan terpana. ’’Maaf, Mbak. Terapi koin di sini khusus untuk lanangan,” sambutnya.

Wajah perempuan itu memerah bukan karena malu. Ia hanya sudah mana tahan kebelet BAB sejak dua jam lalu. Area wisata yang mencakup puluhan hektare lahan ini menawan, sayangnya kurang perhatian ke hal kecilkecil. Toilet sangat sedikit. Antrean sangat panjang. Kalah jauh jumlahnya dengan peturasan di seputar makam para wali.

’’Hmmm.. maaf, Mas. Saya bukan mau terapi koin. Saya, mau anu... Aduuh... bolehkah numpang ke kamar mandi...”

’’O monggo... Silakan... Mbak lurus, teruuus, mentok, belok kiri, ya!”

Perempuan itu langsung menghambur. ’’Eh, ada klosetnya kan, Mas!?” teriaknya saat berkelok di tembok.

Para lelaki di ruang terapi kembali menyingkap punggungny­a setelah baru saja cepat-cepat meng-hijab- nya begitu perempuan tadi masuk. Tapi obrolan tentang legal atau tidaknya ganja tak berlanjut. Mereka berubah topik ke soal bibir perempuan itu dan bangir hidungnya.

Tadinya, sambil kerokan, mereka asyik-masyuk ngobrol begini:

’’Beberapa negara sudah mulai melegalkan ganja,” jelas yang kerokan model loreng macan.

Yang kerokannya model loreng zebra menyanggah, ’’Mau sejuta ahli bilang ganja tidak berbahaya, tetap aku setuju ganja dilarang. Mau ngotot make ganja? Monggo! Tapi ubah dulu undang-undangnya.”

Itu perdebatan tadi. Sekarang mereka engkel-engkelan tentang mengapa perempuan itu tidak mengguyur kloset mantan tinjanya. Pemilik panti terapi koin baru teringat bahwa septitankn­ya sudah tiga bulanan tidak disedot. Perempuan cantik itu nahas. Pas dia yang pakai, pas mampet.

’’Pantesan dia langsung nggloyor pergi. Tinjanya ngambang kabeh, kayak ndak tahu mau kerja di mana, persis anak-anak S-1 kalau habis wisuda. Perempuan cantik itu pamit? Tolah-toleh ke kita saja ndak!” gerutunya. (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia