Tanjakan yang Tak Terlupakan: Bromo 100 KM Pertamaku Triatlon Adalah Cinta Pertama
IZINKAN aku mengisahkan lagi momen-momen terakhir di Bromo 100 KM pertamaku.
Begitu melihat penanda ”300 meter” lagi menuju finis, itu sama sekali tidak membuatku lega. Di jalan pedesaan yang sempit tersebut, terbentang tanjakan ekstrem dengan kemiringan 22 persen. Pada saat yang sama, aku melihat banyak cyclist lain sudah turun dari puncak untuk pulang ke hotel. Agaknya mereka sudah berjam-jam sebelumnya menuntaskan perjalanan. Aku berada di antara rombongan peserta yang pelan. Aku menghabiskan lebih dari enam jam di jalanan. Sebagian besar temanku yang sampai pada titik yang sama denganku memutuskan bahwa tidak ada gunanya memaksakan diri untuk terus mengenjot sepeda. Mereka memilih turun dan menuntun sepeda sejak 16–18 kilometer menjelang finis.
Aku sempat berhenti dan siap untuk ikut mendorong sepedaku. Lalu, aku lihat satu wajah yang sangat aku kenal ada di tengah cyclist lain yang sudah akan pulang. ”Dhitri! Ayo, terus kayuh sepedanya!” Dia berteriak menyemangati dan berhenti di sebelahku. Dialah Helen Tan, saudara bersepedaku, inspirasiku dalam olahraga dan kehidupan, juga sahabatku. Dia bahkan tampak lebih bersemangat melihatku menaklukkan tanjakan itu. Dia meyakinkanku dengan sebuah nasihat, ”Kamu bisa, kamu memiliki kemampuan. Toh, ini hanya tanjakan yang ’PENDEK’! Lihat belokan ke kiri itu, garis finis ADA DI SANA.”
Meskipun aku berupaya agar Helen tak terlalu bersemangat, sebaliknya dia bergeming dan tetap berdiri di sana sampai melihatkau kembali ke sadelku. Aku sudah kelelahan dan mati rasa, tapi terbakar semangatnya. Pahaku lelah, hatiku berdegup kencang, agak panik karena khawatir roda depanku akan terangkat, sementara harus tetap mencari jalur yang tepat di tengah jalan pedesaan yang ramai.
Aku melewati bagian paling tajam dari tanjakan itu, lalu berbelok ke kiri untuk mencari gerbang finis yang sebenarnya tidak aku lihat. Di manakah gerbang itu?! Dalam benakku, aku hanya bisa melihat kerumunan orang di jalanan menuju garis finis. Aku mulai menggerutu dan beberapa detik kemudian berteriak sejadijadinya. Saat orang-orang di sana mendengar seorang perempuan gila berteriak-teriak lantaran gerbang itu ternyata ada di belakangku dan sejurus kemudian aku melewati garis finis tanpa perayaan.
Hal berikutnya yang aku tahu, aku menangis sejadi-jadinya seperti bayi.
*** Jawa Pos Cycling Bromo 100 KM adalah salah satu event bersepeda paling populer di Indonesia. Sudah dikenal reputasinya sebagai ajang bersepeda dengan penyelenggaraan terbaik di negeri ini. Lebih dari 1.000 cyclist dari 100 kota di Indonesia dan 15 negara ikut ambil bagian di edisi keempat tahun ini. Tantangannya unik: Berangkat dari Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur, pada pagi hari, cyclist kemudian menikmati bersepeda 60 kilometer menuju Pasuruan dengan jalur cepat dan datar. Jalur tersebut kemudian berlanjut dengan tanjakan ringan. Lalu, puncaknya, cyclist harus menaklukkan tanjakan terus-menerus sepanjang 20 kilometer di jalan pedesaan hingga berakhir di Gunung Bromo yang kondang itu.
Saat mendaftar, aku sudah tahu bahwa aku bakal menderita. Aku adalah cyclist baru dengan pengalaman minim soal ketahanan dan menaklukkan tanjakan. Aku tidak punya waktu untuk berlatih bersepeda jarak jauh di luar ruangan. Sebaliknya, aku banyak berlatih tanjakan di dalam ruangan di Wahoo Kickr, mencoba menanjak di Watopia di Swift. Tentu itu jauh dari cukup untuk orang pada levelku, orang yang kehilangan banyak kekuatan karena cedera dan tidak berlatih secara terstruktur. Targetku hanyalah bisa finis dalam waktu yang diperbolehkan. Dan atas karunia Tuhan, aku bisa mencapainya.
Di samping itu, ini adalah kesempatan langka bagiku untuk bisa ambil bagian dalam event bersepeda bersama rekan-rekan cyclist perempuan dari seluruh Indonesia. Bromo 100 KM tahun ini menunjukkan peningkatan partisipasi yang luar bisa dari cyclist perempuan. Dari Women’s Cycling Community (WCC alias ”Bromo Babes”) saja, ada lebih dari 20 cyclist. Ditambah lagi, ada puluhan lainnya dari komunitas lain. Sebagian dari mereka adalah wajah-wajah familier, sebagian lain menjadi teman baru. Luar biasa melihat banyak perempuan terlibat dalam olahraga yang dikenal didominasi laki-laki. Karena itulah, rasanya tepat bagi tahun ini untuk membuat berwarna pink di tengah sesaknya event ini dengan pink power!
Bonus yang luar biasa adalah belajar dari Eileen Bawono, teman bersepedaku yang kuat dan punya determinasi berhasil membawa pulang gelar Queen of the Mountain (QoM). QoM diberikan kepada cyclist perempuan tercepat saat melibas 15 kilometer terakhir atau bagian terberat dari rute tersebut. Agar bisa berkompetisi di sana, kamu harus datang di titik 85 kilometer pertama dalam waktu yang sudah ditentukan.
Eileen hampir saja mencapainya tahun lalu. Momen epik terjadi saat dia berlari menuju garis finis. Sebab, dia terjatuh di tanjakan penghabisan. Tapi, tahun ini adalah miliknya. Aku ingin melihatnya menuai hasil kerja keras selama masa latihannya, bahkan ketika aku tidak ada di sana untuk menyaksikannya. Aku benar-benar ingin tahu. Sebab, pertanyaan pertama di tengah tangisku saat berhasil melewati gerbang finis: Apakah Eileen memenangi QoM?
Sudahkah aku kisahkan bahwa Eileen adalah ibu tiga anak yang sangat repot dengan keluarganya? Berlatih sekaligus mengurus sebuah perusahaan secara full time? Ya, dia sangat luar biasa dan akan menjadi inspirasiku selamanya, baik dalam olahraga maupun kehidupan.
Aku menyelesaikan Bromo 100 KM dalam waktu tujuh jam. Aku kehilangan banyak waktu karena berkali-kali harus berhenti di 20 kilometer terakhir yang terasa seperti neraka itu. Tapi, aku bangga untuk mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan bantuan orang lain. Aku tidak mendapat tarikan dari sepeda motor dan tidak didorong marshal sekali pun (cuma sebentar ketika aku kesulitan kembali mengayuh sepedaku di tanjakan). Dan secara keseluruhan, aku bangga karena bisa menaklukkan tanjakan terakhir yang mengerikan tersebut. Terima kasih Bromo 100 KM untuk semua kenangan itu. Momen-momen perjuangan terakhir itulah yang akan aku kenang sepanjang hidupku.
Oh ya, dan aku bakal kembali tahun depan!
BERAWAL dari bersepeda santai untuk mengisi waktu luang di tengah kesibukan kuliah dan bekerja di Australian National University (ANU) Canberra, Adhityani Putri atau yang biasa dipanggil Dhitri kini benar-benar jatuh cinta dengan olahraga ini. Namun, siapa sangka gowes ternyata bukan cinta pertamanya. Dia lebih dulu jatuh hati dengan triatlon.
Perempuan 35 tahun itu kali pertama mengenal olahraga sepeda saat bergabung dengan klub Females in Training (FIT) Canberra. Di sana, dia belajar banyak tentang triatlon (sepeda, renang, dan lari).
’’Mulai fokus di sepeda baru akhir 2014. Event Bromo 100 Km ( Jawa Pos Cycling Bromo 100 Km 2017) ini aja masih event sepeda pertama saya,’’ ucap perempuan yang tinggal di Canberra sejak 2011 hingga akhir 2014 tersebut.
Selama tinggal di Australia, Dhitri pernah mengikuti beberapa
triatlon. Di antaranya, Womens and Girls Tri (WaG Tri) dan Sprint Distance Triathlon. Kegemarannya mengikuti olahraga tersebut berlanjut saat pulang ke tanah air. Ibu seorang putri bernama Amyra M. Ardiansyah itu tercatat pernah ikut ambil bagian di beberapa ajang triatlon. Mulai di Bali, Bengkulu, Belitung, bahkan sampai ke Putra Jaya, Malaysia.
’’Sebenarnya sudah lama ingin fokus pindah ke olahraga sepeda. Namun, awalnya sempat minder. Karena teman-teman yang lebih dulu aktif di sepeda kalau sedang berlatih kenceng-kenceng,’’ kata istri Fitrian Ardiansyah tersebut, lantas tertawa.
Dhitri kini bergabung dengan Women’s Cycling Community (WCC) Jakarta. Teman-temannya di komunitas itu juga yang ’’menjerumuskannya’’ ikut serta di ajang Jawa Pos Cycling Bromo 100 Km 2017 pada 25 Maret lalu.
’’ pernah nyesel ikut acara di Bromo. Saya bahkan ingin kembali tahun depan. Tidak pernah saya ikut event sepeda yang serapi ini di Indonesia,’’ ucap perempuan yang berprofesi konsultan kebijakan energi dan lingkungan tersebut. (irr/c19/nur)