Jawa Pos

Bermurid Anak Indigo hingga Anak Epilepsi

Anak-anak berkebutuh­an khusus (ABK) di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Kalijudan sudah beberapa kali menggelar pameran. Beragam lukisan karya mereka tak terlepas dari sentuhan Andi Prayitno. Seniman itu adalah guru bagi anak-anak luar biasa tersebut s

- OKKY PUTRI RAHAYU

’’ INI warna apa, May?” tanya Andi Prayitno. Kala itu, dia sedang menanyai Omay, salah seorang muridnya, yang sedang melukis kotak-kotak menyerupai bangunan bertingkat.

’’Merah, Mas,” sahut Omay cepat. Padahal, jelas-jelas Omay sedang memakai cat warna kuning. Andi pun mengulang pertanyaan­nya. Omay yang sadar jawabannya salah langsung meralat. Kuning.

Andi mengatakan, keadaan Omay sudah lebih baik daripada sebelumnya. Omay hanya sekali salah menyebut warna. Itu, kata Andi, sudah lumayan. Sebab, Omay adalah penyandang down syndrome yang ditampung di Liponsos Kalijudan

Saat awal belajar melukis dengan Andi, Omay sama sekali tidak tahu warna. Butuh hampir tiga bulan lamanya untuk membuat Omay tahu warna. Dengan telaten, Andi memang harus mengulang pelajaran tentang warna hampir setiap hari kala itu.

Biasanya Andi meminta Omay untuk mengambil warna tertentu berulang-ulang sampai dia benar. Dalam sehari, bisa jadi tak sekali pun Omay benar dalam mengambil warna. Tapi, itu dulu. Kini Omay sudah lebih pandai mengenali warna daripada sebelumnya.

Berbeda lagi ketika Andi harus mendamping­i Rizky. Untuk mengarahka­n Rizky dalam mewarnai karakter kartun yang tengah dilukisnya, Andi harus memakai bahasa isyarat. Ya, Rizky memang tunarungu dan tunawicara.

Untuk sekadar membuat Rizky paham, tidak jarang Andi harus mengulang isyaratnya berkali-kali. Begitu pula kepada Pina, yang kondisinya serupa dengan Rizky. Namun, karena sejak 2011 bersama mereka, Andi mulai jago berkomunik­asi dengan dua anak tersebut. ’’Karena kebiasaan,” ujarnya.

Selain harus belajar bahasa isyarat, Andi lebih banyak belajar bersabar. Terutama ketika menghadapi Siti, salah seorang anak yang hiperaktif. Agar Siti mau melukis, Andi harus memasang telinganya untuk mendengar curhat Siti. Itu bisa memakan waktu sampai sejam. Kadang-kadang cerita Siti hanya seputar kisah sinetron yang ditontonny­a.

Setelah lega menceritak­an semuanya, Siti baru bersedia melukis. Favorit Siti adalah menggambar orang, yang tak lupa dibumbui nama-nama artis sinetron yang dilihatnya. Biasanya Siti menulis nama Aliando, selain membubuhka­n namanya di atas lukisannya.

Yang selalu tampak tenang adalah Ababil Firnanda. Di antara murid Andi yang lain, hanya Babil, sapaan Ababil Firnanda, yang tahu nama lengkapnya. Sementara itu, yang lain hanya tahu satu kata namanya. Maklum, kebanyakan memang ditampung dari jalanan. Tak ada yang tahu persis apakah itu memang benar nama asli mereka.

Begitu pula Babil yang sempat menggeland­ang dari kereta ke kereta. Karena itulah, Babil selalu suka melukis kereta.

Andi mengungkap­kan, selain menyukai kereta, Babil paling suka melukis bangunan. Tiap ditanya alasannya, Babil langsung menyebut dirinya adalah seorang mandor. ’’Pak Mandor lagi bantu tukang ngecat,” ujarnya sambil mewarnai bangunan yang menyerupai pintu air Jagir.

Bahkan, Babil pernah merengek ke Andi untuk dibelikan helm layaknya mandor. Demi membuat Babil tetap mau melukis, Andi tidak punya pilihan selain menurutiny­a. ’’Ya gitu, ngelukis sambil pakai helm,” kata Andi, lantas tersenyum memandangi murid-muridnya yang sibuk melukis pada Jumat siang (7/4).

Ada lagi, Neneng yang juga harus diperlakuk­an khusus oleh Andi. Karakter moody- nya membuat Neneng terkadang tak mau berhenti melukis. Tapi, itu terjadi saat dia semangat saja. Kalau sedang ogahogahan, Andi harus merayunya dengan beragam sogokan. Misalnya saja dengan hadiah jajanan ringan atau kue-kue basah.

Di antara murid Andi yang lain, Neneng pula yang selalu membuat bulu kuduknya merinding. Selain sering menggambar­kan karakterka­rakter ’’tak lazim’’ berdasar yang dilihatnya, Neneng suka mengobrol di pojokan. ’’ Wis mending diringkesi nek Neneng wis mulai ngono (lebih baik dirapikan kalau Neneng sudah mulai begitu, Red),” kata Andi yang sering mendengar cerita Neneng soal sosok perempuan gaib di ruang melukis tersebut.

Bahkan, baru saja seseorang mengembali­kan lukisan Neneng yang sudah dibelinya dalam pameran. Menurut si pembeli, ada sosok gaib yang digambar Neneng dan terbawa dalam lukisan. Antara percaya dan tidak, Andi juga mengaku ngeri saat mendengarn­ya. Kini lukisan itu kembali disimpan dalam ruang melukis di liponsos.

Cara Andi mendamping­i masing-masing anak menunjukka­n sudah seberapa dekat dia dengan mereka. Dan, sekaligus menggambar­kan bagaimana Andi mengenal karakter mereka.

Murid-murid spesial itulah yang justru membuat Andi tidak pernah bosan mengajari mereka. Bukan kegiatan mengajar, Andi lebih suka menyebutny­a dengan bermain bersama.

Andi mengatakan bahwa sejatinya dirinyalah yang belajar dari anak-anak tersebut. Bagi pria kelahiran 29 Agustus 1979 itu, anak-anak tersebut melahirkan masing-masing karakter seni yang kadang membuat dirinya berdecak kagum.

Misalnya, Pina yang ahli menggambar ikan. Selain bentuk itu, biasanya Pina tidak bisa menghasilk­an lukisan bagus. Lalu, Babil yang sangat mahir melukis bentuk-bantuk bangunan. Khusus Omay, kecenderun­gannya adalah meniru. Tiap dekat dengan Neneng, Omay menjadi jago melukis bunga. Tapi, jika di dekat Babil, lukisannya berubah tentang bangunan. Omay memang yang paling tidak bisa ditebak.

Andi menjadi pengajar anakanak itu setiap pekan atau dua pekan sekali. Seniman yang sempat beberapa kali menggelar pameran tunggal di Surabaya tersebut memang sejak dulu ingin mendedikas­ikan ilmu seninya itu. Panggilan jiwa, katanya.

Andi yang sempat merasakan kerasnya hidup di jalan sebagai loper koran kala SMP mengaku trenyuh melihat anak-anak yang senasib dengannya. Saat itu Andi mencari uang di jalanan sebagai bentuk tanggung jawabnya karena menjadi satu-satunya anak lelaki di antara empat saudaranya yang lain. Kala itu, kesulitan ekonomi mengimpit orang tua Andi. Dari sana Andi tahu betapa sulitnya kehidupan di jalan.

Lantas, Andi merasa senasib dengan anak-anak yang diajarnya kini. Selain berkebutuh­an khusus, anak-anak itu pernah menggeland­ang di jalan.

Berangkat dari sana, Andi ingin memiliki sebuah tempat untuk mengajarka­n seni lukis khusus anak-anak tak beruntung tersebut.

Mimpi sederhana itu lantas terlontar kala dia bertemu Soepomo, kepala Dinas Sosial Surabaya yang masih menjabat camat Kenjeran pada 2011.

Beberapa bulan berselang, bagai gayung bersambut, Soepomo memanggil Andi untuk mengajarka­n seni lukis bagi anak-anak di Liponsos Kalijudan. Saat itu Soepomo sudah menjabat kepala Dinsos Surabaya.

Akhirnya Andi mendapatka­n kesempatan untuk mengajarka­n seni bagi anak-anak itu. Bagai mimpi jadi nyata. Tapi, sekaligus hari-hari penuh kesabaran yang harus dilaluinya. Itulah paket komplet yang kini dilalui Andi dengan senang hati.

Kebahagiaa­n tersebut kian komplet saat anak-anak itu menggelar pameran. Bahkan, sampai ke luar kota, Jakarta, Jogjakarta, hingga Bali. ’’Kalau sering ketemu orang normal, mereka jadi kelihatan sama saja dengan yang lain,” ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta tersebut.

Meskipun kadang rasa jengkel menghingga­pi, Andi selalu merasa rindu pada anak-anak itu. Kadang Andi mengajak anakanak tersebut ke studio lukis di rumahnya di Wiyung. Atau, sekadar berjalan-jalan dengan mereka untuk membeli bakso.

Karena itu, Andi merasa sedih, tapi juga senang ketika harus berpisah dengan anak-anak tersebut. Misalnya, ketika beberapa anak harus diambil kembali oleh orang tua masing-masing.

’’Senang akhirnya mereka bisa ketemu orang tua, tapi yaaa…’’ kata Andi yang seolah tak menemukan kata-kata untuk menggambar­kan perasaanny­a.

Salah seorang anak yang diingat Andi adalah Riski. Anak yang punya bakat melukis yang luar biasa tersebut membuat Andi berdecak kagum. Detail sekali, menurutnya. Sayangnya, anak itu pula yang membuat Andi punya pengalaman tak terlupakan hingga ini.

Tiap kali berfokus pada lukisannya, Riski kejang. ’’Panik nggak keruan,” kenangnya. Andi pun tahu bahwa Riski adalah pengidap epilepsi.

Murid spesial yang harus dihadapi Andi pun sangat beragam. Semuanya mengajarka­n kepada Andi arti bersabar dan mendorongn­ya kian ingin mendedikas­ikan seninya bagi mereka. ’’Tabungan buat di akhirat,” katanya, lantas tersenyum. (*/c7/dos)

 ?? DIKA KAWENGIAN/JAWA POS ?? BERDEDIKAS­I: Andi Prayitno bersama murid-murid spesialnya yang merupakan anak berkebutuh­an khusus di Liponsos Kalijudan.
DIKA KAWENGIAN/JAWA POS BERDEDIKAS­I: Andi Prayitno bersama murid-murid spesialnya yang merupakan anak berkebutuh­an khusus di Liponsos Kalijudan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia