Bingung Batas Kawasan Lindung
Warga Medokan Ayu Mengeluh
SURABAYA – Penetapan kawasan lindung di pantai timur Surabaya (pamurbaya) meresahkan warga Kelurahan Medokan Ayu. Warga bertanya-tanya apakah rumah mereka masuk kawasan lindung yang harus steril dari bangunan.
Pada 2014 Pemkot Surabaya memasang patok di kawasan Medokan Ayu. Saat itu pemasangan patok tidak dibarengi sosialisasi. Karena itu, warga tidak tahu maksud patok yang hanya satu tersebut. Hal itu kini memunculkan banyak tafsir tentang lokasi kawasan lindung yang sebenarnya. Apakah berada di sisi utara, barat, timur, atau selatan.
Jawa Pos mendatangi kawasan tersebut bersama anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey. Dia melihat patok itu berada di perempatan jalan permukiman. Patok tersebut awalnya tidak terlihat karena tertutup semak belukar.
Tertulis, patok itu menjadi penanda kawasan konservasi. Namun, pembangunan di kawasan tersebut masih terus berlangsung. Sebagian besar rumah memang belum dihuni karena masih dalam tahap pembangunan. Namun, ada juga kawasan yang sudah dihuni. Kawasan itu berada di sebelah selatan patok.
Saat Awey datang, warga terlihat sudah berkerumun sore itu. Dia lantas menanyai satu per satu warga tentang bagaimana bisa membeli rumah di kawasan yang mepet dengan pertambakan dan hutan bakau ( mangrove) tersebut.
Salah seorang warga menjelaskan, warga membeli rumah dengan cara mencicil. Cicilan berdurasi 10 hingga 15 tahun. Harga rumah saat itu hanya sekitar Rp 185 juta. Karena baru lima tahun menempati, sebagian besar warga belum memegang alas hak atas tanah mereka. ”Ya, kami kan tidak tahu masalah kawasan lindung. Katanya nanti bisa disertifikatkan. PDAM dan listrik juga akan dipasang,” ujar seorang warga.
Listrik memang tersambung, sedangkan PDAM sedang dalam proses permohonan izin. Namun, warga belum bisa mengetahui apakah lahan dapat disertifikatkan. Sebab, cicilan rumah mereka belum lunas.
Di kawasan tersebut sudah ada 30 rumah yang berdiri. Mereka membeli rumah itu dari pengembang yang sama. Namun, luas bangunan bervariasi. Mulai 40 hingga 75 meter persegi.
Warga lantas mempertanyakan apa langkah yang harus diambil. Sebab, mereka mengaku tidak tahu-menahu mengenai batas kawasan tersebut. Selain itu, tidak ada sosialisasi dari lurah, camat, maupun pemkot.
Mendapat banyak keluhan, Awey menyatakan saat ini sedang mengumpulkan suara masyarakat. Rencananya, DPRD membentuk pansus untuk mengatasi masalah tersebut. Terdapat banyak kemungkinan yang nanti terjadi. ”Bisa dibebaskan atau peruntukannya dibelokkan karena mereka telanjur membangun. Namun, mengubah peruntukan tidak mudah. Butuh persetujuan pemkot dan DPRD,” jelasnya.
Bila pilihannya dibebaskan, Awey meminta pemkot tidak sewenangwenang. Sebelumnya Wali Kota Tri Rismaharini menegaskan bahwa bangunan di kawasan lindung bakal dibongkar. Pemkot hanya mengganti rugi lahan yang dimiliki warga. Untuk bangunan, belum ada payung hukum yang memperbolehkan pembayaran ganti rugi. Sebab, bangunan tersebut berdiri setelah penetapan kawasan lindung pada 2007.
Awey meminta pemkot ikut mengganti rugi bangunan warga yang telanjur terbangun. Bila tidak, bisa muncul gejolak dari warga. Sebab, jumlah rumah yang terbangun sudah ratusan. Sedangkan harga bangunan diperkirakan mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. ”Tolong pemkot hati-hati. Ini warga susah payah lho membangunnya. Mereka ini korban,” tuturnya.
Awey melihat akan ada pihak yang bertanggung jawab dalam masalah tersebut. Bisa jadi lurah atau camat. Selain itu, para pengembang perlu diperiksa agar muncul siapa pemain di balik kasus alih fungsi lahan hijau tersebut.