Boleh Diskresi, asal Tidak Dibuat-buat
KOMISI II DPR menaruh optimisme bahwa komisioner KPU dan Bawaslu saat ini akan bisa bekerja optimal hingga tuntas masa tugas pada 2022. Anggota Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menyatakan, tujuh komisioner KPU dan lima komisioner Bawaslu saat ini dipilih dari berbagai kriteria. ”Setiap fraksi tentu memilih berdasar pertimbangan politik, di samping memang dipengaruhi kemampuan sebagaimana fit and proper test,” kata Rambe saat dihubungi.
Menurut Rambe, seluruh komisioner maupun calon komisioner KPU yang menjalani seleksi di komisi II pada prinsipnya telah dimintai komitmen. Sebagaimana diketahui, hubungan komisi II dengan penyelenggara pemilu, terutama KPU periode lalu, agak renggang karena keputusan KPU mengajukan uji materi UU Pilkada, terkait kewajiban rapat konsultasi dengan komisi II. Rambe menyatakan, masalah semacam itu seharusnya bisa diselesaikan melalui komunikasi dengan DPR.
Rambe mengatakan, komisi II tidak ingin masalah muncul dalam pembuatan peraturan KPU. Karena itu, dalam fit and proper test, sejumlah pertanyaan terkait itu disampaikan kepada para calon komisioner. ”Karena ini kan lembaga, jadi harus memosisikan dulu, paham gak posisi mereka,” terang Rambe.
Meski begitu, Rambe menilai, dalam hal menyusun peraturan, KPU maupun Bawaslu tidak perlu kaku. Komisi II dalam hal ini fleksibel melihat seberapa jauh KPU menerjemahkan isi UU Pemilu maupun UU Pilkada nanti ke dalam peraturan teknis. Dalam hal ini, komisi II membuka peluang terjadinya diskresi peraturan. ”Diskresi boleh dilakukan, asal jangan melanggar,” ujarnya.
Dalam hal ini, diskresi yang diperbolehkan adalah menambah mekanisme teknis proses tahapan pemilu, dengan tidak memunculkan tafsir baru. Contohnya, proses verifikasi faktual peserta pemilu. Rambe mempersilakan KPU menerapkan mekanisme dengan memperluas proses verifikasi faktual untuk menentukan keabsahan kepengurusan parpol di daerah. ” Yang itu boleh dong, yang tidak boleh itu yang dikarang-karang, yang dibuat-buat,” ujarnya.
Di tempat terpisah, peneliti Formappi Lucius Karus mengungkapkan, pembahasan soal seleksi KPU dan Bawaslu sempat memunculkan tarik-menarik di DPR, terutama terkait dengan wacana membuka ruang orang parpol masuk menjadi bagian penyelenggara pemilu. Rencana itu urung dieksekusi karena derasnya protes publik. ”Meski wacana tersebut tidak diteruskan, tetap saja kelihatan niat dari DPR atau parpol untuk bisa mengendalikan penyelenggara pemilu,” kata Lucius saat dihubungi.
Menurut Lucius, kegagalan wacana itu sangat mungkin mendorong adanya lobi-lobi sebelum dan saat proses pemilihan komisioner. Hal tersebut tentu diharapkan tidak terjadi karena penyelenggara pemilu dituntut untuk memiliki netralitas dari kepentingan politik tertentu. ” Maka, sebuah tantangan bagi penyelenggara pemilu saat ini untuk membuktikan independensi mereka paling utama kepada DPR,” kata Lucius.
Dari sisi profil, Lucius menilai para komisioner saat ini memiliki kemampuan. Namun, mereka akan berhadapan dengan situasi persaingan dan tuntutan kemenangan yang ada pada tiap parpol. Karena itu, kekuatan figur secara personalia saja tidak menjamin mereka akan berhasil sebagai penyelenggara. (bay/far/c10/agm)