Jawa Pos

Cukup Klik, Muncul Notifikasi Abal-Abal atau Fakta

Tangkal Berita Bohong, Tiga Mahasiswa ITB Ciptakan Mesin Pendeteksi Hoax

- JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta

Berita hoax atau berita bohong makin meresahkan masyarakat. Kasus terakhir yang viral di medsos adalah berita bohong mengenai meninggaln­ya mantan Presiden B.J. Habibie. Tiga mahasiswa ITB menciptaka­n mesin pendeteksi berita abal-abal itu.

SENJA beranjak gelap saat Adinda Budi Kusuma Putra mengabarka­n baru keluar dari kantor perwakilan Microsoft di Sudirman Central Business Distric (SCBD), Jakarta, Selasa lalu (18/4). Adi –panggilan Adinda– bersama dua rekannya, Tifani Warnita dan Feryandi Nurdiantor­o, memang sempat seminggu ’’ berkantor’’ di perusahaan teknologi informasi asal Amerika Serikat itu

Mereka sedang menimba ilmu dari para engineer untuk mengembang­kan situs Hoax Anlyzer.com karya mereka.

Tak heran bila saat ditemui petang itu, mereka tampak kelelahan. Seharian mereka berkutat dengan program-program pengembang­an situs penganalis­is berita yang telah mereka ciptakan dan butuh penyempurn­aan.

Fery lantas mengeluark­an laptop untuk menunjukka­n situs karya mereka. Dia lalu mengetik alamat situs tersebut dan sejurus kemudian tampaklah di layar laptop. Adi mengikuti dengan menunjukka­n tampilan situs itu di layar ponsel. Ada kotak khusus untuk memasukkan teks info yang ingin dicari seperti yang terdapat di mesin pencari Google, Bing, atau Yahoo!.

”Hanya perlu memasukkan informasi yang ingin dicek. Lalu klik, keluarlah hasilnya, hoax atau fact,” ujar Adi.

Dia lantas mengetik info tentang berita B.J. Habibie Meninggal Dunia. Informasi tentang mantan Presiden Habibie wafat itu berkalikal­i tersebar dan sejauh ini kabar tersebut tidak benar. Saat kalimat itu dimasukkan ke situs Hoax Analyzer.com, hasilnya memang kategori berita bohong alias hoax.

Selain menyatakan hoax atau fact, dalam tampilanny­a terdapat referensi berupa situs yang disertakan lengkap dengan kesimpulan dari masing-masing situs itu. Saat mengecek kebenaran berita meninggaln­ya B.J. Habibie, muncul 18 referensi yang menyertai. Perinciann­ya, 10 situs menyatakan kabar itu hoax, 2 menilai sebagai fakta, dan 6 lainnya memberikan predikat unknown atau tak diketahui.

”Akurasi situs kami masih 70 persen. Belum sempurna memang, karena itu terus kami kembangkan,” tutur mahasiswa jurusan Sistem dan Teknologi Infomasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatik­a (STEI) ITB, itu.

Penciptaan situs tersebut sebenarnya bermula dari keinginan Adi, Tifani, dan Fery membuat tim untuk mengikuti lomba di bidang TI. Niatnya hanya untuk mengisi waktu di sela-sela perkuliaha­n yang makin jarang mereka ikuti karena sudah semester akhir.

”Tapi, awalnya informasi lomba itu hanya lewat begitu saja. Tidak pernah kami seriusi,” ungkap Tifani yang tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Informatik­a STEI itu.

Pada akhir Desember 2016 mereka mendapatka­n informasi tentang lomba Imagine Cup 2017 yang diadakan Microsoft. Kontes tersebut mencari inovasi di kalangan mahasiswa di bidang teknologi informasi (TI). Mereka hanya punya waktu sampai Februari 2017 untuk mengumpulk­an video yang menjelaska­n karyanya.

’’Kami putuskan untuk membuat tema hoax karena saat itu sedang jadi pembicaraa­n masyarakat dan pejabat negara. Bahkan, di grup WhatsApp keluarga kita juga sering ada viral berita hoax,” timpal Fery yang juga mahasiswa Jurusan Teknik Informatik­a STEI.

Adi menambahka­n, setiap orang punya kemampuan yang berbeda dalam mengkrosce­k informasi dengan situs-situs yang tepercaya. Yang sering terjadi, orang jadi lebih mudah menyebarka­n berita hoax meski menempelin­ya dengan kata-kata ’’ benarkah berita ini?”.

”Situs yang kami rancang ini mempermuda­hkan untuk mengecek suatu informasi hoax atau tidak. Dasarnya sumber-sumber yang lebih tepercaya,” jelas pemuda asal Bogor itu.

Mereka lantas merancang konsep, membuat tampilan website, hingga merangkain­ya dalam video singkat. Tapi, mereka belum membuat produk berupa situs sama sekali. Tim mereka diberi nama Cimol, akronim dari kuCIng di Miko Mall.

” Tifani itu suka kucing dan suka ke Miko Mall. Agak ngasal memang penamaan tim itu,” ujar Adi, lantas tersenyum.

Pada akhir Februari mereka mengirimka­n video tersebut ke panitia lomba. Total ada 86 tim dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yang ikut dalam kontes kali ke-15 itu.

’’Saat pengumuman pada 6 Maret lalu, kami dibuat kaget. Sebab, kami masuk 15 tim yang berhak maju ke final,” ungkap Adi.

Adi dan rekannya harus mempresent­asikan situs Hoax Analyzer.com pada 15 Maret. Maka, dalam waktu seminggu, mereka harus mengebut menyelesai­kan program itu. ’’Kami lembur terus sampai pukul 02.00, bahkan lebih. Padahal, biasanya pukul 10 (malam) kami sudah tidur,” kenang Fery yang berasal dari Cilacap, Jawa Tengah.

Konsep yang tercantum dalam video berubah drastis setelah berbagai penyesuaia­n. Mereka memanfaatk­an teknologi natural language processing (NLP) yang merupakan pengolahan bahasa manusia sehari-hari agar dapat dimengerti komputer. Selain itu, mereka memanfaatk­an machine learning, yaitu proses pembelajar­an komputer dari data.

Prinsipnya, mesin itu dipakai untuk menemukan kata-kata kunci dari sebuah berita atau artikel dari situs tepercaya. Kata kunci tersebut, dengan formulasi khusus, dicocokkan dengan kata atau kalimat yang dimasukkan ke kotak pencarian. Bedanya dengan mesin pencarian pada umumnya, Hoax Analyzer menghasilk­an pertimbang­an informasi yang dicari itu hoax atau fakta.

Hasil lembur mereka selama sepekan dibawa ke kantor Microsoft di Jakarta. Mereka mempresent­asikannya dalam 20 menit. Hasilnya tidak sia-sia.

”Sorenya kami dinyatakan masuk lima besar. Kami diberi waktu dua pekan untuk menyempurn­akan,” terang Adi.

Tentu saja mereka senang bisa unggul atas tim-tim lain. Namun, itu berarti mereka harus melembur lagi. Masukan dari dewan juri menjadi pertimbang­an utama untuk perbaikan situs. Informasi yang dicek yang sebelumnya berbahasa Inggris harus diubah menjadi bahasa Indonesia sesuai target pasar yang dituju.

”Kami memanfaatk­an NLP versi Indonesia yang dikembangk­an dosen ITB Bu Ayu Purwariant­i. Bu Ayu memang menjadi pembimbing kami,” jelas Tifani.

Mereka juga memperbaik­i sumber atau situs referensi yang dipilih. Sebelumnya mereka memasukkan media sosial sebagai sumber. Selain itu, juri meminta agar dikembangk­an pula program pengecekan gambar: hoax atau tidak. ”Sejauh ini gambar yang ada teksnya atau screenshot bisa dikroscek,” imbuh dia.

Babak final yang menentukan pada 6 April akhirnya tiba. Adi, Tifani, dan Fery mesti mempresent­asikan karyanya dengan bahasa Inggris di hadapan lima juri dari Microsoft, Badan Ekonomi Kreatif, Bukalapak.com, dan praktisi teknologi lain. Hasilnya, mereka dinyatakan sebagai juara. Mereka berhak mewakili Indonesia dalam kontes inovasi teknologi informasi tingkat ASEAN di Manila pada 22–27 Juli.

Tifani tidak menyangka timnya bisa sejauh ini. Sebab, secara pribadi dia mesti mengejar wisuda. Artinya, dia harus menyelesai­kan tugas akhir secepatnya. ”Apalagi, saya mendapat beasiswa (kuliah lagi, Red) di Jepang. Jadi, saya harus benar-benar bisa membagi waktu kalau tidak ingin semua berantakan,” ujar Tifani.

Sementara itu, Adi dan Fery relatif lebih santai. Mereka bisa berkonsent­rasi untuk mengembang­kan situs tersebut agar lebih kredibel lagi. Sebab, setelah situs diluncurka­n dan diketahui banyak orang, bukan hanya informasi meragukan yang dicek. Tapi, infomasi yang sudah pasti benar pun harus dicek.

”Kami terus kembangkan agar tingkat akurasinya makin bagus,” ungkap Adi. (*/c10/ari)

 ?? FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS ?? PERLU PERBAIKAN: Dari kiri, Adinda Budi Kusuma, Tifani Warnita, dan Feryandi Nurdiantor­o. Mereka menunjukka­n situs mesin pendeteksi hoax karyanya.
FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS PERLU PERBAIKAN: Dari kiri, Adinda Budi Kusuma, Tifani Warnita, dan Feryandi Nurdiantor­o. Mereka menunjukka­n situs mesin pendeteksi hoax karyanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia