Make-up Meleleh, Baju Basah Sebasah-basahnya
Apa jadinya jika olahraga lari dilaksanakan menggunakan kebaya? Hal itu dilakukan puluhan perempuan Mataram untuk merayakan Hari Kartini.
SEJUMLAH perempuan berkumpul di salah satu sudut Taman Udayana, akhir pekan lalu. Semuanya tampak senada.
Mereka memang sudah janjian. Para perempuan yang terdiri atas anak-anak, remaja, hingga ibuibu itu kompak mengenakan kebaya. Warnanya beraneka ragam. Merah, kuning, hijau, biru, putih dan lain-lain. Sudah seperti mau ikut parade saja.
Tapi tunggu dulu. Mereka tidak sedang janjian pergi kon dangan. Meskipun berkebaya ria, dengan make up menor di wajah, janjian mereka sore itu tak ada kaitannya sama sekali dengan acara resmi.
Jangan bayangkan undangan pernikahan atau undangan reuni. Jangan pula bayangkan undangan akikah, sunatan, apalagi maulid atau Isra Mikraj. “Kita mau lari,” kata Mia Mayanti, salah seorang peserta.
Lari? Ya lari. Rupanya mereka hendak melakukan olahraga bersama. Dengan kebaya? Ya.
Aneh memang, namun itulah yang terjadi. Jalan Udayana yang membentang panjang dari utara ke selatan itu dilahap para pelari perempuan ini.
Mereka juga berputar di Jalan Pejanggik hingga Taman Sangkareang. Keringat sudah pasti bercucuran. Baju yang biasanya untuk pergi kondangan pun basah sebasah basahnya.
Baju itu memang diciptakan bukan untuk olah raga. Sehingga kebaya jelas tak siap menyerap keringat yang bercucuran.
Namun, kendati salah kostum, mereka tampak ceria. Dengan kebaya yang basah bak disiram air, senyum merekah tetap terpancar dari wajah perempuanperempuan itu. Make up mereka pun leleh oleh keringat.
”Ini salah satu kegiatan untuk menyemarakkan Hari Kartini,” ujar Siti, peserta lainnya.
Acara lari sengaja dipilih sebagai simbol. Simbol pergerakan dan perjuangan. Untuk mengingatkan perempuan-perempuan Mataram akan perjuangan pendahulunya.
Semangatnya adalah terus bergerak, bahkan berlari menuju arah yang lebih baik. “Ada makna tersirat dari kegiatan ini,” sambung Mia Mayanti.
Perempuan Mataram harus kuat dan tangguh. Jangan lagi ada kata terbelakang. Tanpa melupakan kodrat, perempuan tetaplah harus maju. Mengikuti perkembangan zaman yang bergerak dinamis.
Semangat itu yang coba digemakan. Dengan berlari mereka seolah hendak mengatakan pada dunia bahwa perempuan juga bisa berbuat. Dengan tak melupakan kodrat dan identitas bangsa, mereka juga ingin mengingatkan kaum hawa lainnya agar tak kebablasan. (*/r5/nw)