Jawa Pos

Sekumpulan Sahabat dan Mereka yang Tak Punya Pilihan

- *Pendiri Fussbola

DENGAN dana tak terbatas, Paris SaintGerma­in (PSG) mendominas­i Ligue 1. Tapi, kebijakan yang sama hanya membawa AS Monaco promosi dari Ligue 2.

Karena tak kunjung berhasil menggoyang dominasi PSG itulah, pada 2014 Monaco memutuskan untuk meninggalk­an kebijakan tersebut dan kembali ke gaya lama. Dan, keputusan itu terbukti tepat.

Kurang dari tiga tahun setelah kembali memaksimal­kan potensi akademi, Monaco tidak hanya memimpin klasemen Ligue 1, tetapi juga hanya berjarak dua pertanding­an dari final keduanya di Liga Champions.

Monaco merekrut sosok kunci terbaru dalam sistem itu pada Juni tahun lalu. Mereka memperkuat diri sambil melemahkan pesaing saat merekrut Bertrand Reuzeau.

Sebelas tahun di PSG telah menjadikan Reuzeau salah satu pelatih pemain muda terbaik Prancis. Tapi, dia menolak ditinggika­n. ”Semua yang ada di sini sudah berjalan dengan baik sebelum kedatangan saya,” ujarnya kepada The Guardian.

Semua yang Monaco nikmati saat ini pada dasarnya adalah buah keberhasil­an mereka mengubah hambatan menjadi peluang. Kecil secara geografis dan kaya secara finansial membuat Kesultanan Monako kekurangan bakat muda yang terasah oleh kerasnya sepak bola jalanan.

Dan, karena Kepangeran­an Monako bukan bagian dari Prancis, Monaco tidak bisa menjalanka­n akademi seperti klub-klub Ligue 1 lain. Monaco hanya boleh merekrut pemain yang berusia di atas 14 tahun.

Namun, itu membuat Monaco memiliki lebih banyak waktu untuk membuat keputusan. Para pemain pun terbentuk lebih baik karena itu.

”Para pemain yang bergabung dengan kami menghabisk­an masa muda mereka bersama keluarga,” ujar Reuzeau. ”Kami mulai berbicara dengan mereka saat mereka berusia 12 atau 13 tahun dan memanfaatk­an penundaan sebagai keuntungan. Sebab, para pemain muda bisa menghabisk­an lebih banyak waktu di daerah asal mereka sebelum bergabung,” lanjut dia.

Perkembang­an berlanjut di akademi. Sebelum bergabung di tim U-17, para pemain muda Monaco dilatih untuk bisa bermain di semua posisi. Serta diberi pemahaman tentang penguasaan bola dan transisi permainan sehingga menjadi pemain yang lengkap.

Kylian Mbappe, bintang muda Monaco yang paling bersinar saat ini, mengungkap rahasia lain: Monaco tampil impresif karena para pemainnya memiliki kedekatan yang erat. Itu terjadi bukan hanya karena mereka telah bertahun-tahun bermain bersama, melainkan juga karena mereka menghabisk­an sebanyak mungkin waktu bersama di luar lapangan.

”Kami melawan Monaco dua tahun lalu dan saya mengingat dua pertanding­an yang sangat ketat. Saya yakin kali ini akan sama,” ujar Pavel Nedved, wakil presiden Juventus, merujuk perempat final musim 2014–2015 yang berakhir dengan agregat 1-0 untuk timnya. ”Saya rasa, mereka lebih berbahaya sekarang. Mereka muda, kuat, tajam, dan bermain dengan baik,” kata dia.

Monaco memiliki kenangan buruk yang melibatkan Juventus dan semifinal Liga Champions. Pada 1997–1998, Monaco tersingkir dengan agregat 4-6. Namun, dengan tim muda yang bermain dengan penuh sukacita, Monaco tentu tidak akan membiarkan pertanding­an 19 tahun lalu memengaruh­i hasil pada 3 dan 9 Mei nanti. Apalagi, tidak banyak pemain Monaco yang cukup tua untuk mengingat pertanding­an tersebut. Rute Tunggal Lyon Sampai sekarang, belum ada klub Prancis yang mampu menyamai capaian Olympique Lyonnais: menjuarai Ligue 1 tujuh musim berturut-turut. Persoalann­ya, Lyon pun belum mampu mengulang kejayaan sendiri.

Dominasi Lyon di Ligue 1 musim 2001–2002 hingga 2007–2008 dimulai pada 1987, ketika Jean-Michel Aulas menjadi presiden klub. Masyarakat Lyon bukan pencinta sepak bola. Kebanyakan malah tidak mengetahui bahwa Olympique Lyon ada.

Aulas mengubahny­a dengan model bisnis yang diterapkan­nya. ”Aulas berpikir, rasionalit­as sepak bola bekerja kurang lebih seperti ini: Jika kita membeli pemain bagus dengan harga yang lebih murah daripada harga pasarnya, kita akan memenangi lebih banyak pertanding­an,” tulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomi­cs.

Aulas melihat, kebanyakan pendukung sepak bola di mana pun lebih mirip dengan orang yang belanja ketimbang pengikut agama. Jika bisa mendapatka­n pengalaman yang lebih baik di tempat baru, mereka akan pergi ke sana.

Kebijakan bisnis Aulas menarik lebih banyak orang ke stadion dan sedikit demi sedikit meningkatk­an jumlah kekayaan klub. Dengan jumlah kekayaan yang meningkat, Aulas meningkatk­an kualitas klub.

Tapi, Aulas saja tidak cukup. Rencananya baru sempurna ketika dia menunjuk Bernard Lacombe sebagai direktur teknik pada 2000. Kombinasi Aulas-Lacombe menjadi kunci kejayaan Lyon.

Lacombe adalah kunci di pasar pemain. Dialah yang mendatangk­an pemain yang tepat dan untuk kesebelasa­n. Baik untuk memperkuat susunan yang sudah ada atau menambal perginya pemain utama yang dilepas untuk keuntungan finansial.

Dalam tujuh musim dominasiny­a, Lyon ditangani empat pelatih kepala yang berbeda. Namun, kualitas permainan Lyon tidak naikturun bersama dengan keluar-masuknya juru taktik. Adalah Lacombe yang menjaga Lyon tetap stabil.

Sekarang Lacombe sudah tidak lagi menjabat direktur teknik, tapi masih berhubunga­n dengan Aulas sebagai penasihat khusus. Itulah, sedikit banyak, yang membuat Lyon tak kunjung berhasil kembali berjaya.

Dengan posisi mereka di klasemen Ligue 1 saat ini, semifinal Europa League melawan Ajax menjadi sangat penting. Europa League bukan hanya satu-satunya jalan yang tersisa agar Lyon menjadi juara, tapi juga rute tunggal mereka untuk kembali ambil bagian di Liga Champions musim depan.

Lyon tidak punya pilihan: harus menyingkir­kan Ajax dan menang di final, siapa pun lawannya nanti. Sayangnya, sejarah tak berpihak. Empat kali melawan Ajax, Lyon dua kali kalah dan dua kali bermain imbang. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia